Ikhbar.com: Debat menjadi salah satu metodologi dakwah yang banyak dilakukan umat Islam dari masa ke masa. Dalam tradisi keulamaan, ilmu yang mempelajari metode ini disebut dengan ilmul jadal wal munazharah (ilmu berdebat dan berdiskusi).
Konsep debat terinspirasi dari penjelasan dalam QS. An-Nahl: 125. Allah Swt berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Imam Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut sebenarnya tengah memberikan opsi cara mengungkap fakta (kebenaran) lewat metodologi jadal (debat) yang bertujuan mematahkan argumentasi lawan dengan cara yang ahsan (terbaik/lebih baik).
Menurut Imam Al-Thabari, kata “ahsan” dalam ayat tersebut mengarah pada proses debat dalam bingkai etika dan adab.
Baca: Debat Capres dalam Pandangan Islam
Perkembangan debat
Tradisi debat sudah ada sejak masa pra-Islam. Di era Jahiliyah, perdebatan biasa terjadi di antara para penyair yang mewakili dua kabilah yang saling berperang.
Saat terlibat perdebatan, mereka menggunakan puisi bergenre al-hija, yang biasanya berisi pujian dan cemoohan atau cercaan. Dalam praktiknya, satu penyair akan menyerang lainnya. Sementara pihak yang diserang membela diri lalu menyerang balik dengan menggunakan metode yang sama.
Setelah Islam datang, pelaksanaan debat mulai disisipi syarat adab dan etika. Di dalam Al-Qur’an, pembahasan debat disebut sebanyak 29 kali melalui lafaz jidal, jadal, atau mujadalah yang semuanya menunjukkan makna debat atau perdebatan. Pesan utamanya adalah perintah untuk meninggalkan jenis perdebatan yang tidak disertai etika.
Meskipun metode debat telah mendarah daging dalam masyarakat Arab, tetapi format, struktur, dan sistematika perdebatan masih tampak sangat sederhana. Perdebatan masih cuma mengedepankan tanya jawab dan beradu klaim antarpihak.
Bahkan, di masa Bani Umayyah, tuntutan untuk melakukan jadal ahsan (debat dengan etika yang baik) semakin luntur dan tradisi itu kembali pada penggunaan genre al-hija yang hanya berisi al-mada’ih (puji-pujian) dan al-naqa’id (ejekan).
Imam Al-Ḥaramain Al-Juwaini dalam Al-Kafiyah fi al-jadal dan al-Burhan fi usul al-fiqh menjelaskan, etika dalam perdebatan kembali membaik ketika mulai banyak diadopsi oleh ulama-ulama mazhab. Perdebatan yang awalnya masih disemangati fanatisme golongan beranjak menjadi lebih sistematis ketika mereka mengompilasikan perbedaan pandangan mereka dalam karya-karya yang bergenre ilmu khilaf atau ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Imam Syafi’i, misalnya, mengumpulkan perbedaan pendapat antara dirinya dengan Imam Al-Syaibani dan ulama lainnya dalam karya tulis berupa Al-Umm. Qadi Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, juga mengumpulkan perbedaan pendapat antara gurunya dengan ulama lain yang bernama Ibnu Abi Layla dalam Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Layla.
Tradisi perdebatan yang telah berkembang di dalam kesarjanaan Islam itu kemudian mendapatkan sentuhan teoretis dan sistematika baru dari karya-karya Yunani. Terutama pengaruh Aristoteles di bidang dialektika, yakni Topics dan Sophistical Refutations.
Permulaan masa itu ditandai dengan proyek penerjemahan buku Aristoteles tersebut ke dalam bahasa Arab atas perintah Khalifah Al-Mahdi (Khalifah Ketiga Dinasti Abbasiyah). Dari penerjemahan tersebut, para ulama mendapatkan bekal metodologis tentang bagaimana sebuah argumen dapat didebat dan dibantah dengan cara yang tepat. Sejak saat itulah, para ulama menyebut ilmu tentang cara dan etika berdebat tersebut sebagai ilm al-jadal atau adab al-jadal.
Di kalangan filsuf Muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menerjemahkan dialektika Aristoteles tanpa banyak melakukan modifikasi. Mereka memandang bahwa metode jadal tidak lebih dari sekadar alih bahasa teori dialektika dalam bahasa Arab.
Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam
Struktur debat dalam Islam
Imam Al-Juwaini menegaskan, pendapat para filsuf Muslim sangat berbeda dengan kalangan ulama fikih yang pada akhirnya melakukan banyak modifikasi atas teori dialektika Aristoteles. Di tangan mereka, pertanyaan-pertanyaan dialektis Aristoteles yang hanya membutuhkan jawaban “ya” atau “tidak” dimodifikasi menjadi empat pertanyaan dialektis yang penting.
Pertama, pertanyaan tentang apakah seseorang mempunyai pendapat. Kedua, tentang isi/muatan pendapat. Ketiga, tentang bukti dari pendapat tersebut. Keempat, tentang status kesahihan bukti.
Keempat pertanyaan dialektis-jadal tersebut memungkinkan seorang pendebat untuk mengerti posisi dan bukti-bukti yang dimiliki oleh lawannya. Setelah mengerti, baru kemudian dia melancarkan bantahan-bantahan terhadap bukti-bukti dan argumen lawannya tersebut dengan cermat.
Fokus bantahan dalam jadal bukan langsung pada tesis atau pendapat lawan, yang notabene merupakan hasil akhir dari penalaran yang dilakukannya. Inti jadal terletak pada premis-premis atau bukti-bukti yang digunakan oleh lawan untuk menopang pendapatnya. Pasalnya, jika premis dan bukti yang dipakai lawan untuk menopang argumennya tersebut terbantahkan, maka otomatis argumen, pendapat, atau tesis sang lawan akan runtuh dengan sendirinya.
Bukti-bukti yang dipakai para ulama untuk mendasarkan pendapat keagamaannya terdiri dari sumber-sumber mulai dari Al-Qur’an, hadis Nabi Muḥammad Saw, ijma (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).
Imam Al-Juwaini menjelaskan, posisi tertinggi dalam hierarki argumen jadal adalah dalil-dalil qat’iyat (konklusif), yang terdiri dari teks-teks di dalam Al-Qur’an yang univocal (makna tunggal), tidak mengandung ragam penafsiran, teks-teks yang ada dalam hadis mutawatir yang tidak mengandung ragam penafsiran, dan ijma.
Menurutnya, pengetahuan yang dihasilkan dari dalil-dalil tersebut bernama ilm (pengetahuan sahih) dengan bobot qat’i (kepastian epistemologis).
Sedangkan di hierarki kedua, dalil-dalil yang tidak konklusif disebut sebagai dalil-dalil yang bersifat zanni (kemungkinan). Penalaran yang didasarkan atas dalil-dalil semacam ini menghasilkan pengetahuan yang bobotnya bervariasi, dari jahl (pengetahuan yang salah), syak (kebimbangan), dan yang paling kuat adalah zanni (kemungkinan/spekulatif).
Meski begitu, sekuat-kuatnya pengetahuan zanni, kata Imam Al-Juwaini, tidak mungkin bisa menyamai apalagi melampaui pengetahui qat’i.