Ikhbar.com: Islam hadir untuk membenahi akhlak manusia. Sebelumnya, peradaban manusia, khususnya di Jazirah Arab, masih bertumpu pada siapa yang kuat, dialah berkuasa, selayaknya hukum rimba.
Syekh Safiurrahman Al-Mubarakfuri, dalam Rakhiq Al-Makhtum menggambarkan kesemrawutan tata laku sosial bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad Saw lahir. Kala itu, mereka terbagi ke dalam beberapa kelas dan kasta.
“Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati, dan dijaga, sekali pun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah,” tulis Al-Mubarakfuri, dikutip Ahad, 5 Maret 2023.
Menurutnya, bangsa Arab kala itu juga memiliki tradisi khas, terutama terkait kebebasan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Kami tidak bisa menggambarkannya secara detail, kecuali hanya melalui ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikan,” katanya.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Sayyidah Aisyah, Al-Mubarakfuri membeberkan empat jenis perkawinan di masa jahiliyah.
“Pertama, pernikahan secara spontan. Seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula,” sebut Al-Mubarakfuri.
Kedua, lanjut dia, seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid, “Temuilah Si Fulan dan berkumpulah (bersetubuh) bersamanya!”
“Si suami itu tidak mengumpulinya dan sama sekali tidak menyentuhnya, hingga ada kejelasan bahwa istrinya hamil dari orang yang disuruh mengumpulinya. Jika sudah jelas kehamilannya, maka suami bisa mengambil kembali istrinya,” terangnya.
Baca: Kisah Pesaing Ka’bah
Setalah itu, jika sudah jelas kehamilan sang isrti, maka suami bisa mengambil kembali istrinya.
“Yang demikian ini dilakukan karena dia menghendaki kelahiran seorang anak yang baik dan pintar (sesuai anggapan kecerdasan terhadap lelaki lain yang diperbolehkan menyetubuhi sang istri). Pernikahan semacam ini disebut nikah istibdha,” katanya.
Jenis pernikahan berikutnya adalah poliandri, yaitu perkawinan dengan jumlah hampir sepuluh orang untuk satu perempuan.
Setelah si wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, selang beberapa hari kemudian dia mengundang suami-suaminya. Lantas, wanita itu akan menunjuk satu orang di antaranya untuk dinyatakan sebagai sosok terpilih sebagai ayah dari si bayi.
“Dia menunjuk siapa pun yang dia sukai di antara mereka seraya menyebutkan namanya, lalu laki-laki itu bisa mengambil bayi tersebut,” kata peraih gelar kehormatan dari konferensi Liga Muslim Dunia pada 1978 itu.
“Jenis pernikahan keempat, dari sekian banyak laki-laki boleh mendatangi wanita yang dikehendakinya yang juga disebut pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus di depan pintunya sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya,” sambungnya.
Jika si wanita tersebut telah hamil dan melahirkan, dia mengundang semua laki-laki yang pernah tidur bersamanya kemudian diselenggarakan sebuah undian untuk menentukan hak asuh anak tersebut.
“Dia (si laki-laki) tidak bisa menolak hal itu. Setelah Allah mengutus Muhammad, semua bentuk pernikahan ini dihapus dan diganti dengan pernikahan ala Islam,” kata Al-Mubarakfuri.