Ikhbar.com: Jurnalis senior sekaligus penulis terkenal asal Amerika Serikat (AS), Michael Pollan, membedah karya terbarunya yang berjudul How Caffeine Created the Modern World (2020). Buku itu membahas tentang pengaruh zat psikoaktif yang paling banyak digunakan di dunia. Kafein yang ada pada secangkir kopi telah membuat begitu banyak orang merasa seperti kecanduan.
Namun, Pollan menceritakan bahwa ia justru berani memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada alkohol setelah mengenal nikmatnya hidangan secangkir kopi.
“Kopi telah membawa perubahan dalam kondisi mental dan mampu mempertajam pikiran yang selama ini telah dikaburkan alkohol,” tulisnya, dikutip pada Kamis, 24 Agustus 2023.
Menurut legenda, kopi ditemukan pertama kali secara tidak sengaja. Alkisah, seorang penggembala di Ethiopia bernama Khalid mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga, bahkan setelah matahari terbenam, setelah memakan sejenis buah beri. Setelah itu, ia pun mencoba ikut memasak dan memakannya. Kebiasaan itu kemudian terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara di Afrika.
Baca: Kucing dalam Budaya Islam, dari Hadis Nabi hingga Objek Seni
Dari Ethiopia ke Yaman
Setelah kopi ditemukan, banyak orang di Afrika mengonsumsi biji kopi dengan cara mencampurkannya bersama lemak hewan dan anggur demi memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Kopi, terus dikonsumsi dengan cara kuno tersebut hingga beberapa ratus tahun kemudian, tepatnya setelah dibawa para pedagang Muslim melewati Laut Merah dan tiba di Jazirah Arab, kopi mendapati nasib baiknya melalui penyajian yang lebih menarik, praktis, dan modern.
Pollan menyebut, sudah terlalu banyak tulisan yang mengulas sejarah kopi. Akan tetapi, para sejarawan tampaknya gagal untuk mencapai konsensus terkait kapan komoditas yang kini telah dibudidayakan di lebih dari 50 negara itu ditemukan secara lebih pasti. Meskipun begitu, kata Pollan, data terkuat dan paling awal dalam mempelajari sejarah kopi justru banyak dikenalkan dan disebarkan komunitas Islam. Terutama melalui rute Ethiopia ke Yaman pada abad ke-15.
Dalam Shadharat al Dhahab fi Akhbar Man Dhahab li-l Mu’arrikh Abi al-Fallah, Abd Al-Hayy bin Ahmad bin Al-Imad menuliskan, kemasyhuran kopi dimulai dari sekelompok sufi tarekat Syadziliyah yang biasa membuat minuman bernama al-qahwa berbahan daun al-gat, kemudian mengganti zat perangsang itu dengan bunn, sebutan lain dari biji kopi.
Data lainnya diungkapkan seorang pedagang linen asal Inggris, John Ellis dalam An Historical Account of Coffee with an Engraving and Botanical Description of the Tree (1774). Dia memaparkan dengan mengutip Ibnu Shihab Al-Din, bahwa sejarah minuman kopi pertama mendarat di Yaman menyebut nama seorang mufti sekaligus sufi, Jamal Al-Din.
Dalam salah satu perjalanannya ke Persia, Jamal Al-Din melihat beberapa orang sebangsanya sedang meminum kopi. Setelah kembali pulang, dia jatuh sakit dan memutuskan untuk turut mencoba meminum kopi demi memperbaiki kondisi tubuhnya. Ternyata, tidak hanya sembuh, Jamal Al-Din juga merasakan manfaat lainnya dari biji arabika tersebut berupa meningkatnya kadar semangat dan pencegahan terhadap kantuk.
Sejak saat itulah, dia mulai merekomendasikan minuman itu kepada rekan-rekannya agar bisa melaksanakan salat malam dengan bugar. Promosi dari otoritas mufti ini pun turut mendongkrak reputasi kopi hingga menyebar dan menyingkirkan popularitas minuman berbahan daun al-gat yang dinilai lebih banyak mengandung risiko.
Baca: Pentingnya Belajar Sejarah Menurut Ibnu Khaldun hingga Arkoun
Kedai kopi, gudang informasi
Sejarawan kekhalifahan Utsmaniyah, Ibrahim Pecevi dalam Tarihi Pecevi menuliskan bahwa kedai kopi pertama ditemukan di Istanbul, Turki. “Sampai tahun 962 (1554-55), di kota Konstantinopel serta di negeri-negeri Utsmaniyah pada umumnya tidak dijumpai kedai kopi. Sampai seseorang bernama Hakem (Hakam) dari Aleppo dan seorang pedagang bernama Sems (Shams) dari Damaskus datang ke kota dan tiap-tiap dari mereka membuka toko besar di distrik bernama Tahtakale dan mulai menjual kopi di sana,” tulisnya.
Dengan adanya tradisi pembuatan kedai yang terus menjamur, pada akhirnya umat Islam mampu menebarkan kegemaran terhadap minuman tersebut hingga Eropa. Bahkan, kopi turut memainkan peran utama dalam mentransfer ide-ide baru, tradisi dan budaya, pangan, seni, berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga syiar Islam.
Pada awal abad ke-17, tradisi membuat kedai kopi pun menembus Eropa. Kedai kopi di benua biru itu dibuka pertama kali di Venesia disusul dengan ribuan warung sejenis yang terus bermunculan. Kembali ke cerita Pollan lewat bukunya, tradisi kedai kopi ini pun semakin menghadirkan ruang-ruang intelektual jenis baru.
“Anda membayar satu sen untuk kopinya, tetapi informasinya –dalam bentuk surat kabar, buku, majalah, dan percakapan – gratis…” tulisnya.
Pada 1629 itulah kedai kopi pertama bergaya Arab dan Turki tersebut mengetuk pintu Eropa. Sedangkan kedai pertama di Inggris dibuka di Oxford pada 1650 oleh seorang imigran, yang kemudian semakin menjamur sampai ada satu tempat menyeruput kopi, berbincang, dan berbagi informasi untuk, setidaknya, setiap 200 warga London.