Fitri Adalah Bebas dari Penjajahan Modern

Di masa kolonial, Idulfitri memiliki dimensi politik dan sosial yang kuat. Para ulama dan pejuang kemerdekaan memanfaatkan momen ini untuk membangun solidaritas umat dalam melawan penjajahan.
Ilustrasi Lebaran Tempo Doeloe. Dok ANTARA

Ikhbar.com: Idulfitri bukan sekadar hari raya, melainkan simbol kemenangan atas hawa nafsu dan kembalinya manusia kepada fitrah. Secara spiritual, ia menjadi bukti keberhasilan seorang Muslim dalam mengendalikan diri selama bulan Ramadan.

Namun, jika ditarik dalam konteks sosial, Idulfitri juga merupakan simbol pembebasan dari berbagai bentuk penjajahan.

Di masa kolonial, Idulfitri memiliki dimensi politik dan sosial yang kuat. Para ulama dan pejuang kemerdekaan memanfaatkan momen ini untuk membangun solidaritas umat dalam melawan penjajahan.

Seiring berjalannya waktu, bentuk penjajahan berubah. Hari ini, umat Islam menghadapi penjajahan dalam bentuk yang lebih subtil. Buta huruf, kemiskinan, dan hegemoni budaya mengikis nilai-nilai Islam.

Allah Swt berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًۭا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa kebodohan adalah musuh utama umat. Tanpa ilmu, umat Islam mudah dikendalikan oleh kekuatan eksternal. Oleh karena itu, Idulfitri harus menjadi momentum refleksi untuk membebaskan diri dari penjajahan modern yang menjauhkan umat dari fitrah.

Baca: Tafsir QS. An-Nur Ayat 22: Hakikat Maaf di Hari Lebaran

Idulfitri sebagai simbol perlawanan

Dalam sejarah Islam, Idulfitri bukan sekadar hari kemenangan individu, tetapi juga kemenangan umat dalam mempertahankan identitasnya. Di masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda membatasi perayaan Idulfitri karena khawatir akan menjadi ajang konsolidasi kekuatan umat Islam.

Sejarawan Karel Steenbrink dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam (1993) mencatat bahwa pemerintah kolonial sering mengawasi pertemuan keagamaan, termasuk perayaan Idulfitri. Mereka khawatir bahwa masjid-masjid dan surau bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat penyebaran semangat jihad dan perlawanan.

Takbir yang dikumandangkan bukan sekadar ritual, tetapi juga simbol keteguhan hati dan ketahanan budaya Islam di tengah tekanan penjajah.

Seiring berjalannya waktu, bentuk penjajahan berubah. Jika dulu penjajahan dilakukan dengan senjata dan kekuatan militer, kini umat Islam dijajah melalui sistem yang lebih kompleks.

Buta huruf dan kurangnya pemahaman terhadap Islam menjadi salah satu bentuk penjajahan modern.

Ketidaktahuan membuat umat mudah dimanipulasi, baik dalam urusan dunia maupun agama. Banyak Muslim yang memahami Islam secara parsial, sehingga mudah tersesat dalam narasi yang salah.

Allah Swt berfirman:

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍۢ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Tanpa ilmu, umat akan selalu tertinggal dan kehilangan arah dalam menghadapi tantangan zaman.

Di sisi lain, sistem ekonomi global saat ini memperkuat ketimpangan dan ketergantungan negara-negara Muslim. Idulfitri, yang seharusnya menjadi momen berbagi, justru berubah menjadi ajang konsumtif.

Allah Swt berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Namun, jika zakat hanya dianggap sebagai kewajiban tahunan tanpa pengelolaan yang tepat, maka umat akan terus berada dalam lingkaran kemiskinan.

Budaya populer yang dikendalikan oleh industri kapitalis telah menggeser makna Idulfitri dari spiritualitas ke konsumtif.

Pergeseran nilai ini tampak dalam tren media sosial, di mana perayaan Idulfitri lebih banyak dipenuhi dengan konten pamer kemewahan dibandingkan dengan refleksi spiritual.

Baca: Lebaran Adalah Titik Mula

Langkah nyata pembebasan

Agar Idulfitri benar-benar menjadi momentum kebebasan, umat Islam perlu mengambil langkah konkret untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk penjajahan modern, baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, maupun identitas budaya. Berikut adalah langkah-langkah utama yang perlu diambil:

1. Pendidikan Islam sebagai kunci pembebasan

Salah satu bentuk penjajahan modern yang paling berbahaya adalah kebodohan dan minimnya literasi Islam di kalangan umat. Pendidikan yang lemah menyebabkan umat Islam kehilangan pijakan dalam memahami ajaran agama dan realitas sosialnya.

Allah Swt berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًۭا

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.'” (QS. Thaha: 114)

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah anugerah yang harus terus diupayakan. Rasulullah Saw bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Namun, tantangan saat ini bukan hanya minimnya akses terhadap pendidikan, tetapi juga sistem pendidikan yang cenderung sekuler dan tidak berorientasi pada pembangunan peradaban Islam. Sistem pendidikan modern sering kali hanya berfokus pada aspek materialisme dan pragmatisme, tanpa mengajarkan makna hakiki kehidupan.

Oleh karena itu, umat Islam harus kembali kepada konsep pendidikan berbasis tauhid yang tidak hanya mencetak individu cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan sadar akan tanggung jawab sosialnya.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga universitas Islam, harus diberdayakan agar mampu menjadi benteng keilmuan yang tidak hanya membela agama, tetapi juga menjawab tantangan zaman.

2. Membangun kemandirian ekonomi

Salah satu bentuk penjajahan modern yang paling nyata adalah ketergantungan ekonomi umat Islam pada sistem kapitalis global, yang sering kali tidak adil dan eksploitatif. Kemiskinan struktural yang melanda banyak negara Muslim bukan hanya akibat dari faktor internal, tetapi juga dampak dari sistem ekonomi dunia yang tidak berpihak kepada mereka.

Zakat bukan hanya sekadar kewajiban individual, tetapi juga instrumen sosial untuk membangun kesejahteraan umat. Sayangnya, pengelolaan zakat di banyak negara Muslim masih bersifat konsumtif dan tidak berorientasi pada pemberdayaan ekonomi. Padahal, jika dikelola dengan baik, zakat dapat menjadi modal besar untuk membangun ekonomi Islam yang mandiri.

Saat ini, umat Islam harus mulai mengembangkan model ekonomi berbasis syariah yang tidak bergantung pada sistem kapitalisme global. Wakaf produktif, koperasi syariah, dan sistem perdagangan berbasis etika Islam harus menjadi pilar utama dalam membangun kemandirian ekonomi umat.

Selain itu, penting bagi umat Islam untuk memperkuat industri halal dan usaha kecil-menengah yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, umat tidak hanya menjadi konsumen dalam sistem global, tetapi juga menjadi produsen yang mampu bersaing di pasar internasional.

3. Menjaga identitas Islam dalam arus globalisasi

Salah satu tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah hilangnya identitas budaya Islam akibat hegemoni budaya Barat yang terus mendominasi berbagai aspek kehidupan. Globalisasi yang seharusnya menjadi sarana pertukaran budaya justru sering kali menjadi alat untuk mengikis nilai-nilai Islam dari dalam.

Hegemoni budaya yang terjadi saat ini tidak hanya melalui media dan hiburan, tetapi juga melalui sistem pendidikan, gaya hidup, dan pola pikir yang menjauhkan umat Islam dari ajaran agama mereka.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menulis, “Bangsa yang dikalahkan cenderung meniru bangsa yang mengalahkannya dalam hal cara hidup, kebiasaan, dan budaya.”

Oleh karena itu, menjaga identitas Islam bukan berarti menutup diri dari dunia luar, tetapi membangun filter budaya yang mampu memilah mana yang bermanfaat dan mana yang merusak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

1. Menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam yang berakar pada nilai-nilai Islam, bukan sekadar mengikuti tren intelektual Barat.

2. Menguatkan media Islam agar mampu menjadi suara alternatif yang menghadirkan perspektif Islam dalam berbagai isu global.

3. Mendorong seni dan budaya Islam agar tetap relevan dalam dunia modern, tanpa kehilangan esensi keislamannya.

Rasulullah Saw bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” (HR. Al-Baihaqi)

Baca: Lebaran Dorong Manusia Jadi Pemaaf

Hadis ini mengingatkan bahwa umat Islam tidak boleh merasa rendah diri dalam menghadapi arus globalisasi. Sebaliknya, mereka harus percaya diri dalam menampilkan identitas Islam sebagai solusi bagi berbagai persoalan dunia.

Idulfitri bukan hanya tentang kemenangan individual dalam menahan hawa nafsu, tetapi juga kemenangan kolektif umat Islam dalam menghadapi berbagai bentuk penjajahan modern.

Kembali kepada fitrah sejati berarti bebas dari kebodohan, mandiri dalam ekonomi, dan teguh dalam identitas Islam. Dengan langkah-langkah nyata dalam pendidikan, ekonomi, dan budaya, umat Islam dapat menjadikan Idulfitri sebagai awal bagi peradaban Islam yang lebih bermartabat.

Idulfitri sejati adalah ketika umat benar-benar merdeka, tidak hanya dari nafsu, tetapi juga dari segala bentuk penjajahan modern yang menghambat kemajuan Islam.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.