Misi Perlawanan di Balik Anjuran Menikah di Bulan Syawal

Syawal dianggap sebagai bulan yang membawa pertanda buruk karena pemahaman linguistik yang keliru.
Ilustrasi peramal di masa jahiliyah. Olah digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Bulan Syawal sering kali hanya dipahami sebagai penanda berakhirnya Ramadan dan simbol kemenangan setelah sebulan penuh menahan hawa nafsu, haus, dan lapar. Ketupat tersaji, pintu-pintu rumah terbuka untuk saling memaafkan. Namun, di balik semarak Lebaran, Syawal menyimpan satu pesan sunyi yang tak banyak terdengar, yakni anjuran menikah.

Bukan tanpa alasan bulan ini mendapat perhatian khusus dalam tradisi Islam. Sebuah hadis sahih mengungkap kisah penuh makna dari rumah tangga Rasulullah Muhammad Saw dan Sayyidah Aisyah Ra:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟

“Dari Aisyah, ia berkata, ‘Rasulullah Saw menikahiku pada bulan Syawal dan menggauliku pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti pernyataan pribadi. Akan tetapi, di balik kalimat Aisyah tersebut, tersembunyi perlawanan terhadap keyakinan lama yang mengakar kuat di tengah masyarakat Arab pra-Islam.

Baca: Jumlah Seserahan, Uang Dapur, hingga Biaya Resepsi Pernikahan menurut Fikih

Mitos jahiliyah

Jauh sebelum Islam datang membawa cahaya tauhid, masyarakat Arab hidup dalam kabut kepercayaan yang tak berdasar. Termasuk dalam hal pernikahan. Penentuan waktu akad dan malam pertama tidak lepas dari pengaruh mitos dan prasangka terhadap nama-nama bulan.

Syawal, dalam pandangan mereka, adalah bulan yang membawa pertanda buruk. Anggapan ini lahir dari pemahaman linguistik yang keliru.

Nama Syawal yang berasal dari akar kata “syaala” dengan arti “mengangkat,” dimaknai oleh masyarakat Arab bahwa menikah di bulan tersebut akan mengangkat (dalam arti negatif) rasa cinta dari pasangan. Rumah tangga yang dibangun diyakini akan cepat berakhir, bercerai, atau mengalami kesialan hidup.

Pandangan seperti ini tidak berdiri sendiri. Masyarakat Arab jahiliyah dikenal sebagai komunitas yang gemar melakukan tathayyur, yaitu merasa sial atau beruntung karena sesuatu yang bersifat simbolik, seperti waktu, arah, binatang, bahkan mimpi.

Menikah di bulan Syawal, menurut mereka, sama saja dengan mengundang perceraian. Maka, banyak orang tua melarang anak gadisnya menikah di bulan tersebut. Mereka menunggu hingga bulan-bulan yang dianggap lebih “aman” menurut hitungan adat.

Dalam masyarakat jahiliyah, pernikahan sangat terkait dengan waktu-waktu tertentu. Penentuan waktu akad dan malam pertama seringkali mengikuti perhitungan primbon, tafsir mimpi, atau firasat.

Sejarawan Islam terkemuka asal Irak, Syekh Jawad Ali, dalam Al-Mufassal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam memaparkan secara detail keyakinan Arab pra-Islam terhadap pengaruh nama-nama bulan terhadap nasib seseorang.

Menurutnya, masyarakat jahiliyah senantiasa memilih waktu tertentu untuk menikah dan melarang keras bulan-bulan yang dianggap ‘tidak baik’ seperti Syawal. Hal ini berakar dari kepercayaan terhadap simbol linguistik dan keterkaitan antara nama bulan dan peristiwa yang menimpa kerabat di masa lalu.”

Syekh Jawad juga menjelaskan bahwa banyak keluarga Arab masa itu menunda pernikahan hingga bulan Rabi’ul Awwal, yang dianggap membawa keberuntungan. Tidak cuma Syawal, mereka juga menghindari pernikahan di bulan Safar dan Zulkaidah karena dianggap membawa konflik dan perpisahan.

Bahkan, dalam beberapa suku, tanggal-tanggal tertentu dianggap haram untuk akad karena diyakini akan membawa kematian suami dalam setahun.

Padahal dalam Islam, keberkahan tidak bergantung pada nama bulan. Kesuksesan rumah tangga tidak ditentukan oleh waktu akad, tetapi oleh iman, tanggung jawab, dan cinta yang dijaga. Untuk itu, Rasulullah Saw datang dengan sikap yang tegas, yakni meluruskan kesesatan berpikir dengan tindakan nyata.

Baca: Macam-macam Perkawinan Masa Jahiliyah, Keji dan Menjijikan

Pernikahan Nabi di luar kebiasaan

Pernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah Ra pada bulan Syawal bukan kebetulan. Bukan pula pilihan tanpa makna. Ini adalah strategi dakwah yang cerdas. Sebuah bentuk pembebasan terhadap masyarakat dari belenggu mitos yang membatasi langkah.

Imam Nawawi, seorang ulama besar madzhab Syafi’i, dalam Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj menjelaskan:

فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَاسْتَدَلُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ، وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ

“Hadis ini (di atas) mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, atau berhubungan suami istri di bulan Syawal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami. Mereka berargumen dengan hadis ini. Siti Aisyah dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa yang dipraktikkan pada masa jahiliah…”

Dengan kata lain, pernikahan tersebut adalah bentuk pembebasan dari belenggu keyakinan batil. Rasulullah Saw tidak hanya berbicara soal keimanan di mimbar, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan nyata. Termasuk dalam memilih waktu pernikahan.

Aisyah tidak hanya menjadi istri Nabi, tetapi juga saksi sejarah. Melalui pernyataannya dalam hadis di atas, ia ingin menyampaikan satu pesan bahwa bulan Syawal tidak pernah membawa kesialan. Justru di bulan inilah ia membangun rumah tangga yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.

Ini adalah pesan simbolik yang kuat. Ketika masyarakat larut dalam ketakutan tak berdasar, Rasulullah justru berdiri di depan, memimpin umat untuk merobohkan mitos tersebut. Melalui akad, melalui cinta, dan melalui kehidupan rumah tangga yang penuh keberkahan.

Baca: Resesi Ekonomi Pertemukan Nabi dengan Khadijah

Cinta yang melawan takhayul

Dalam sejarah Islam, banyak tindakan Nabi yang mengandung pesan sosial dan kebudayaan. Pernikahan Nabi Saw di bulan Syawal adalah salah satunya. Ia menjadi semacam pernyataan bahwa waktu tidak memiliki kuasa atas nasib manusia. Hanya Allah Swt-lah yang menentukan segalanya.

Pandangan Islam sangat jelas. Keberuntungan tidak datang dari waktu, benda, atau arah tertentu. Keberuntungan datang dari ketakwaan dan ketulusan. Maka, segala bentuk tathayyur (merasa sial karena pertanda) ditolak mentah-mentah oleh syariat.

Pernikahan Rasulullah Saw menjadi contoh konkret untuk menghentikan tradisi ini. Bukan dengan teori, tetapi dengan tindakan. Pernikahan beliau adalah cinta yang melawan takhayul.

Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa menikah di bulan Syawal adalah perbuatan yang mustahab (dianjurkan). Tidak hanya karena meneladani Nabi, tetapi juga karena mengandung nilai dakwah—meluruskan pandangan yang keliru.

Pernikahan menjadi medium perubahan. Dari mitos menuju iman. Dari rasa takut menuju keyakinan.

Baca: Hukum Ceraikan Istri karena tak Ada Bercak Darah di Malam Pertama

Relevansi di masa kini

Meski zaman jahiliah telah lewat, sebagian warisannya masih menyusup ke dalam cara berpikir masyarakat. Keyakinan terhadap hari sial, angka nahas, atau waktu buruk masih menghantui sebagian pasangan yang hendak menikah. Bahkan, tak jarang ada yang berkonsultasi pada “orang pintar” untuk menentukan tanggal baik.

Padahal, ajaran Islam telah menutup semua pintu untuk bentuk-bentuk keraguan seperti itu. Pernikahan bukanlah proyek mistik. Ia adalah perjanjian suci yang dijalankan dengan akal, hati, dan iman.

Anjuran menikah di bulan Syawal masih sangat relevan hingga hari ini. Bukan semata memilih waktu yang berkah, tetapi juga sebagai bentuk pembebasan dari warisan takhayul. Pernikahan menjadi ajang merayakan cinta dan keberanian. Cinta yang tidak tunduk pada mitos. Keberanian yang memilih iman di atas rasa takut.

Syawal, dengan segala maknanya, hadir untuk menegaskan kembali pesan itu. Bahwa rumah tangga tidak dibangun dengan hitungan bulan, tetapi dengan cinta yang dilandasi keyakinan. Bahwa keberuntungan tidak bergantung pada kata-kata atau nama bulan, tetapi pada Allah yang Maha Mengatur segalanya.

Bulan ini bukan sekadar penutup Ramadan. Ia adalah waktu untuk membuka lembaran baru. Termasuk dalam urusan cinta.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.