Ikhbar.com: Perkawinan tak hanya penyatuan dua insan, melainkan perjanjian suci yang menghadirkan campur tangan Ilahi. Hal inilah yang menjadikan pernikahan lebih dari sekadar komitmen duniawi, tetapi juga bentuk ibadah dan jalan menuju ketenangan serta keberkahan hidup bersama.
Sering kali, orang-orang menyebut pernikahan adalah momentum yang sakral. Hal itu karena menjadi salah satu tanda kekuasaan Allah Swt. Melalui ikatan ini, dua insan yang berbeda disatukan dalam hubungan yang menghadirkan ketenangan, kasih sayang, dan rahmat.
Baca: Misi Perlawanan di Balik Anjuran Menikah di Bulan Syawal
Kesatuan tersebut menjadi bukti nyata bagaimana Allah Swt menciptakan keharmonisan dari perbedaan, serta menanamkan ikatan batin yang kuat di antara suami dan istri. Gambaran ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Ar-Rum: 21. Allah Swt berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya pernikahan dalam struktur sosial manusia. Penciptaan pasangan dari jenis yang sama adalah wujud hikmah Ilahi agar terjalin ketenangan batin, kerja sama, dan kehidupan yang seimbang.
Menurutnya, “mawaddah” dalam ayat tersebut merupakan cinta yang lahir dari keinginan untuk hidup bersama. Sedangkan “rahmah” adalah kasih sayang yang mendorong untuk saling menolong dan memaafkan. Keduanya merupakan fondasi utama dari ketahanan rumah tangga.
Baca: Redaksi Lengkap Ijab Kabul Akad Nikah Bahasa Arab dan Terjemahannya
Janji yang kuat
Perkawinan dalam Islam dipandang sebagai “mitsaqan ghalizhan” alias sebuah perjanjian yang kuat dan agung. Istilah ini juga digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perjanjian antara Allah Swt dan para nabi. Hal itu menunjukkan betapa serius dan sakralnya ikatan pernikahan.
Sebagai “mitsaqan ghalizhan,” perkawinan bukan hanya kontrak sosial, tetapi komitmen moral dan spiritual yang mengandung tanggung jawab besar di hadapan Allah Swt. Ungkapan ini seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa: 21. Allah Swt berfirman:
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim menjelaskan bahwa “mitsaqan ghalizhan” dalam konteks ini menunjukkan betapa agungnya akad nikah. Ia menegaskan bahwa Allah Swt menyebut perjanjian ini dengan istilah yang juga digunakan untuk perjanjian Allah dengan para nabi, yaitu perjanjian yang tidak boleh dilanggar.
Hal ini menunjukkan bahwa akad nikah bukan sekadar formalitas, melainkan amanah yang berat di sisi Allah Swt, karena menyangkut kehormatan, tanggung jawab, dan perlindungan terhadap perempuan.
Baca: Macam-macam Perkawinan Masa Jahiliyah, Keji dan Menjijikan
Prinsip kesetaraan
Islam mengajarkan hak dan kewajiban suami istri secara seimbang. Prinsip tersebut dilakukan sebagai landasan keadilan dalam berumah tangga. Kedua belah pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi, bukan saling mendominasi.
Kesetaraan tersebut bertujuan menciptakan harmoni, saling menghargai, dan kerja sama dalam membangun kehidupan keluarga yang diridai Allah Swt. Tuntunan tersebut seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 228. Allah Swt berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dalam hubungan suami istri, selama berada dalam koridor ma’ruf (patut dan sesuai syariat). Kelebihan satu derajat yang diberikan kepada laki-laki merujuk pada tanggung jawab dan kepemimpinan dalam rumah tangga, bukan bentuk dominasi.
Al-Qurthubi juga mengutip Ibnu Abbas yang menunjukkan bahwa keseimbangan ini mencakup sikap saling menghormati dan memperhatikan, termasuk dalam hal perhatian fisik dan emosional di antara pasangan.
Baca: Marriage is Scary? Ini Solusi sesuai Sunah Nabi
Saling menjaga kehormatan
Menjaga kehormatan dalam hubungan suami–istri merupakan prinsip utama dalam membangun rumah tangga yang sakinah. Islam menempatkan kehormatan sebagai bagian dari amanah yang harus dijaga kedua belah pihak, baik dalam sikap, ucapan, maupun perbuatan.
Tanggung jawab yang dimaksud mencakup menjaga kesetiaan, menutup aib pasangan, serta memelihara batasan-batasan syariat dalam kehidupan bersama. Prinsip ini seperti yang tercantum dalam QS. Al-Mu’minun: 5-7. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَ ۚ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya). Maka, siapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa QS. Al-Mu’minun: 5-7 menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dalam hal seksual.
Hubungan suami istri yang sah merupakan satu-satunya saluran yang dibenarkan secara syariat, dan karenanya tidak tercela. Sebaliknya, mencari pelampiasan di luar batas itu dipandang sebagai perbuatan melampaui batas. Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kesucian dalam hubungan adalah ciri utama orang beriman.