Ikhbar.com: Ilmu Al-Qur’an bukan sekadar bacaan yang bisa dihafal atau diajarkan sesuka hati. Ia merupakan warisan suci yang menuntut keutuhan jalur sanad—kebersambungan transmisi ilmu dari guru ke murid hingga Rasulullah Muhammad Saw. Mengajarkannya tanpa melalui proses belajar yang tuntas merupakan bentuk ketergesa-gesaan yang justru dapat mencederai makna dan nilai dari pewarisan ilmu itu sendiri.
Bagi seorang santri, tanggung jawab keilmuan tidak berhenti pada kemampuan membaca atau menghafal. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa rantai keilmuan tidak terputus di tangannya.
Pesan ini disampaikan secara tegas oleh KH Ahmad Nahdi bin Ja’far (BJ), anggota Dewan Pimpinan Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Ia menyampaikannya dalam sesi Syarhu as-Sanad (Pemaparan mata rantai keilmuan) pada acara Haflah Khatmil Qur’an dan Juz ‘Amma Madrasah Murattilil Qur’an (MMQ) Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jumat, 27 Juni 2025 lalu.

Di hadapan para santri dan jemaah, sosok yang akrab disapa Gus Nahdi ini menekankan pentingnya menuntaskan proses belajar sebelum seseorang menyebarkan ilmu kepada orang lain.
“Kalau ngaji Al-Qur’an belum khatam, lalu pindah pesantren, maka nanti sanadnya terputus,” ujar Gus Nahdi.
Dalam hal ini, sanad yang terputus berarti keabsahan dalam transmisi ilmu menjadi cacat.
“Kalau belum khatam, ya khatamkan dulu. Baru boleh mulang (mengajar),” sambungnya.
Baca: Rekam Jejak Penulisan dan Cara Baca Al-Qur’an, Penjelasan Kiai Ahmad Zaini Dahlan
Urgensi sanad
Gus Nahdi membuka pemaparannya dengan menjelaskan nilai luhur dalam tradisi mengaji Al-Qur’an. Menurutnya, proses belajar yang benar selalu melibatkan ustaz (guru) dan memastikan keberlanjutan sanad. Ia juga menceritakan pengalamannya memperoleh dua sanad langsung—melalui sang ayah, Allahuyarham Abuya KH Ja’far Aqiel Siroj, yang bersambung ke KH Umar Sholeh dan KH Munawir Krapyak-Yogyakarta, serta satu sanad lagi dari KH Nawawi Umar, pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon.
“Alhamdulillah saya dapat dua sanad. Itu saya jaga,” ujarnya.
Kepada para orang tua, Gus Nahdi menyampaikan agar bersyukur jika anaknya telah khatam, karena itu berarti telah sah untuk mengajar. Bahkan, anak tersebut bisa mulai mengajarkan ilmu Al-Qur’an kepada orang tuanya sendiri.
“Beda dengan yang belum khatam lalu pindah. Itu harus ulang dari awal,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat umum agar tidak sembarangan memilih ustaz.
“Lihat dulu sanadnya muttasil (bersambung) atau tidak. Kalau tidak, yang jadi korban nanti muridnya,” katanya.
Baca: 5 Keuntungan Mondok di Pesantren Ketitang Cirebon
Bukan sekadar bacaan dan hafalan
Gus Nahdi kemudian menjelaskan tiga fondasi utama dalam proses pembelajaran di pesantren. Yaitu manhajut ta’lim (kurikulum belajar), manhajut tadris (metode mengajar), dan manhajut ta’dib (pembentukan etika).
Ia mencontohkan tradisi hafalan dalam pesantren yang dijalankan dengan disiplin tinggi. Hafalan kitab seperti Alfiyah, Safinah, hingga surat-surat penting dalam Al-Qur’an menjadi kewajiban. Jika santri lupa atau tidak hafal, mereka mendapat sanksi seperti berdiri, menyapu, atau membersihkan selokan.
Menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari proses pembentukan karakter melalui pendidikan.
“Saya juga dulu pernah di-takzir (dihukum). Masuk kelas telat, langsung disabet (dipukul peringatan, bukan melukai) pakai sandal,” kenangnya sambil tertawa.
Ia menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan bentuk kekerasan, melainkan bagian dari upaya mendisiplinkan santri agar terbiasa dengan keteguhan dan ketangguhan dalam belajar.
Nilai etika di pesantren, kata dia, tidak berhenti pada aspek keilmuan semata, tetapi juga menyentuh sikap hidup. Santri harus dibiasakan hidup sederhana, bekerja, dan tidak menggantungkan diri pada kemewahan duniawi.
“Santri yang ikut salat jemaah terus setiap hari, lambat laun akan terlatih sabar dan ikhlas,” ujarnya.
Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi
Alumni pesantren harus berdaya
Menutup pemaparannya, Gus Nahdi menyampaikan pesan khusus kepada para alumni. Ia mendorong mereka untuk tetap mengajar meskipun merasa belum sempurna. Namun, ia juga menekankan bahwa keikhlasan dalam mengajar hanya bisa dijaga jika alumni memiliki kasab—yakni pekerjaan atau penghasilan tetap.
“Kalau alumni enggak punya kasab, nanti ngajar-nya nunggu tanggal muda, nunggu bisyarah (honor),” sindirnya.
Menurutnya, hal ini bisa merusak tradisi pengabdian yang selama ini dijaga di pesantren. Para kiai terdahulu, lanjutnya, tetap mengajar meskipun tidak mendapat gaji, karena mereka memiliki sumber penghidupan lain.
Ia juga memotivasi para alumni agar tidak malu mengajar, meski hanya menguasai kitab-kitab dasar.
“Kalau masih belum bisa baca kitab gundul, pakai yang ada maknanya. Jangan malu. Terus saja mengajar,” tuturnya.
“Sebab, kalau ilmunya tidak digunakan, tidak disebarkan, maka akan mandek. Akan berhenti di situ,” pesan Gus Nahdi.