Ikhbar.com: Siapa sangka, peradaban Islam pernah mengalami puncaknya dan menjadi rujukan ilmu pengetahuan umat manusia di seluruh dunia. Para calon sarjana dari berbagai negara berbondong-bondong datang ke pusat-pusat pengetahuan Islam demi mendapatkan pendidikan terbaik bagi mereka.
Pakar sejarah Islam di The Warburg Institute, Universitas London, Inggris, Profesor Charles Burnett menjelaskan, para calon ilmuwan asal Eropa Abad Pertengahan lazim memburu ilmu pengetahuan di kelas-kelas belajar yang didirikan tokoh Islam.
“Pusat-pusat pendidikan itu berupa madrasah yang terhubung dengan masjid dan dakwah Islam, tetapi dengan kurikulum yang disajikan secara terbuka,” kata Profesor Burnett, dikutip dari Muslim Heritage, Rabu, 6 September 2023.
Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam
Beda pendidikan Islam dan Barat
Madrasah-madrasah Islam saat itu jadi primadona dan banyak diikuti para pelajar dari Eropa yang tetap memeluk agama Kristen maupun Yahudi.
“Hal ini berbeda dengan aturan saat itu ketika seseorang mendaftar kuliah di universitas di Eropa. Mereka harus mengambil tahbisan suci. Oleh karena itu, institusi-institusi pendidikan tinggi di Eropa tidak hanya tertutup bagi orang-orang Yahudi dan Muslim, tetapi mereka juga tidak terbuka bagi para sarjana Kristen yang ingin memenuhi aspirasi pendidikan mereka tanpa harus menjalankan perintah suci,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Burnett, para cendekiawan Kristen dan Yahudi dengan latar belakang keluarga yang kaya lebih memilih mencari madrasah-madrasah Islam yang tidak akan menolak mereka untuk belajar dan mengais banyak ilmu pengetahuan.
Menurut Profesor Burnett, sepanjang abad ke-8 hingga ke-13 itulah kemudian banyak orang menyebutnya sebagai periode emas peradaban Islam.
“Bahkan, Arab menjadi bahasa pengantar kuliah internasional seperti halnya bahasa Inggris yang saat ini menjadi lingua franca perkuliahan modern,” katanya.
Sayangnya, kata Burnett, saat ini keadaan telah berbalik. Para cendekiawan dari negeri-negeri Islam lebih merasa bergengsi untuk datang dan belajar ke negara-negara Barat.
“Kini para cendekiawan Barat yang mengambil peran melestarikan dan membuka teks-teks Arab kuno yang menyimpan rincian tentang apa yang disampaikan umat Islam ke Eropa pada abad pertengahan,” katanya.
Dituding selesai
Charles Burnett adalah salah satu dari kelompok cendekiawan yang getol menelusuri keterputusan mata rantai transfer pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa pada Abad Pertengahan. Penelusuran dimulai dari saluran budaya Latin di Eropa sebagai budaya yang paling dekat dengan peradaban Arab dan Timur Tengah.
“Namun, masih banyak yang harus dilakukan dalam mendokumentasikan banyaknya teks tertulis dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kami mendokumentasikan dampak teks-teks ini terhadap para sarjana Barat pada saat itu, serta pengaruh non-tekstual seperti arsitektur, musik, seni visual, dan teknologi,” katanya.
Meski begitu, para cendekiawan Barat menuding bahwa kecemerlangan peradaban Islam telah berakhir pada abad ke-12, tepatnya setelah kematian Averoes atau Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd dari Cordoba di Spanyol pada 1198.
“Ibnu Rusyd dianggap Eropa Abad Pertengahan sebagai cendekiawan terbesar di dunia Muslim. Sebagai seorang dokter terkemuka, filsuf, dan sebagai seseorang yang pernah mengabdi sebagai hakim di Cordoba dan Maroko, Ibnu Rusyd tentunya menganut perpaduan unik antara sains, filsafat, agama, dan yurisprudensi,” katanya.
“Tetapi penghormatan terhadap ilmuwan dan pemikir besar ini mempunyai sisi negatif, yaitu menerapkan pendekatan yang membatasi diri berdasarkan asumsi bahwa keilmuan di dunia Islam mencapai puncaknya pada masa hidup Ibn Rusyd dan berakhir pada saat kematiannya. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan Arab tidak dianggap penting sebagai referensi setelah abad ke-12,” sambungnya.
Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia
Burnett pun membantah. Gagasan bahwa dunia Islam terhenti setelah kematian ilmuwan dan filsuf paling terkenal itu tidaklah benar. Sebab, faktanya keilmuan terus berlanjut di dunia Islam.
“Lalu mengapa ketika sejarah mencatat prestasi ilmuwan-ilmuwan besar seperti Galileo, Newton, dan Copernicus, ilmuwan-ilmuwan Muslim sangat mencolok dalam ketidakhadiran mereka dan bahkan ketika mereka disebutkan entah apa yang membuat mereka dikenal,” katanya.
Padahal, menurut Burnett, setelah Ibnu Rusyd, Islam masih melahirkan ilmuwan besar sekelas Nasir Ad-Din Al-Tusi sang ahli astrinomi dan banyak nama yang andal di segala bidang.
“Tokoh-tokoh ini lebih berhak dimasukkan daftar ketimbang Galileo yang dipaksakan dengan alasan yang tidak jelas,” kata Burnett.
“Dan Islam terus melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar hingga hari ini,” sambung dia.
Di sisi lain, Eropa mengakui jasa peradaban Islam sebagai pelecut kebangkitan pengetahuan mereka. Contoh yang sangat mencolok dari pola pikir ini ketika ilmuwan Barat mengaku kembali masa lalunya berkat adanya ikatan dengan budaya Islam. Pada buku-buku edisi deluxe yang dicetak di Venesia pada 1484, karya Aristoteles, misalnya, mereka menambahkan keterangan yang diambil dari komentar-komentar filsuf-filsuf Islam terkemuka.
“Baik Karya maupun komentarnya itu bersumber dari terjemahan bahasa Arab oleh Gerard dari Cremona, seorang penerjemah produktif abad ke-12 yang bekerja di sekolah penerjemahan di Toledo,” ungkap Burnett.