Ikhbar.com: Ketika tampuk kekuasaan Islam berada di tangan Ali bin Abi Thalib, ibu kota negara dipindahkan dari Madinah Al-Munawwarah ke Kufah, Irak. Sebagai seroang khalifah, menantu Rasulullah Muhammad Saw itu tetap begitu merakyat dan dekat dengan masyarakat.
Syekh Ahmad bin ‘Abdillah atau Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam Hilyat al-Awliya mengisahkan, kebiasaan unik yang dimiliki Khalifah Ali ialah selalu menempuh jalan berbeda ketika menuju masjid dan sepulang dari salat berjemaah. Dan suatu hati, suami Fatimah Az-Zahra itu berjalan melewati kawasan permukiman Yahudi. Mereka adalah golongan kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara.
Tiba-tiba, Khalifah Ali melihat ada sebuah baju perang yang sedang dijemur di depan salah satu rumah warga. Sepupu Nabi Muhammad Saw itu pun langsung menghampirinya.
Khalifah Ali memerhatikan secara saksama baju perang itu. Kemudian, ia merasa yakin bahwa benda tersebut adalah miliknya.
Sesudah memimpin salat Subuh, Khalifah Ali kembali ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu hingga keluarlah sang tuan rumah.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ali.
“Baik-baik saja, wahai Khalifah,” jawab si Yahudi.
Baca: Tafsir QS. Al-Hasyr Ayat 2-3: Yahudi Terusir di Bulan Rabiul Akhir
Khalifah Ali kemudian menunjuk baju perang yang sedang dijemur di dekat pintu. “Aku melihat ada baju perang itu. Apakah kepunyaanmu?” tanya dia.
“Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja itu punyaku,” terang pria itu.
“Tapi aku yakin baju ini milikku,” tegas Khalifah Ali. Sahabat Nabi Saw itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut.
Namun, warga Yahudi itu tetap kekeh pada argumentasinya. Khalifah Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan agar perselisihan itu bisa segera diselesaikan.
Di gedung pengadilan, Khalifah Ali masuk lebih dulu kemudian diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah.
Begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa.
“Wahai khalifah, silakan mengantre,” kata hakim.
Ali pun menuju barisan orang-orang yang tampak cukup mengular. Ia mengambil posisi di paling belakang. Beberapa lama kemudian, sang Amirul Mukminin mendapat giliran untuk mendaftarkan perkaranya.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Kini, persidangan kasus Ali dan si Yahudi siap digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, “Apa pokok persengketaan kalian?”
Khalifah Ali menjelaskan, “Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku.”
“Bagaimana menurut engkau?” tanya sang hakim kepada si Yahudi.
“Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Tentu, baju perang itu adalah milikku,” tegasnya.
“Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?” tanya Hakim kepada Khalifah Ali.
“Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku,” ujar Ali.
“Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut syariat, kesaksian anak atas orang tuanya atau orang tua atas anaknya tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya,” ujar hakim, mengingatkan.
Khalifah Ali kemudian berpikir, yang tersisa dari para saksi hanyalah seorang perempuan yang tak lain ialah istrinya sendiri. Sementara, syarat Islam mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh diganti menjadi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. “Lantas, adakah mereka itu?” gumam sang khalifah dalam hati.
“Bagaimana?” tanya hakim lagi.
“Tidak ada. Aku tidak ada saksi seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan,” jawabnya.
“Dengan demikian, selesai,” ujar hakim tersebut. “Maka dengan ini, baju perang tersebut adalah milik si Yahudi.” Pengadil itu kemudian menyatakan, sidang selesai.
Kebetulan, persidangan tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka sang hakim pun turun dari kursinya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali.
Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara, lelaki Yahudi tadi berdiri kebingungan.
Dia heran, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami pengadilan yang selugas itu. Pengadilan benar-benar telah memosisikan setiap orang secara adil tanpa pandang bulu. Tidak ada yang diistimewakan, sekali pun salah satu pihak adalah orang nomor satu di negeri itu. Apalagi, Khalifah Ali, sebagai pemimpin, ia tidak terlihat merasa paling benar dan berkuasa.
Setelah sempat terdiam, orang Yahudi itu segera berlari menyusul sang khalifah dan hakim. “Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!”
“Ada apa?” tanya Khalifah Ali, keheranan.
“Apakah sudah selesai pengadilan ini?” tanya dia.
“Tentu saja. Baju tersebut milikmu, meskipun aku yakin sekali bahwa itu milikku. Namun, hukum sudah memutuskan,” ucap Sayyidina Ali.
“Sungguh, wahai Khalifah. Baju perang ini adalah milikmu. Aku mencurinya dua hari yang lalu,” terangnya kemudian.
“Mengapa tidak engkau sampaikan di pengadilan tadi?” tanya sang hakim.
Orang Yahudi itu lantas menuturkan, sejak awal dia terus memerhatikan. Hingga akhirnya dia menyadari, betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali.
Sebagai orang yang lama tinggal di Irak, dia dan kaumnya terbiasa dengan perilaku yang sewenang-wenang, tanpa mengindahkan aturan negara.
“Seandainya kami berperkara dengan raja-raja terdahulu (sebelum Islam masuk ke Irak), pasti kamilah yang kalah dari penguasa. Apalagi, sebagai Yahudi kami biasa dianggap bukan warga negara,” kenangnya.
Ia begitu terkesan ketika Khalifah Ali justru mengajaknya ke pengadilan, alih-alih langsung merampas baju yang dinilai sebagai miliknya.
Di pengadilan pun, sang khalifah diperlakukan biasa saja. Ali tetap harus mengantre, sebagaimana warga umumnya.
“Kalau dulu, para petugas pengadilan pasti mengistimewakan raja di atas orang-orang biasa,” katanya.
“Maka saksikanlah oleh tuan-tuan sekalian, aku bersaksi bahwa tidak ada zat yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah,” ucap pria itu. Khalifah Ali dan sang hakim pun bertakbir, menyambut syahadat yang terdengar begitu tulus dan menggetarkan.