Ikhbar.com: Libur panjang Idulfitri menjadi waktu emas bagi banyak orang untuk beristirahat dari padatnya rutinitas. Bagi umat Muslim, momentum Lebaran bukan hanya tentang silaturahmi, tapi juga refleksi jiwa pasca-Ramadan.
Meski demikian, ketika euforia liburan mulai surut, muncul satu perasaan yang kerap kali mengganggu, yakni rasa malas, gelisah, dan berat melanjutkan aktivitas harian. Kondisi ini dikenal dalam psikologi sebagai “Post holiday blues,” yaitu sebuah sindrom emosional yang lazim terjadi setelah masa liburan panjang, termasuk libur Lebaran.
Baca: Lebaran Usai, Lalu Apa?
Apa itu post holiday blues?
Post holiday blues adalah kondisi emosional yang muncul setelah masa liburan berakhir. Seseorang yang mengidapnya akan merasa cemas, kehilangan motivasi, kelelahan, hingga perasaan hampa dan tertekan. Meski bersifat sementara, tapi gejala ini bisa berdampak pada produktivitas dan stabilitas emosional.
Dalam Journal of Travel Research berjudul “Holiday taking and the sense of well-being (2004)” dijelaskan bahwa setelah liburan yang menyenangkan, seseorang cenderung mengalami penurunan suasana hati dan motivasi akibat harus kembali pada tanggung jawab dan tekanan pekerjaan.
Di sisi lain, dalam jurnal Mental Health and Wellness Review bertajuk “Post-Holiday Syndrome: A Review of Mental Health Impacts of Long Breaks (2019),” menyebut bahwa sindrom tersebut bisa saja mengakibatkan gangguan tidur, penurunan minat, serta rasa lesu berkepanjangan.
Sementara itu, dalam jurnal Psychological Reports berjudul “Mood and Motivation After Vacation: Exploring the Post-Holiday Blues (2006)” disimpulkan bahwa, semakin bahagia seseorang saat liburan, semakin besar kemungkinan ia mengalami post-vacation depression setelahnya.
Kondisi ini sangat mungkin dialami setelah libur Lebaran yang cukup panjang dan penuh kebahagiaan. Ketika euforia itu hilang, realita kehidupan kembali hadir, dan tak jarang menimbulkan beban psikologis.
Kesehatan mental dalam pandangan Al-Qur’an
Islam tidak hanya memperhatikan aspek spiritual, tetapi juga kondisi mental dan emosional seorang hamba. Al-Qur’an memberikan bimbingan bagi hati yang gelisah dan jiwa yang rapuh. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan dalam konteks ketenangan batin adalah QS. Ar-Ra’d: 28. Allah Swt berfirman:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim menjelaskan bahwa obat hati seorang Muslim adalah dengan berzikir. Ketika manusia tersambung kepada Allah Swt, ketenteraman itu hadir sebagai penyejuk dari gundah gulana duniawi.
Saking pentingnya zikir, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa mengingat Allah Swt adalah fondasi bagi kestabilan emosi umat Muslim. Ia menegaskan, hati yang lalai dari Allah akan mudah gelisah dan goyah.
Sementara itu, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa ketenangan yang dimaksud tidak bersifat sementara, melainkan membentuk karakter spiritual yang kuat dan tahan menghadapi guncangan hidup.
Dengan kata lain, Islam memandang bahwa salah satu cara menghadapi tekanan pasca-liburan adalah dengan memperkuat hubungan vertikal kepada Allah Swt melalui zikir, doa, dan kesadaran spiritual yang utuh.
Baca: Fitri Adalah Bebas dari Penjajahan Modern
Melawan rasa malas
Rasa malas dan enggan kembali beraktivitas adalah bagian dari gejala post holiday blues. Padahal, Islam memandang produktivitas sebagai bagian dari ibadah. Dalam QS. At-Taubah: 105, Allah Swt berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.”
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini adalah seruan tegas untuk kembali aktif. Pasalnya, setiap amal akan dinilai oleh Allah dan menjadi saksi atas kesungguhan hamba-Nya.
Tafsir Jalalain menyebutkan bahwa perintah “i‘malu” (berbuatlah) bukan hanya bersifat duniawi, tetapi juga spiritual sebagai bukti iman seseorang. Sedangkan Imam Fakhruddin Ar-Razi menambahkan bahwa produktivitas adalah bukti nyata iman yang tidak hanya berdampak pribadi, tapi juga sosial.
Sementara itu, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menegaskan bahwa ayat tersebut mendorong umat untuk tidak menunda-nunda, dan tidak terjebak dalam zona nyaman yang melemahkan.
Dengan demikian, rasa malas pasca-liburan adalah kondisi yang perlu dilawan, bukan dibiarkan. Islam menawarkan solusi dengan menggabungkan spiritualitas dan etos kerja.
Baca: Esensi Idulfitri Justru Menepi dari Kebisingan Duniawi
Doa dari Nabi
Nabi Muhammad Saw sangat memperhatikan kondisi psikis umatnya. Rasulullah sering membaca doa yang relevan untuk mengatasi kegelisahan, termasuk rasa malas dan lemah semangat, di antaranya:
اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ، وَالعَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالبُخْلِ وَالجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan pengecut, dari lilitan utang dan tekanan orang-orang (yang menindas).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Doa ini mencakup perlindungan dari segala bentuk tekanan batin, termasuk “al-kasal” (malas) dan “al-‘ajz” (lemah tak berdaya). Dua kondisi tersebut yang kerap kali menyertai post holiday blues.