Lebaran Usai, Lalu Apa?

Selepas Lebaran, sudah sepatutnya umat Islam berterima-kasih kepada Ramadan.
Ilustrasi. PEXELS/Karim Ouakkaha

Oleh: Ustaz Sofhal Adnan (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)

IDULFITRI usai, gema takbir mulai mereda, dan sajian khas Lebaran satu per satu berkurang di atas meja hidangan. Sudah waktunya, Lebaran dimaknai bukan hanya “kemenangan” sesaat, melainkan awal perjalanan baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik, terutama dalam kualitas ibadah.

Selepas Lebaran, sudah sepatutnya umat Islam berterima-kasih kepada Ramadan. Sebab, momentum inilah yang telah menjadikan manusia sebagai individu yang lebih bertakwa.

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim mendefinisikan ketakwaan sebagai kemampuan menahan diri dari hawa nafsu dan dosa. Sehingga puasa, sepatutnya tidak hanya menahan lapar, tetapi juga memperbaiki akhlak dan hubungan dengan Allah Swt.

Baca: Lebaran Adalah Titik Mula

Selain pembelajaran spiritual, Ramadan juga menjadi ajang pembentukan karakter. Melalui bulan suci tersebut, umat Musim dituntut untuk disiplin waktu dalam menjalankan ibadah. Finalnya, mereka diharuskan peka akan kepedulian sosial yang diwujudkan dalam bentuk zakat fitrah.

Sayangnya, semangat kedermawanan yang tumbuh subur selama Ramadan sering kali memudar begitu bulan Syawal tiba.

Seharusnya, kepedulian sosial yang telah tertanam tidak hanya bersifat musiman, tetapi menjadi bagian dari karakter seorang Muslim sepanjang hidupnya.

Baca: Lebaran Dorong Manusia Jadi Pemaaf

Tantangan pasca-Ramadan

Setelah Ramadan, banyak tantangan yang membuat umat Islam berpotensi kembali pada kebiasaan lama. Salah satu yang terbesar adalah menjaga konsistensi ibadah. Masjid yang semula penuh sesak saat tarawih, kini kembali lengang, tilawah Al-Qur’an yang tadinya menjadi rutinitas harian, sekarang berubah menjadi aktivitas yang jarang dilakukan.

Padahal, melalui QS. Al-Hijr: 99, Allah Swt mengingatkan bahwa ibadah harus dilakukan secara terus-menerus hingga ajal menjemput. Tafsir Al-Qurtubi menegaskan betapa pentingnya kontinuitas dalam ibadah lantaran ia bukan hanya kewajiban musiman, melainkan jalan hidup yang harus dipertahankan.

Selain itu, godaan duniawi menjadi faktor lain yang membuat seseorang kehilangan semangat ibadah. Kesibukan pekerjaan, urusan keluarga, dan berbagai tuntutan kehidupan sering kali menggeser prioritas spiritual seseorang. Seakan-akan Ramadan hanya menjadi jeda spiritual, bukan titik perubahan.

Tantangan lainnya adalah keberlanjutan akhlak mulia. Selama Ramadan, banyak orang berusaha untuk lebih sabar, jujur, dan peduli terhadap sesama. Namun, setelah bulan suci berlalu, akhlak yang telah dibangun dengan susah payah sering kali luntur.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan Ramadan belum benar-benar tertanam dalam diri unat Muslim, dan masih banyak yang memandangnya sebagai kewajiban tahunan, bukan sebagai sarana perubahan yang sejati.

Di era digital dan globalisasi, menjaga spiritualitas menjadi tantangan yang kian besar. Distraksi dari media sosial, budaya konsumtif, serta tekanan dunia kerja sering kali membuat manusia lebih fokus pada kesuksesan materi dibandingkan pertumbuhan spiritual. Ramadan yang seharusnya menjadi waktu refleksi justru diwarnai tren konsumsi berlebihan, dari buka puasa mewah hingga belanja pakaian baru yang mengalihkan esensi sejati dari ibadah.

Selain itu, di tengah kehidupan yang serbacepat dan sibuk, banyak orang merasa sulit untuk mempertahankan kebiasaan baik dari Ramadan. Jadwal kerja yang padat, tuntutan sosial, dan tekanan ekonomi menjadi alasan mengapa ibadah sering kali dikesampingkan. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya sekadar kehilangan semangat Ramadan, tetapi juga bagaimana menyesuaikan nilai-nilai bulan suci dalam kehidupan modern yang serba dinamis.

Baca: Menag: Jadikan Idulfitri sebagai Momentum Perkuat Kebersamaan

Strategi setelah bulan suci

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi yang dapat membantu umat Islam menjaga keberlanjutan nilai-nilai Ramadan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mengelola waktu dengan baik agar ibadah tetap menjadi prioritas, meskipun di tengah kesibukan. Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mengingatkan ibadah, seperti aplikasi pengingat salat dan tadarus Al-Qur’an.

Selain itu, mengendalikan konsumsi digital menjadi hal yang penting. Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial dan menggantinya dengan aktivitas ibadah atau membaca buku keislaman dapat membantu seseorang untuk tetap terhubung dengan nilai-nilai spiritual. Bergabung dengan komunitas atau majelis taklim yang aktif dalam dakwah juga bisa menjadi sarana untuk menjaga semangat ibadah.

Lebih jauh lagi, menjadikan spiritualitas sebagai prioritas adalah kunci utama dalam menghadapi tantangan kehidupan modern. Dunia hanyalah sementara, dan akhirat adalah tujuan utama. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan prinsip hidup sederhana agar tidak terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Dengan kesadaran ini, seseorang dapat menjalani hidup yang lebih bermakna dan berorientasi pada akhirat.

Idulfitri bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, melainkan awal dari ujian sejati. Oleh karena itu, Ramadan seharusnya menjadi titik awal perubahan, bukan hanya momentum sesaat yang berlalu begitu saja.

Sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, istikamah dalam beribadah adalah hal yang paling utama. Rasulullah Saw bersabda bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan secara konsisten, meskipun sedikit.

Dengan memahami makna ini, diharapkan umat Muslim bisa menjadikan Ramadan sebagai momentum perubahan yang nyata, bukan hanya rutinitas tahunan yang berulang tanpa makna. Terkahir, Lebaran adalah gerbang perubahan, bukan sekadar seremoni kegembiraan.[]

Indana merupakan rubrik khusus yang merekam pandangan Dewan Redaksi Ikhbar.com terhadap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Meski begitu, Indana ditulis secara reflektif dan bersifat personal sehingga seluruh muatan dan isinya secara penuh menjadi tanggung jawab penulis.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.