Apakah Allah Pernah Tersenyum?

Seorang pesepeda melintas di depan tulisan "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum," yang tertera di salah satu dinding jembatan penyeberangan di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat. IKHBAR/#BandungBanget

Ikhbar.com: “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” demikian ungkapan M.A.W. Brouwer yang tertera di salah satu dinding jembatan penyeberangan di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat. Ungkapan puitis ini menggambarkan keindahan alam dan kehidupan yang penuh damai di Tanah Pasundan. Namun, ungkapan fenomenolog tersebut juga menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam, yakni, apakah Allah Swt, dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, pernah tersenyum?

Senyuman, dalam kehidupan manusia merupakan ekspresi kebahagiaan, kerelaan, atau kehangatan. Manusia lazim tersenyum ketika merasakan cinta, memaafkan, atau di saat melihat sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, apakah konsep “senyum” bisa diterapkan pada Allah yang Maha Sempurna, yang sifat-sifat-Nya jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan manusia? Di sinilah letak kedalaman Islam, yang tidak hanya mengajarkan tauhid, tetapi juga mengajak umatnya untuk merenungi sifat-sifat Tuhan yang agung.

Pembahasan mengenai senyuman Allah memang pernah muncul dalam sejumlah hadis sahih. Akan tetapi, sebelum terlalu jauh memahami makna ini, penting untuk meletakkannya dalam kerangka teologis Islam yang menekankan keunikan Allah dan ketidakterbandingan-Nya dengan makhluk.

Hal itu, sebagaimana yang tertulis dalam QS. Asy-Syura: 11, Allah Swt berfirman:

فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan (menjadikan pula) dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan(-nya). Dia menjadikanmu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Baca: Jangan Pick Me! Ini Cara Bangun Jati Diri sesuai Ajaran Islam

‘Senyuman’ Allah

Salah satu sumber yang kerap dirujuk dalam pembahasan ini adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah. Rasulullah Muhammad saw bersabda:

“Rasulullah Saw bersabda, ‘Allah tertawa terhadap dua orang yang saling membunuh, namun keduanya masuk surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?’ Nabi Saw menjawab, ‘”‘Seseorang terbunuh kemudian dia masuk surga, kemudian Allah menerima taubatnya si pembunuh dan menunjukinya untuk masuk Islam, setelah itu dia berjihad di jalan Allah dan akhirnya mati syahid.” (HR. Muslim).

Hadis tersebut menceritakan dua lelaki yang pada awalnya memiliki nasib berbeda—satu terbunuh di medan jihad, sementara yang lain adalah pembunuhnya. Namun, keduanya berakhir di surga setelah Allah memberikan rahmat dan ampunan kepada si pembunuh yang bertaubat dan kemudian syahid.

Di sini, “senyum” Allah diinterpretasikan sebagai tanda keridaan dan kasih sayang yang luar biasa. Allah meridhai kedua orang tersebut, meskipun salah satunya sempat berada di jalan yang salah.

Akan tetapi, apakah “senyum” yang disebutkan dalam hadis ini harus dipahami secara harfiah? Jawabannya, tentu tidak.

Para ulama menegaskan bahwa segala sifat yang disandarkan kepada Allah dalam Al-Qur’an maupun hadis harus dipahami dalam konteks yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Allah tidak mungkin diserupakan dengan makhluk-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Imam al-Nawawi, dalam Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa “senyum” Allah adalah sebuah ungkapan metaforis yang menggambarkan kasih sayang, keridaan, dan pengampunan-Nya yang luas.

Baca: Takdir dan Penerimaan dalam Lagu ‘Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan’ Karya Bernadya

Makna metaforis

Dalam Islam, terdapat dua pendekatan besar untuk memahami sifat-sifat Allah, yakni tanzih dan tasybih.

Tanzih adalah konsep yang menegaskan keunikan Allah, bahwa Dia tidak serupa dengan apapun yang bisa dibayangkan manusia. Sedangkan tasybih adalah pendekatan yang menggunakan perumpamaan yang akrab dengan pengalaman manusia, tetapi harus tetap dalam bingkai tanzih.

Ketika ditemukan istilah “senyum” dalam hadis, maka umat Islam harus memahaminya sebagai simbol, bukan sebagai tindakan fisik. Senyum Allah adalah perwujudan dari keridaan-Nya atau tanda penerimaan Allah Swt terhadap hamba-hamba-Nya yang taat dan bertaubat. Hal tersebut hanyalah bentuk metafora yang berfungsi untuk memudahkan manusia memahami betapa luasnya rahmat Allah.

Dalam bahasa Arab klasik dan bahkan dalam teks Al-Qur’an, penggunaan istilah-istilah seperti ini adalah hal yang biasa, dengan tujuan memberikan pengertian yang lebih dekat kepada manusia.

Allah Swt berfirman:

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ

“Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia. Namun, tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43).

Imam al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat juga menekankan bahwa istilah-istilah seperti “senyum” atau “tangan” yang terkadang muncul dalam Al-Qur’an atau hadis bukanlah untuk dipahami secara harfiah, tetapi untuk menunjukkan aspek-aspek tertentu dari sifat-sifat Allah yang agung. Dalam hal ini, “senyum” adalah ekspresi dari keridaan dan rahmat Allah yang tanpa batas.

Baca: Kiai Musthofa Aqiel: Berzikirlah, tidak Ada yang Bisa Diharap Selain Allah

Rahmat meliputi segala sesuatu

Senyuman Allah, jika diartikan sebagai simbol rahmat dan keridaan, memberikan pemahaman yang mendalam tentang betapa luas kasih sayang-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah sering kali menegaskan bahwa rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.

Allah Swt berfirman:

وَاكْتُبْ لَنَا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ اِنَّا هُدْنَآ اِلَيْكَۗ قَالَ عَذَابِيْٓ اُصِيْبُ بِهٖ مَنْ اَشَاۤءُۚ وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَۚ

“Tetapkanlah untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. (Allah) berfirman, ‘Siksa-Ku akan Aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa dan menunaikan zakat serta bagi orang-orang yang beriman pada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 156).

Kalimat “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” menunjukkan tidak ada satu makhluk pun yang lepas dari perhatian dan kasih sayang Allah. Bahkan mereka yang tersesat dan melakukan dosa besar sekalipun, masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan rahmat Allah jika mereka mau bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Kasih sayang Allah juga digambarkan dalam banyak hadis. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, “Wahai anak Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku akan mengampuni dosa-dosamu, walaupun sebesar apapun, dan Aku tidak peduli.” (HR. Tirmidzi).

Hadis tersebut menggambarkan betapa luasnya ampunan Allah dan bagaimana rahmat-Nya bisa diraih oleh setiap hamba yang dengan tulus kembali kepada-Nya.

Senyuman Allah, dalam konteks ini adalah lambang dari pengampunan-Nya yang luar biasa. Betapa sering Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, dan betapa besar kasih sayang-Nya terhadap mereka yang berusaha kembali ke jalan yang benar. Maka, senyum Allah bisa dipahami sebagai sebuah keridaan yang tak terhingga, yang diberikan-Nya kepada mereka yang bertaubat dan berjuang di jalan-Nya.

Baca: Benarkah Zuhud Harus Tinggalkan Urusan Dunia?

Senyuman Allah dalam keseharian

Mengetahui bahwa Allah bisa “tersenyum” kepada hamba-Nya, dalam arti mengampuni dan meridai mereka, seharusnya menjadi dorongan bagi setiap Muslim untuk selalu berusaha mendapatkan keridhaan-Nya.

Allah Swt adalah Tuhan yang Maha Penyayang, dan senyuman-Nya, sebagaimana yang digambarkan dalam hadis adalah bentuk kasih sayang dan penerimaan yang amat luas.

Dalam kehidupan sehari-hari, penting bagi umat Muslim untuk selalu mengingat bahwa Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni, selama kita kembali kepada-Nya dengan taubat yang tulus. Senyum Allah bukanlah sekadar sebuah metafora yang indah, tetapi juga pengingat bahwa Allah selalu membuka pintu rahmat-Nya bagi siapa saja yang berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.

Dalam konteks ini, umat Islam perlu meneladani sifat-sifat kasih sayang dan pengampunan Allah. Sebagaimana Allah tersenyum kepada hamba-Nya yang bertaubat, manusia pun harus berusaha menjadi pribadi yang mudah memaafkan dan bersikap rahmah kepada sesama manusia. Dengan demikian, umat yang beriman tidak hanya harus berusaha mendapatkan senyuman Allah, tetapi juga menebarkan senyuman itu dalam kehidupan sosial.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.