Ikhbar.com: Idulfitri merupakan puncak dari ibadah Ramadan yang dijalani selama sebulan penuh. Lebaran bukan sekadar momentum perayaan kemenangan menahan lapar dan dahaga, melainkan peneguhan kembali atas fitrah manusia yang suci.
Dalam tradisi keislaman, “fitrah” tidak hanya dimaknai sebagai kebersihan dari dosa, tetapi juga kebeningan jiwa dari segala bentuk kegaduhan duniawi.
Kegaduhan yang dimaksud bukan hanya soal suara atau keramaian fisik. Dalam konteks dunia modern, kebisingan hadir dalam bentuk yang lebih halus dan sistematis. Media sosial yang terus menjejali pikiran, budaya konsumtif yang menyesakkan, serta tekanan sosial yang membebani jiwa menjadi bagian dari kebisingan itu sendiri.
Idulfitri, idealnya, menjadi ruang untuk menepi dari kebisingan tersebut. Tradisi tasawuf yang mengakar dalam khazanah Islam Nusantara, misalnya, menawarkan pendekatan mendalam untuk menyelami kembali makna ketenangan dan kesucian pasca-Ramadan. Spirit sufistik mendorong setiap jiwa untuk menjadikan Idulfitri bukan sekadar momen pulang kampung atau bersilaturahmi secara lahiriah, melainkan juga waktu yang tepat untuk kembali ke kampung batin—tempat hati dapat berdialog dengan Ilahi.
Baca: Fitri Adalah Bebas dari Penjajahan Modern
Biang kerok kegelisahan jiwa
Kehidupan modern telah berubah menjadi arena perlombaan yang melelahkan. Arus informasi yang deras, tekanan eksistensi di media sosial, hingga budaya pamer kekayaan dan kebahagiaan semu menciptakan ilusi keberhasilan yang meresahkan.
Satu dari bentuk kebisingan paling nyata adalah distraksi digital. Menjelang dan sesudah Idulfitri, lini masa media sosial dipenuhi unggahan baju baru, makanan mewah, dan perjalanan liburan. Alih-alih menjadi ruang perjumpaan makna, media sosial kerap berubah menjadi panggung sandiwara pencitraan.
Banyak pihak merasa harus menunjukkan bahwa mereka bahagia dan sukses, bahkan bila itu hanya lapisan luar semata.
Fenomena ini berisiko menjauhkan manusia dari esensi Idulfitri yang hakiki. Budaya konsumtivisme pun memperparah situasi. Diskon besar-besaran dan iklan yang terus menggoda membuat perayaan hari suci ini bergeser menjadi ajang belanja massal. Dalam situasi tersebut, Idulfitri lebih terasa sebagai puncak euforia duniawi daripada sebagai titik balik ruhani.
Budaya pamer dan konsumtivisme ini juga berdampak pada jiwa. Banyak orang merasa cemas, tidak cukup baik, dan tertinggal hanya karena tidak mampu mengikuti tren.
Kegelisahan ini menjauhkan diri dari kedamaian yang seharusnya lahir setelah menjalani Ramadan.
Padahal, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِّنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan, lalu diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa semangat Ramadan seharusnya berlanjut. Ruh kesucian dan kesederhanaan yang dibangun selama Ramadan tidak berhenti pada gema takbir Idulfitri, melainkan menjadi gaya hidup yang terus mengakar.
Baca: Lebaran Adalah Titik Mula
Tasawuf sebagai jalan
Dalam menghadapi kebisingan dunia, tasawuf menawarkan pelajaran penting. Tidak mengajak untuk meninggalkan dunia, tetapi mengarahkan agar tidak diperbudak olehnya. Konsep zuhud dalam tradisi sufi menjadi kunci memahami hal ini.
Imam Ahmad ibn Hanbal pernah berkata, “Zuhud dalam dunia bukan berarti mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih pasti daripada apa yang ada di tanganmu.”
Zuhud dalam konteks hari ini bisa diwujudkan dengan mengurangi distraksi digital, menghindari budaya pamer, dan menjalani hidup yang lebih sadar. Detoks digital menjadi bentuk zuhud modern. Tidak selalu online, tidak larut dalam tren sesaat, dan lebih banyak menyisihkan waktu untuk membaca, merenung, serta berdialog dengan diri.
Tasawuf juga mengajarkan tazkiyah al-nafs, yakni upaya terus-menerus dalam menyucikan jiwa. Proses ini penting karena dunia modern cenderung menumbuhkan penyakit hati seperti riya’, hasud, dan tamak. Jiwa yang terbiasa bersaing dan menilai orang lain dari tampilan luar akan mudah terperosok dalam kekeringan makna.
Allah Swt berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Muraqabah, atau kesadaran bahwa Allah selalu hadir dan mengawasi, menjadi cara menjaga ketenangan jiwa di tengah dunia yang gaduh. Dengan muraqabah, manusia dapat membangun benteng batin dari segala bentuk godaan dunia. Praktiknya dapat diwujudkan dalam bentuk zikir harian, tafakur, dan memperbanyak waktu hening.
Muraqabah juga dapat dimaknai sebagai kehadiran spiritual dalam setiap aktivitas. Ketika makan, tidur, bekerja, bahkan bermedia sosial, kesadaran akan kehadiran Tuhan membuat seseorang lebih mawas diri dan tidak mudah terjebak dalam keinginan-keinginan dangkal.
Baca: Lebaran Dorong Manusia Jadi Pemaaf
Idulfitri sebagai titik balik
Idulfitri adalah pintu gerbang menuju kehidupan baru. Setelah sebulan ditempa dalam tarbiyah Ramadan, jiwa kembali suci dan kuat menghadapi tantangan hidup. Sayangnya, banyak yang kembali pada kebiasaan lama seolah tidak ada yang berubah.
Menghidupkan spirit Idulfitri artinya menjadikan momen ini sebagai titik balik. Dari hidup yang penuh kesibukan menuju kehidupan yang lebih bermakna. Dari euforia semu menuju ketenangan hakiki. Imam Al-Ghazali menyebut, “Kebahagiaan sejati bukan terletak pada apa yang dimiliki, melainkan pada apa yang tidak membebani hati.”
Dengan mempraktikkan nilai-nilai tasawuf seperti zuhud, tazkiyah, dan muraqabah, fitrah yang diperoleh saat Idulfitri bisa terjaga. Hidup tidak lagi sekadar mengikuti arus dunia, tetapi berakar pada kesadaran spiritual yang mendalam.
Idulfitri bukan akhir, melainkan awal. Awal dari hidup yang lebih sadar, lebih bersih, dan lebih tenang. Dalam kebisingan dunia, jalan terbaik adalah menepi. Bukan lari dari realitas, tetapi untuk kembali menemukan hakikat diri. Karena hanya dalam keheningan, suara Tuhan dapat terdengar paling jernih.