Mencari Titik Temu Hubbul Wathan vs Tagar #KaburAjaDulu

Bagi sebagian orang, tagar #KaburAjaDulu menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil, mulai lapangan kerja yang sempit, hingga kebijakan pemerintah yang diniliai tidak berpihak kepada mereka.
Ilustrasi gen z muslimah pergi ke luar negeri. Dok ISTOCK
Ikhbar.com: Tagar #KaburAjaDulu belakangan viral di media sosial (medsos), terutama di platform X. Tagar ini muncul sebagai respons terhadap berbagai tekanan yang dihadapi anak muda Indonesia, terutama generasi Z, mulai dari beban ekonomi, persaingan kerja, hingga ketidakpastian masa depan.
Bagi sebagian orang, tagar ini menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil, mulai lapangan kerja yang sempit, hingga kebijakan pemerintah yang diniliai tidak berpihak kepada mereka. Ada juga yang menganggap bahwa gerakan tersebut hanyalah sebuah ekspresi keinginan untuk mencari peluang baru di luar zona nyaman.
Namun, di balik popularitasnya, tagar ini memicu perdebatan. Apakah lari dari masalah adalah solusi? Atau justru ini adalah langkah strategis untuk bertahan hidup?
Dalam konteks ini, penting untuk melihat tagar #KaburAjaDulu bukan sebagai bentuk penolakan terhadap Tanah Air, melainkan sebagai ekspresi kegelisahan generasi muda yang mencari ruang untuk berkembang. Di sisi lain, tradisi Islam, terutama di Indonesia mengajarkan bahwa hubbul wathan (cinta tanah air) sebagai bagian dari iman.
Lantas, bagaimana menemukan titik temu antara keduanya? Bagaimana tasawuf dapat menjadi solusi agar generasi Z tidak mudah terpuruk dalam menghadapi tekanan hidup?
Cinta Tanah Air bukan sekadar slogan
Cinta Tanah Air dalam Islam memiliki akar yang kuat. Dalam QS. Al-Qasas: 85, Allah Swt berfirman:

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗ قُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Nabi Muhammad untuk menyampaikan dan berpegang teguh pada) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Tuhanku paling mengetahui siapa yang membawa petunjuk dan siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.”
Pakar Tafsir Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, kata “ma’ad” bisa merujuk pada Makkah, tanah kelahiran Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan betapa pentingnya Tanah Air dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan, hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah tidak menghilangkan kecintaannya pada kota tersebut.
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi dalam Ruhul Bayan mengutip perkataan Umar bin Khattab, bahkan mengatakan:

لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ

“Seandainya tidak ada cinta Tanah Air, hancurlah negara. Dengan cinta Tanah Air, negara akan berjaya.”
Cinta Tanah Air juga tercermin dalam QS. An-Nisa: 66, yang mengisyaratkan betapa sulitnya meninggalkan kampung halaman.
Allah Swt berfirman:

 

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

“Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).”

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, meninggalkan Tanah Air sebanding dengan bunuh diri secara emosional. Namun, ini tidak berarti Islam melarang seseorang untuk merantau atau mencari peluang di luar negeri.
Merantau sebagai kebutuhan dan pengabdian
Sebaliknya, Islam justru menganjurkan umatnya untuk menjelajahi bumi. Dalam QS. Al-Mulk: 15, Allah Swt berfirman:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Hadis riwayat Tirmidzi juga menegaskan pentingnya bertakwa saat merantau. Rasulullah Saw mendoakan,

اللَّهُمَّ اطوِ لَه الأرض وَهوِّن عليهِ السَّفرَ

“Ya Allah lipatlah bumi ini untuknya dan mudahkanlah perjalanannya.”
Bekerja di luar negeri pun dianjurkan selama dilakukan secara profesional. Nabi Saw bersabda:
إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.” (HR. Thabrani).

Merantau atau bekerja di luar negeri bukanlah pengkhianatan terhadap Tanah Air. Ini adalah upaya untuk mengembangkan diri dan berkontribusi lebih besar di masa depan.  

Tasawuf sebagai solusi kesehatan mental 
Di tengah tekanan hidup, generasi Z sering merasa terpuruk. Tasawuf menawarkan solusi melalui tiga prinsip utama, yakni tawakkal, sabar, dan syukur.
Pertama, tawakkal. Berserah diri kepada Allah setelah berusaha keras. Dalam QS. Ali-Imran: 159, Allah Swt mengingatkan:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Kedua, sabar. Menghadapi ujian dengan ketenangan hati. Dalam QS. Al-Baqarah: 155-156, Allah Swt berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ. اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”
Ketiga, syukur. Mensyukuri nikmat sekecil apa pun. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan, syukur adalah kunci kebahagiaan.
Mengkritik dengan bijak, mendoakan dengan tulus
Kritik terhadap pemerintah boleh dilakukan asalkan konstruktif. Dalam QS. Ali-Imran: 110, Allah Swt berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”
Namun, kritik harus disertai doa. QS. Al-Baqarah: 126 mengajarkan doa Nabi Ibrahim AS:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan (hasil tanaman, tumbuhan yang bisa dimakan) kepada penduduknya, yaitu orang yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Akhir.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Siapa yang kufur akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Tagar #KaburAjaDulu dan prinsip hubbul watan bukanlah dua hal yang bertentangan. Cinta Tanah Air tidak harus menghalangi seseorang untuk merantau mencari rezeki. Sebaliknya, merantau bukan berarti melupakan Tanah Air.
Tasawuf menawarkan ketenangan jiwa. Dengan tawakkal, sabar, dan syukur, generasi Z dapat menghadapi tekanan tanpa mudah terpuruk. Kritik terhadap pemerintah boleh dilakukan, asalkan disertai doa untuk kebaikan bersama.
Pada akhirnya, hidup adalah tentang keseimbangan. Antara mencintai tanah air dan mencari peluang di luar. Antara mengkritik dan mendoakan. Antara berusaha dan berserah diri. Inilah titik temu yang akan dinilai lebih bijak.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.