Tafsir QS. An-Nur Ayat 22: Hakikat Maaf di Hari Lebaran

Memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga sebagai jalan bagi diri sendiri untuk mendapatkan kasih sayang Allah.
Ilustrasi saling memaafkan. Dok FREEPIK

Ikhbar.com: Idulfitri atau hari raya Lebaran identik dengan tradisi saling memaafkan, baik di lingkup keluarga maupun di lingkungan sosial. Namun, sering kali permintaan dan pemberian maaf hanya sebatas ucapan tanpa benar-benar dihayati. Padahal, Islam mengajarkan bahwa memaafkan bukan sekadar formalitas, melainkan sikap hati yang tulus.

Di era modern, memaafkan menjadi semakin sulit. Hal itu bisa disebabkan ego yang tinggi dari tiap-tiap individu, pengaruh media sosial yang memperkeruh konflik, serta budaya cancel culture (memboikot atau menarik dukungan) yang mendorong untuk menghindari kesalahan orang lain daripada memaafkannya.

Melalui QS. An-Nur ayat 22, Allah Swt memberikan panduan bagaimana seharusnya umat Muslim bersikap dalam menghadapi kesalahan orang lain. Ayat ini menekankan pentingnya sifat lapang dada dan dorongan untuk tetap berbuat baik, bahkan kepada mereka yang pernah berbuat salah.

Melalui ayat tersebut, Allah Swt menyeru agar orang-orang yang memiliki kelapangan rezeki dan kedudukan sosial tidak enggan memaafkan serta tetap memberikan bantuan kepada sesama. Sikap ini bukan hanya mencerminkan ketulusan hati, tetapi juga menjadi jalan untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dari-Nya.

Allah Swt berfirman:

وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۖوَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Baca: Lebaran Adalah Titik Mula

Memafkan berbuah ampunan

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain menjelaskan bahwa “ulul fadhli” dan “as-sa’ah” merujuk kepada orang-orang yang memiliki kelebihan harta dan kelapangan rezeki. Mereka dianjurkan untuk tidak bersumpah menghentikan pemberian bantuan kepada kerabat, orang miskin, dan kaum Muhajirin, meskipun mereka pernah berbuat salah. Sebaliknya, mereka diperintahkan untuk memaafkan dan berlapang dada.

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib menambahkan bahwa “ulul fadhli” mengacu pada keutamaan dalam hal agama, bukan urusan duniawi. Hal ini menunjukkan bahwa ayat tersebut memuji Abu Bakar Ash-Shiddiq atas keutamaan agamanya dan mendorongnya untuk tetap berbuat baik meskipun menghadapi kekecewaan.

Senada, dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini turun terkait dengan Abu Bakar Ra, yang semula enggan memaafkan Mistah bin Utsatsah karena ikut menyebarkan fitnah terhadap Aisyah Ra. Akan tetapi kemudian Allah Swt menegurnya dan mengingatkan bahwa orang yang memaafkan akan mendapatkan ampunan dari-Nya.

Pesan ini mengajarkan bahwa memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga sebagai jalan bagi diri sendiri untuk mendapatkan kasih sayang Allah.

Lebih lanjut, Prof. Quraish menekankan bahwa kalimat “wal ya’fu wal yashfahu” dalam ayat ini mengandung makna lebih dari sekadar memaafkan. Sementara “Al-‘Afwu” berarti menghapus kesalahan tanpa menaruh dendam.

Berikutnya, kata “As-Shafh” berarti membiarkan tanpa mengungkit-ungkitnya. Ini menunjukkan bahwa memaafkan sebaiknya dilakukan dengan tulus, bukan sekadar formalitas.

Oleh karena itu, menjadikan sikap pemaaf sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya saat Idulfitri, adalah bentuk ketakwaan yang membawa kedamaian, baik secara pribadi maupun dalam hubungan sosial.

Baca: Lebaran Dorong Manusia Jadi Pemaaf

Tantangan di era digital

Memaafkan di era digital bukanlah perkara mudah. Media sosial sering kali memperpanjang konflik dengan menyebarkan percakapan lama, memperkeruh suasana, dan mengabadikan kesalahan seseorang dalam rekam jejak digital. Alih-alih menjadi ruang rekonsiliasi, dunia maya justru memperkuat dendam dan memperbesar jurang perpecahan.

Ditambah lagi, budaya cancel culture semakin menormalisasi hukuman sosial dibandingkan memberi kesempatan untuk berubah. Cancel culture merupakan fenomena ketika seseorang atau kelompok yang melakukan kesalahan langsung dijauhi, dikritik habis-habisan, bahkan dihapus eksistensinya dari ruang publik. Budaya ini mengajarkan hukuman dan balas dendam, bukan kesempatan untuk memperbaiki diri dan saling memaafkan.

Sementara itu, ego dan gengsi juga berperan besar dalam menghambat proses rekonsiliasi. Tidak sedikit yang enggan meminta maaf lebih dulu karena merasa harga diri mereka akan jatuh. Akibatnya, permusuhan terus berlanjut, dan makna sejati dari memaafkan pun semakin terkikis.

Memaafkan bukan sekadar tradisi saat Idulfitri, tetapi juga bagian dari ajaran Islam yang memiliki nilai spiritual tinggi. Dalam Islam, memaafkan bukan hanya bentuk kebaikan sosial, melainkan juga amalan yang mendekatkan seseorang kepada ampunan Allah Swt.

Salah satu ayat yang menegaskan keutamaan memaafkan adalah QS. Ali Imran: 134. Allah Swt berfirman:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim menegaskan bahwa memaafkan merupakan salah satu ciri orang yang dekat dengan Allah. Selain itu, orang yang pandai memaafkan memiliki derajat tinggi di sisi-Nya.

Sementara Syekh Aidh Al-Qarni dalam Tafsir Al-Muyassar menyebutkan bahwa sifat pemaaf tidak hanya menghilangkan dendam, tetapi juga mendatangkan kecintaan dari Allah.

Di samping itu, keutamaan memaafkan juga berdampak secara spiritual. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seseorang yang memberi maaf kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).

Maka, saat Idulfitri, memberikan maaf bukan hanya menyelesaikan konflik sosial, tetapi juga membuka pintu ampunan dari Allah. Dengan hati yang bersih dan lapang, Idulfitri menjadi momentum untuk kembali ke fitrah, sebagaimana maknanya, yakni kembali suci.

Baca: Lebaran Usai, Lalu Apa?

Tutorial memaafkan

Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan umat Muslim agar bisa dengan mudah memaafkan:

1. Berlatih lapang dada

Memaafkan bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang membebaskan diri dari beban emosi negatif. Menyimpan dendam hanya akan memperpanjang luka batin dan menghalangi ketenangan jiwa. Islam mengajarkan untuk berlapang dada, melepaskan amarah, dan tidak membiarkan kebencian menguasai hati. Anjuran ini senada dalam QS. Asy-Syura: 40. Allah Swt berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

“Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”

Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menyebutkan bahwa memberi maaf adalah akhlak mulia yang mendatangkan ketenangan hati dan menjaga hubungan sosial. Ia menegaskan bahwa Allah tidak hanya memerintahkan memaafkan, tetapi juga memperbaiki hubungan yang retak akibat perselisihan.

2. Doakan orang yang pernah menyakiti

Dalam Islam, mendoakan kebaikan bagi orang yang berbuat zalim merupakan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah Saw. Mengubah kebencian menjadi doa bukan hanya sekadar bentuk kesabaran, tetapi juga cara untuk meraih ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Penjelasan ini seperti yang tertuang dalam QS. Fussilat: 34. Allah Swt berfirman:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia.”

Imam Al-Baghawi dalam Ma’allim at-Tanzil menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan untuk menghadapi keburukan dengan kebaikan, yakni dengan kesabaran, pemaafan, dan doa bagi orang yang berbuat zalim.

Rasulullah Saw sendiri sering mendoakan kaumnya meskipun mereka telah menyakitinya, sebagaimana dalam banyak riwayat yang menunjukkan kelembutan dan kasih sayangnya.

Ibnu Qayyim dalam Madarij as-Salikin menegaskan bahwa memaafkan dan mendoakan orang yang menyakiti merupakan tanda kemuliaan hati. Dengan sikap tersebut, kebencian tidak lagi menguasai perasaan, dan ketenangan jiwa dapat diperoleh.

Oleh karena itu, doa untuk orang yang berbuat zalim bukan hanya membawa manfaat bagi mereka, tetapi juga menjadi sarana penyucian hati dari amarah dan dendam.

3. Ambil inisiatif berdamai

Mengambil inisiatif untuk berdamai adalah langkah yang mencerminkan kebesaran jiwa dan kematangan emosional. Islam mengajarkan pentingnya mengedepankan perdamaian dan menghilangkan permusuhan. Jika pertemuan langsung belum memungkinkan, perdamaian tetap dapat dimulai melalui pesan atau tindakan baik yang menunjukkan niat tulus. Upaya ini seperti yang tertuang dalam QS. An-Nisa: 128. Allah Swt berfirman:

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya. Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan keutamaan perdamaian dalam setiap hubungan, baik dalam keluarga, pertemanan, maupun sosial secara luas. Perdamaian adalah cara untuk menghindari keburukan yang lebih besar dan menjaga hubungan yang harmonis.

Syekh Ibnu Rajab dalam Jami‘ al-‘Ulum wa al-Hikam juga menekankan bahwa memulai perdamaian, meskipun hanya dengan isyarat kebaikan atau pesan singkat, merupakan tanda ketakwaan dan kelapangan hati.

Menurutnya, dengan mengambil langkah kecil, seperti menyampaikan salam atau menunjukkan sikap ramah, kebekuan dalam hubungan dapat mencair. Selain itu, upaya tersebut dinilai mampu membuka jalan bagi rekonsiliasi yang lebih mendalam.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.