QS. Ad-Dukhan Ayat 3-4, Dalil Lailatul Qadar atau Nisfu Syakban?

Perdebatan ini muncul karena perbedaan metode tafsir dan hadis yang digunakan sebagai rujukan.
Ilustrasi tadarus Al-Qur'an. PEXELS/Emre Ateşoğlu

Ikhbar.com: Kandungan dan makna QS. Ad-Dukhan: 3-4 masih menjadi bahan diskusi yang menarik di kalangan ulama. Ayat tersebut berbicara tentang sebabak malam ketika segala urusan yang penuh hikmah ditetapkan.

Sebagian ulama mengaitkan ayat tersebut dengan Nisfu Syakban, sementara yang lain menafsirkannya sebagai Lailatul Qadar. Perdebatan ini muncul karena perbedaan metode tafsir dan hadis yang digunakan sebagai rujukan.

Sebagian besar ulama, terutama dari kalangan Ahlussunnah cenderung menghubungkannya dengan Lailatul Qadar. Pendapat itu sesuai dengan keterangan dalam QS. Al-Qadr yang menyebutkan bahwa malam tersebut adalah saat ditetapkannya takdir tahunan.

Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa malam pertengahan syakban memiliki keutamaan tersendiri, meskipun tidak sepenuhnya merujuk pada ayat ini.

Allah Swt berfirman:

  إِنَّاِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ. فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍۙ

“Sesungguhnya Kami (mulai) menurunkannya pada malam yang diberkahi (Lailatulqadar). Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan:3-4).

Baca: Menyambut Malam Nisfu Syakban, Ini Keutamaan dan Amalan yang Dianjurkan

Malam yang diberkahi

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa yang diperdebatkan para ulama pada ayat tersebut adalah makna malam yang diberkahi. Mayoritas mengatakan maksudnya ialah malam lailatur qadar. Sedangkan ulama yang berpegang pada pendapat Ikrimah dan segolongan lain mengatakan maksudnya adalah malam pembebasan, yaitu malam Nisfu Syakban.

Terkait perbedaan sumber para ulama tersebut, Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan lebih rinci. Ulama yang menyebut Lailatul Qadar ialah mereka yang mengutip riwayat dari Mujahid bin Musa yang bersumber dari Rabiah bin Kultsum.

حدثنا مجاهد بن موسى، قال: ثنا يزيد، قال: أخبرنا ربيعة بن كلثوم، قال: كنت عند الحسن، فقال له رجل: يا أبا سعيد، ليلة القدر في كلّ رمضان؟ قال: إي والله، إنها لفي كلّ رمضان، وإنها الليلة التي يُفرق فيها كل أمر حكيم، فيها يقضي الله كلّ أجل وأمل ورزق إلى مثلها

“Menceritakan kepadaku Mujahid bin Musa, berkata, menceriyakan kepadaku Yazid, berkata, menceritakan kepadaku Rabiah bin Kultsum, berkata, ‘Aku di sisi Hasan. Kemudian seorang laki-laki bertanya kepadanya,’ ‘Wahai Abu Said, apakah Lailatul Qadar itu setiap Ramadan?’ Hasan menjawab: ‘Iya, Lailatul Qadar ada di setiap Ramadan, pada malam itu diputuskan segala keputusan, pada malam itu Allah memutuskan ajal, cita-cita, rezeki dan yang lainnya.”

Sedangkan ulama yang berpendapat Nisfu Syakban berasal dari riwayat Fadal bin Shabah yang bersumber dari Ikrimah.

حدثنا الفضل بن الصباح، والحسن بن عرفة، قالا ثنا الحسن بن إسماعيل البجلي، عن محمد بن سوقة، عن عكرمة في قول الله تبارك وتعالى (فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ) قال: في ليلة النصف من شعبان، يبرم فيه أمر السنة، وتنسخ الأحياء من الأموات، ويكتب الحاج فلا يزاد فيهم أحد، ولا ينقص منهم أحد

“Menceritakan kepadaku Fadhal bin Shabah dan Hasan bin Arafah, berkata, menceritakan kepadaku Hasan bin Ismail Al-Bajili dari Muhammad bin Suqah dari Ikrimah terkait firman Allah (fiha yufraqu kulli amrin hakim) ia berkata, ‘Itu adalah malam Nisfu Syakban, di dalamnya ditentukan takdir selama satu tahun, dihapuskan yang hidup dari yang mati, ditentukan siapa yang akan berhaji dan tidak, tidak akan ada penambahan maupun pengurangan.”

Baca: Kapan Malam Nisfu Syakban 2025? Begini Penjelasan NU

Tafsir alternatif

Sementara itu, Imam Nawawi Al-Bantani dalam Marah Labib menyebut bahwa ada pendapat yang menyatakan penulisan takdir dimulai dari Lauhul Mahfudz pada malam al-Bara’ah (Nisfu Syakban) dan diselesaikan pada Lailatul Qadar.

Setelah itu, catatan tentang rezeki diserahkan kepada Malaikat Mikail, catatan peperangan kepada Malaikat Jibril, serta catatan mengenai gempa, suara dahsyat, dan longsoran juga diserahkan kepadanya. Sedangkan catatan amal perbuatan diberikan kepada Malaikat Israfil, dan segala ketetapan terkait musibah diserahkan kepada Malaikat Maut.

Pendapat yang lebih moderat disampaikan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain. Ia menafsirkan “lailah mubarakah” dengan dua kemungkinan sekaligus, yakni bisa jadi maksud dari malam yang diberkahi itu ialah malam Lailatul Qadar, bisa juga maksudnya ialah malam Nisfu Syakban.

Baca: Peran Kakek Buyut Nabi dalam Penamaan Syakban dan Penetapan Kalender Arab pra-Islam

Senada dengan itu, Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Ma Dza fi Syakban menjelaskan bahwa:

Meskipun mayoritas ulama memahaminya dengan Lailatul Qadar, tetapi tidak lantas menyatakan bahwa pendapat tentang perihal Nisfu Syakban itu salah.

Ia menyebut bahwa penafsiran yang menyatakan Lailatul Qadar adalah hasil dari penggunaan metode tarjih, yaitu mengunggulkan satu riwayat atau penafsiran atas penafsiran lainnya, tetapi, jika metode yang digunakan adalah jam’ur riwayat (mengumpulkan beberapa riwayat lain dan berusaha memberi jalan tengah pemahaman).

Maka pernyataan ulama bahwa takdir dan ketetapan Allah atas hamba-Nya diputuskan serta dicatat di malam Nisfu Syakban bisa dibenarkan.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.