Ikhbar.com: Cinta memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia. Maka, amat wajar jika cinta telah menjadi sumber inspirasi bagi para penyair dan penyanyi di sepanjang sejarah.
Menurut Imam Al-Ghazali, cinta hanya dapat dipahami melalui dampak yang dihasilkannya. Dalam karyanya, Ihya Al-Ulumuddin, ia menjelaskan:
الحُبُّ عِبارَةٌ عَنْ مَيْلِ الطَّبْعِ إِلىَ الشَّيْءِ المُلَذِّ
“Cinta merupakan ungkapan dari ketertarikan alami terhadap sesuatu yang dianggap menggugah kenikmatan.”
Baca: Al-Qur’an Bicara Cinta
Reaksi cinta
Ternyata, esensi yang disampaikan Hujjatul Islam tersebut tak jauh berbeda dengan penjelasan sains. Senior Lecturer School of Psychology, University of Central Lancashire, Gayle Brewer mengatakan, aktivitas otak memainkan peran sentral dalam cinta. Berbagai area otak, terutama yang terhubung dengan penghargaan dan motivasi, terstimulasi oleh kehadiran orang yang dicintainya.
Area ini memengaruhi peningkatan kepercayaan terhadap pasangan, mengurangi kecemasan, serta memblokir respons negatif.
“Kesejahteraan kita dalam hubungan romantis terkait dengan intensitas aktivasi otak, bahkan komitmen dan kepuasan berhubungan dengan perasaan bahagia,” ungkap dia, dikutip dari The Conversation, Rabu, 16 Agustus 2023.
Ia melanjutkan, hormon oksitosin dan vasopresin, yang diproduksi oleh hipotalamus, memainkan peran penting dalam cinta. Intensitas hormon ini meningkat selama tahap-tahap awal cinta romantis, mempengaruhi berbagai sistem otak terkait cinta. Ia mencontohkan, tikus padang rumput, hewan monogami seumur hidup, memiliki kepadatan reseptor oksitosin dan vasopresin yang tinggi. Sementara tikus gunung, yang gonta-ganti pasangan, memiliki kepadatan lebih rendah.
Menurut dia, cinta juga bisa menyebabkan rasa kehilangan. Kehilangan cinta romantis dapat memicu kesedihan yang rumit, terutama jika terjadi dalam proses pencarian pasangan. Respons otak terhadap rasa kehilangan menciptakan keinginan atau ketergantungan yang sulit untuk pulih.
Brewer kemudian membandingkan antara cinta romantis terhadap pasangan dengan cinta keibuan. Menurutnya, terdapat kesamaan respons fisiologis antara keduanya. Namun, perbedaan antara respons terhadap cinta keibuan dan cinta romantis terjadi karena cinta keibuan mengaktifkan sejumlah bagian di otak, seperti Periaqueductal Grey (PAG) alias materi abu-abu periaqueductal. PAG berfungsi untuk memodulasi sensasi nyeri. Bagian ini tidak diaktifkan selama cinta romantis.
“Ini alasan mengapa ikatan keibuan bersifat unik,” jelas dia.
Dalam semua kompleksitasnya, cinta bukan hanya perasaan, tetapi juga hasil interaksi hormonal dan aktivitas otak.
“Fakta-fakta ini didukung oleh penelitian pada manusia dan hewan, yang mengungkapkan hubungan antara aktivasi otak, hormon, dan pengalaman emosional dalam konteks cinta,” ujar Brewer.
Baca: Kisah Kasih Rasulullah: Siti Khadijah yang Tiada Dua
Cinta para sufi
Akan tetapi, dunia tasawuf menempatkan cinta melampaui itu semua. Cinta dipahami kaum sufi sebagai puncak kenikmatan dari serangkaian hasil penghambaan total kepada Allah Swt. Sekaligus sebaliknya, cinta ialah anak tangga demi mencapai kenikmatan ibadah secara paripurna.
Para ulama sufi mampu mendefinisikan cinta secara mendalam, meluas, dan menyeluruh. Oleh mereka, cinta mampu ditampilkan sebagai gradasi keindahan dari titik bersifat bentuk alias wujudi, menjadi absolut tiada berbatas.
Tokoh sufi yang kental dengan konsepsi originalnya mengenai cinta adalah Fakhruddin Ibrahim Iraqi. Sosok yang lahir di Hamadan, Konya pada 10 Juni 1213 itu menyebut bahwa Allah adalah cinta itu sendiri.
Dalam karya terkenalnya, Lama’at, Iraqi menegaskan bahwa cinta amat bersinggungan dengan asal dari setiap sesuatu.
“Seorang pencinta (makhluk) sebagai mumkin al-wujud (possible existent) adalah berasal dari tetesan Sang Kekasih (Wajib al-Wujud). Akibatnya, cinta harus menorehkan kesadaran seseorang terhadap munasabah (afinitas),” tulisnya.
Pemerhati tasawuf, William C. Chittick dalam The sufi path of love: the spiritual teachings of Rumi (2000) menjelaskan, para sufi membagi kategori cinta pada manusia menjadi dua jenis.
“Yaitu cinta sejati (‘isyq haqiqi) atau cinta pada Tuhan, dan cinta imitasi (‘isyq majazi) alias cinta terhadap segala yang selain-Nya,” tulisnya.
Namun, lanjut dia, dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta sesungguhnya adalah cinta pada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untuk-Nya semata.
“Sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari segala objek keinginan dan mengarahkan cinta terhadapnya,” tulis Chittick.