Ikhbar.com: Pada 2015, setengah juta eksemplar terjemahan “The Essential Rumi” karya Coleman Barks, habis terjual. Kesuksesan itu lantas menohatkan Rumi sebagai penyair dengan karya yang paling banyak dibaca di benua Amerika.
Tidak ketinggalan, para musisi sekelas vokalis Coldplay, Chris Martin hingga Madonna mengaku telah banyak terinspirasi oleh karya-karya Rumi. Sayangnya, masyarakat pembaca Amerika, Eropa, atau orang-orang Barat lainnya kerap terlupa bahwa Rumi bukan cuma pencipta puisi, tapi juga seorang pemimpin spiritual yang sangat dimuliakan oleh masyarakat Islam.
“Ditambah lagi, kini tradisi dalam dunia internet lebih terobsesi pada budaya kutipan yang akan ditangkap oleh orang-orang romantis yang sedang jatuh cinta, ketimbang menyadari hubungan Rumi yang lebih mendalam dengan Islam,” ucap penerjemah sastra Persia yang juga beberapa kali memproduksi ulang karya Rumi, Muhammad Ali Mojaradi, dikutip dari Al Jazeera, Senin, 18 Desember 2023.
Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam
Siapa Rumi?
Puisi spiritual dan kebijaksanaan seorang Jalaluddin Rumi memang telah melampaui waktu dan budaya di zamannya. Buktinya, setelah 750 tahun hari kematiannya, nama Rumi masih tetap dikenal dan menjadi penyair dengan karya terlaris di Barat, paling dihormati masyarakat Muslim di Timur, dan paling digandrungi anak-anak muda yang mencari bahan rayuan dengan cara berselancar di internet.
Di hari wafat Rumi, yakni pada 17 Desember 1273, jalan-jalan di Konya, Turki, dipadati pelayat dari berbagai latar belakang agama dan asal negara. Hal tersebut sekaligus mencerminkan wajah kosmopolitan masyarakat Anatolia abad ke-13. Saat itu, pertukaran ide dan seni lintas budaya memang sedang tumbuh subur.
Kabar “kepulangan” Rumi menjadi berita duka mendalam bagi para pengikutnya, entah itu mereka yang beragama Islam, Yahudi, Kristen, maupun Zoroaster. Di pusara penyair yang mengembuskan napas pada usia 66 tahun itu, tiap-tiap dari mereka membacakan kitab sucinya masing-masing.
Mereka pun bersepakat untuk secara massal mengenang Rumi secara rutin. Perayaan itu mereka sebut dengan Sheb-i Arus, yang berarti malam pernikahan, menurut bahasa Persia dan Turki.
Sebutan Sheb-i Arus diambil dari sepenggal puisi Rumi yang berbunyi:
Kematian kita adalah pernikahan dengan keabadian.
Di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga hari ini, orang-orang dari London, California, sampai Konya akan berkumpul dalam gerak dan emosi di setiap pertengahan Desember. Mereka datang hanya demi mengingat pidato elegi Rumi:
Saat kamu melihat mayatku digendong
Jangan menangisi kepergianku
Aku tidak akan pergi
Aku sampai pada cinta abadi
Makam Rumi telah menjadi tempat ziarah bagi jutaan umat dan wisatawan. Dilengkapi dengan Museum Mevlana (sebutan kebesaran Rumi), tercatat ada 3,5 juta total pengunjung pada 2019.
Rumi diyakini lahir pada awal abad ke-13 di Balkh (sekarang Afghanistan). Ada juga yang berpendapat dia lahir di Asia Tengah.
Di tahun kelahirannya, yakni 1207, Kekaisaran Persia masih terbentang dari India yang mewakili timur, hingga hingga Yunani, di ujung barat. Di dunia timur, nama Rumi sering diawali dengan gelar kehormatan Mevlana atau Maulana, yang bermakna “guru kita.” Hal itu menunjukkan betapa Rumi diakui sebagai ulama, bahkan waliyullah bagi masyarakat sufi.
“Malahan, bagi sebagian kalangan, menyebut nama Rumi tanpa gelar tersebut sangat dianggap tidak sopan,” ujar Mojaradi.
Baca: Cinta Menurut Tasawuf dan Sains
Memaknai Rumi
Mojaradi melanjutkan, banyak orang yang mengaku sebagai pembaca memproyeksikan pemahaman yang bias ketika berinteraksi dengan teks-teks sejarah karya Rumi.
“Saya pernah mendengar bahwa Rumi adalah seorang Muslim Sunni yang sangat ortodoks, ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah penganut Zoroaster yang tertutup, atau seorang Sufi yang menyimpang, atau seseorang yang terlalu tercerahkan untuk menganut suatu agama. Ada yang menganggapnya orang Tajik, Khurasani, ada yang Persia, atau Iran, ada pula yang bersikukuh bahwa dia orang Turki. Ini lebih menunjukkan bias kami dibandingkan Rumi yang sebenarnya,” katanya.
Padahal, selama hidupnya, identitas Rumi secara intrinsik begitu terikat dengan keyakinannya.
Akulah debu di jalan Muhammad, Yang Terpilih.
Menurut Mojaradi, Rumi adalah seorang cendekiawan Muslim dengan keagungan nasab yang panjang.
“Rumi mengajarkan banyak hal tentang syariah atau hukum Islam. Tetapi, ia juga mempraktikkan tasawuf. Dan sisi tasawuf inilah yang lebih dikenal bagi masyarakat Barat,” katanya.
Rumi memang sering menunjukkan cara-cara mendekatkan diri kepada Tuhan melalui penyucian batin, refleksi, meditasi, nyanyian, hingga tarian.
“Rumi semasa dengan pemikir dan penyair lain seperti Ibnu Arabi, filsuf Andalusia, dan Fariddudin Attar, penulis Mantiq-ut-Tayr dari Persia,” katanya.
Setelah menyelesaikan pendidikan teologinya di Aleppo, Suriah, Rumi pergi ke Konya lalu bertemu seorang pengembara bernama Shams-i-Tabriz. Sosok inilah yang konon semakin memperdalam pengaruh Rumi dalam dunia intelektual Islam.
“Tabriz-lah yang mengubah Rumi dan menuntunnya pada ‘kebangkitan spiritual,” kata pendiri gerakan seni spiritual, Rumi Center, di California, Baraka Blue.
Karya besar yang dilahirkan Rumi adalah Masnavi atau Matsnawi, yaitu serangkaian puisi sepanjang 50 ribu baris. Matsnawi ditulis dalam bait dan kuatrain berima yang berisi pesan kerinduan seumur hidup terhadap Tuhan.
Karya terkenal lain milik Rumi adalah Fihi Ma Fihi dan Divan-i Shams-i Tabrizi, yakni kumpulan puisi yang ditulis untuk menghormati mentor spiritualnya itu.
Menurut Blue, perlu pemahaman yang mendalam agar bisa mengerti betul kata-kata Rumi.
“Kata-katanya tidak diragukan lagi merupakan titik masuk yang indah menuju tradisi (Islam),” katanya.
Baca: Lewat Kopi, Islam Singkirkan Pamor Alkohol dan Perluas Jangkauan Syiar
Rumi di mata orang Amerika dan Eropa
Karya-karya Rumi pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1772 oleh seorang hakim dan ahli bahasa, William Jones di Kalkuta. Hingga kemudian, daya tarik mistik pemikiran Rumi menarik perhatian para penerjemah lainnya, seperti JW Redhouse pada 1881, Reynold A Nicholson (1925), dan AJ Arberry (1960).
Meski begitu, seorang penyair yang juga menulis beberapa antologi puisi Persia dan Urdu, Zirrar Ali mengatakan, popularitas Rumi secara global baru menguat dan menyeluruh di saat terjemahan-terjemahan itu diolah ulang secara lebih akademis, terutama oleh Barks, di era 1990-an.
“Sayangnya, popularitas itu harus dibayar mahal. Para pembaca Barat mendefinisikan Rumi sebagai seorang penyair sekuler dan universalis,” tegas Ali.
Padahal, lanjut Ali, karya-karya agung seperti milik filsuf Jerman Immanuel Kant dan pemikir Inggris John Locke, tidak akan bisa dipelajari tanpa terlebih dahulu berupaya memahami sistem kepercayaan yang mereka jalani.
“Rumi juga sama. Tapi mengapa tampak bertransformasi begitu jauh? Ini sebagian karena kemalasan dan sebagian lagi memang disengaja,” tambahnya.
Menurutnya, menafikan keyakinan Rumi sebagai seorang Muslim bermazhab Sunni ortodoks telah menyebabkan terjemahan yang salah. Nuansa yang hadir, justru hanya memberikan gambaran seorang pria dengan pemikiran-pemikiran yang pseudo-sekuler.
Lebih parah lagi, lanjut Ali, Rumi tidak hanya dicap sebagai seorang universalis, tetapi juga digambarkan sebagai liberalis.
“Rumi, oleh Barat, ditampilkan sebagai seseorang yang tidak menginginkan apapun selain anggur, seks, dan kesenangan duniawi,” keluhnya.
Senada, seorang profesor di Departemen Studi Asia dan Timur Tengah, Duke University di North Carolina, Omid Safi mengatakan, kekeliruan terjemahan yang tidak dilandasi kecakapan dalam sisi spiritual mengakibatkan pemahaman yang fatal.
Baca: Cinta dalam Kamus Tasawuf
Kata “Tuhan” atau “Yang Tercinta” yang biasa digunakan Rumi, dialih-bahasakan setara hubungan percintaan antarmanusia. “Padahal, tentu, itu tentang hal-hal yang bersifat surgawi dan Ilahi,” katanya.
“Contoh nyata lainnya adalah kalimat yang banyak dikutip, ‘Biarkan keindahan yang kita cintai menjadi apa yang kita lakukan, ada ratusan cara untuk berlutut dan mencium tanah.’ Orang-orang Barat abai bahwa dalam karya aslinya, Rumi sedang secara khusus menjelaskan tentang romantisme gerakan rukuk dan sujud dalam salat, sebuah ritual agung dalam ajaran Muslim,” kata Safi.
Menurutnya, memopulerkan Rumi di tangan Barat, justru seakan sedang melepaskan karya-karya hebat itu dari roh keislaman yang lekat di dalamnya.
“Versi Rumi yang paling populer terasa sangat menyederhanakan dan jauh dari spirit Islam,” kata Safi.