Cinta dalam Kamus Tasawuf

Ikhbar.com: Dunia tasawuf menempatkan cinta sebagai puncak kenikmatan dari serangkaian hasil penghambaan total kepada Allah Swt. Sekaligus sebaliknya, cinta ialah anak tangga demi mencapai kenikmatan ibadah secara paripurna.

Para ulama sufi mampu mendefinisikan cinta secara mendalam, meluas, dan menyeluruh. Oleh mereka, cinta mampu ditampilkan sebagai gradasi keindahan dari titik bersifat bentuk alias wujudi, menjadi absolut tiada berbatas.

Tokoh sufi yang kental dengan konsepsi originalnya mengenai cinta adalah Fakhruddin Ibrahim Iraqi. Tokoh yang dilahirkan di Hamadan, Konya pada 10 Juni 1213 itu menyebut bahwa Allah adalah cinta itu sendiri.

Dalam karya terkenalnya, Lama’at, Iraqi menegaskan bahwa cinta amat bersinggungan dengan asal dari setiap sesuatu.

“Seorang pencinta (makhluk) sebagai mumkin al-wujud (possible existent) adalah berasal dari tetesan Sang Kekasih (Wajib al-Wujud). Akibatnya, cinta harus menorehkan kesadaran seseorang terhadap munasabah (afinitas),” tulisnya, dikutip pada Selasa, 14 Februari 2023.

Pemerhati tasawuf, William C. Chittick dalam The sufi path of love: the spiritual teachings of Rumi (2000) menjelaskan, para sufi membagi kategori cinta pada manusia menjadi dua jenis.

“Yaitu cinta sejati (‘isyq haqiqi) atau cinta pada Tuhan, dan cinta imitasi (‘isyq majazi) alias cinta terhadap segala yang selain-Nya,” tulisnya.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta sesungguhnya adalah cinta pada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untuk-Nya semata.

“Sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari segala objek keinginan dan mengarahkan cinta terhadapnya,” sambung Chittick.

Tokoh agung lainnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin, bahkan menyajikan satu bab khusus tentang cinta (mahabbah). Al-Ghazali mengupas tuntas dalil-dalil, hakikat, penyebab, dan siapa saja yang berhak mendapatkan cinta.

Di antara argumentasi yang dimunculkan Al-Ghazali tentang cinta ialah QS. Al-Baqarah: 165.

وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”

Juga hadis Nabi Muhammad Saw:

يَا رَسوْلَ اللهِ، مَا الإيْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلهُ أَحَبَّ إلَيْكَ مِمَّا سِوَاهُمَا.

“Wahai Rasululla, apakah yang dimaksud iman? Rasulullah menjawab, ‘Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih Kamu cintai daripada selain keduanya.” (HR. Ahmad)

Menurut Sang Hujjatul Islam itu, dengan cinta seseorang bisa menjadi istimewa di sisi Pencipta. Tanpa cinta, ia tidak lebih sekadar seorang hamba yang tidak mempunyai nilai lebih. Al-Ghazali menjelaskan:

تُدْعَى الْأُمَمُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِأَنْبِيَائِهَا عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ. فَيُقاَلُ: يَا أُمَّةَ مُوسَى وَيَا أُمَّةَ عِيسَى وَيَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ غَيرِ المُحِبِّيْنَ لِلهِ تَعَالَى. فَإِنَّهُم يُنَادُوْنَ: يَا أَوْليَاءَ اللهِ هَلُمُّوا إِلىَ الله سُبْحَانَهُ فَتَكَادُ قُلُوبُهُم تَنْخَلِعُ فَرْحًا

“Kelak di hari kiamat, semua umat akan dipanggil menghadap Allah sesuai dengan nama nabinya. Maka dikatakan, ‘Wahai umat Musa, wahai umat Isa, wahai umat Muhammad’, kecuali para pecinta Allah, mereka akan dipanggil ‘Wahai kekasih Allah, kemarilah menghadap Allah Swt. Maka seketika hati mereka hampir menyemburat karena kebahagiaan.”

Sementara itu, Imam Qusyairi menyebut cinta dalam Lathaif al-Isyarat sebagai kondisi sepiritual yang begitu halus dan lembut,yang ditemukan makhluk berkat penghambaannya kepada Tuhan.

Lebih jauh lagi, Abu Ali Ar-Rudzbari membatasi cinta dengan ungkapan, “Selama engkau belum keluar sepenuhnya dari dirimu, engkau belum masuk ke dalam batas cinta.”

Ulama sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan, “Pecinta Allah tidak pernah berhenti merindukan dan menghela napas panjang hingga dia beristirahat tenang di sisi Dia yang dicintainya.”

Sedangkan Abdullah al-Qurasyi berkata, “Hakikat cinta adalah engkau memberikan seluruh dirimu kepada Dia (Allah) yang kamu cintai dan tidak ada sisa sedikit pun dari dirimu.”