Ikhbar.com: Era digital seolah menghadirkan kemudahan tanpa batas bagi umat manusia. Teknologi yang hadir mampu mendorong perluasan akses informasi, komunikasi, dan hiburan. Akan tetapi, kemajuan ini sejatinya diikuti berbagai tantangan spiritual, seperti keterasingan sosial, kecanduan gadget, hingga menurunnya nilai-nilai kemanusiaan.
Tak sedikit yang terjebak dalam budaya “scroll tanpa akhir,” sehingga waktu berlalu tanpa disadari saat menjelajahi media sosial (medsos). Dalam menghadapi realitas ini, tasawuf menawarkan panduan penting melalui nilai-nilai spiritual yang mampu menjaga keseimbangan hidup manusia.
Baca: Benarkah Zuhud Harus Tinggalkan Urusan Dunia?
Zuhud melawan ketergantungan
Tasawuf menekankan nilai-nilai seperti zuhud, yang berarti hidup sederhana dan pantang terikat dengan duniawi. Meskipun teknologi menawarkan berbagai fasilitas, prinsip zuhud akan senantiasa mengingatkan agar manusia tidak terlalu terikat pada hal-hal yang bersifat sementara.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menegaskan bahwa zuhud bukan berarti meninggalkan kepentingan dunia secara sepenuhnya, melainkan menghindari ketergantungan pada hal-hal yang bisa melalaikan dari mengingat Allah Swt. Prinsip ini mengajarkan manusia untuk tetap bijak dalam menggunakan teknologi dan tidak menjadikannya sebagai pusat kehidupan.
Imam Al-Ghazali berpesan:
اعلم أنه قد يظن أن تارك المال زاهد وليس كذلك فإن ترك المال وإظهار الخشونة سهل على من أحب المدح بالزهد
“Ketahuilah, banyak yang mengira bahwa orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan harta dan berpenampilan ‘buruk’ itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang berambisi dipuji sebagai seorang zahid.”
Kemudian, Imam Al-Ghazali melanjutkan:
وليس الزهد فقد المال وإنما الزهد فراغ القلب عنه ولقد كان سليمان عليه السلام في ملكه من الزهاد
“Zuhud bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari harta duniawi. Nabi Sulaiman As sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap tergolong orang yang zuhud.”
Konsep zuhud bisa diibaratkan sebagai prinsip pemanfaatan teknologi dengan bijak. Gunakan ponsel, laptop, internet, dan jejaring medsos hanya sebatas keperluan, tanpa terjebak dalam kesenangan yang membuat hati terikat.
Lewat zuhud, penggunaan teknologi selayaknya seorang pengemudi yang tahu kapan harus melaju dan kapan harus menginjak rem. Manusia diharapkan mampu mengontrol penggunaannya agar tetap berimbang.
Baca: Teman Red Flag yang Wajib Dijauhi menurut Imam Al-Ghazali
Qana’ah sebagai tameng ketidakpuasan
Di samping zuhud, konsep qana’ah atau kepuasan hati sangat penting di era digital. Qana’ah mengajarkan rasa syukur dengan apa yang dimiliki, menghindarkan seseorang dari rasa tidak puas atau serba-ingin tahu dan ingin merasakan. Tren yang kini kerap disebut fear of missing out (FOMO) ini muncul saat melihat kehidupan orang lain di medsos.
Allah Swt berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا
“Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas,” (QS. Al-Kahfi: 28).
Dalam konteks kehidupan masa kini, qana’ah ibarat memiliki rasa puas setelah menyelesaikan proyek kreatif tanpa terus-menerus membandingkannya dengan karya lain yang terlihat lebih menarik di medsos. Gen Z diharapkan mampu melihat medsos sebagai tempat berbagi pengalaman, bukan arena perlombaan atau perbandingan hidup.
Kecukupan dalam jiwa sejatinya akan menguatkan ketenangan batin. Dengan prinsip tersebut, seseorang niscaya tidak akan mudah terjerat oleh kecemasan yang datang saat melihat orang lain seolah lebih sukses atau lebih bahagia.
Baca: Hoaks dan Salah Kaprah dalam Tren ‘Vibes Ramadan 2010’
Tawasuth menjadi pengendali informasi
Sikap tawasuth atau moderasi tak kalah penting untuk menjaga diri dari dampak negatif informasi yang berlebihan, termasuk hoaks dan provokasi di medsos. Tawasuth dalam tasawuf mengajarkan kehati-hatian dalam berinteraksi, sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw:
دَعْ مَا يُرِيبُك إلَى مَا لَا يُرِيبُك
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu,” (HR At-Tirmidzi).
Prinsip ini mendorong untuk tidak mudah terhasut informasi tanpa verifikasi, menjaga keseimbangan antara skeptis dan objektif.
Di tengah maraknya clickbait atau judul-judul sensasional, moderasi dapat diumpamakan sebagai filter pada aplikasi yang menyaring informasi tidak berguna, menyisakan hal-hal yang relevan dan bermanfaat. Pendekatan ini membantu masyarakat digital untuk tetap tenang, memeriksa kebenaran, dan menghindari reaksi berlebihan atas informasi yang belum jelas.
Pada akhirnya, tiga prinsip penting dalam tasawuf itu tak lain merupakan konsep zikir alias senantiasa berbuat segala sesuatu dengan tetap mengingat keberadaan sekaligus keagungan Allah Swt. Prinsip-prinsip tersebut niscaya mampu menjaga manusia untuk tetap menjalani keseimbangan spiritual di tengah hiruk-pikuk digital.
Zikir, dalam pandangan para sufi, bukan hanya diucapkan, tetapi dihayati dalam hati agar tetap ingat pada Allah Swt, meskipun di tengah aktivitas sehari-hari.
Mengisi waktu dengan zikir dapat dibandingkan dengan menyalakan alarm otomatis yang selalu berbunyi untuk mengingatkan pada sesuatu yang penting. Ketika aktivitas online sudah mendominasi, zikir atau mengingat Allah Swt menjadi penyeimbang yang membuat hati tetap tenang dan pikiran tidak terhanyut pada hal-hal yang melalaikan.