Ikhbar.com: Relasi kelompok ulama (sarjana Muslim) dan umara (penguasa) mengalami dinamika yang fluktuatif dalam sepanjang sejarah. Pada satu waktu, hubungan keduanya bersifat kolaboratif, bahkan integratif. Sedangkan di waktu dan tempat berbeda dapat bersifat sekularistik-pragmatik.
Perubahaan tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah gerakan sekularisme yang berkembang di Eropa pada abad ke-19. Gerakan ini diprakarsai penulis agnostik asal Inggris, George Holyoake pada 1851, hingga kemudian memengaruhi negara-negara modern.
Dalam sejarah Islam, kelompok ulama memiliki peran penting dalam penyelenggaraan negara. Kedudukannya bersanding dengan umara untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Salah satu tokoh ulama cum negarawan yang terkenal adalah Imam Al-Mawardi.
Baca: Siapakah yang Layak Disebut Ulama? Ini Syarat dan Ketentuannya
Siapa Al-Mawardi?
Dalam Al-Hawi al-Kabir, ia memperkenalkan dirinya sebagai Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri. Imam Al-Mawardi lahir sekitar tahun 974 di Basrah, Irak, dan wafat pada tahun 1058. Dirinya dikenal sebagai seorang cendekiawan sunni dan ahli hukum bermazhab syafi’i.
Selain itu, ia juga seorang peletak teori-teori hukum, muhaddits (ahli hadis), teolog, sosiolog, dan pakar ilmu politik. Al-Mawardi dianggap sebagai seorang sarjana terkemuka pada zamannya yang menulis tentang berbagai subjek, termasuk tafsir Al-Qur’an, agama, pemerintahan, hukum publik dan konstitusi, bahasa, etika, dan sastra.
Karya terkenalnya ialah Al-Ahkam al-Sultaniyyah, yang membahas teori negara dan pemerintahan.
Munawir Sjadzali dalam Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (1990) menulis, selama kiprah politiknya, Al-Mawardi banyak membantu dua khalifah, Al-Qadir Billah dan Al-Qaim Billah, dengan peran yang sedikit berbeda.
“Pada masa Al-Qadir, ia menjabat staf ahli, sementara pada masa Al-Qaim, ia terlibat sebagai seorang diplomat,” tulis dia, dikutip Sabtu, 16 Desember 2023.
Baca: Mengenal Fikih Siyasah, Panduan Politik Umat Islam
Demokrasi Islam
Al-Mawardi memandang politik dan kekuasaan sebagai komitmen agama dan aktivitas politik yang harus diatur sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, Al-Mawardi memperkenalkan teori ahl al-Ikhtiyar atau ahl al-Hall wa al-‘aqd (orang-orang yang dapat melepas dan mengikat).
Al-Mawardi menyebutkan bahwa kepala negara dipilih berdasarkan kesepakatan atau mufakat. Teori ini merupakan kritik atas kedudukan khalifah yang begitu dominan, sehingga mencabut cita-cita demokratis yang sangat berakar dalam politik Islam.
Rashda Diana dalam Al-Mawardi dan Konsep Negara dalam Islam Jurnal Tsaqafah (2017) menyatakan, Al-Mawardi menekankan bahwa kepemimpinan sebuah bangsa adalah instrumen untuk menyampaikan misi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengendalikan dunia. Perspektif ini mencerminkan keyakinannya akan peran penting agama dalam melegitimasi otoritas politik.
Menurut Rashda, Al-Mawardi lebih menyukai pendekatan institusional untuk mengelola sebuah negara. Ia menekankan fungsi kelembagaan dan stabilisasi struktur bangsa. Pendekatannya bertujuan untuk membangun hubungan antara Ahl al-Ikhtiyar dan Ahl al-Imamah, yang mengarah pada hak dan kewajiban satu sama lain.
“Dia percaya bahwa kepala negara harus memenuhi tugasnya, seperti melindungi dan mengelola kepentingan rakyat dengan penuh tanggung jawab,” pungkasnya.