Ikhbar.com: Masyarakat Arab masa lampau tak lepas dari sejarah keamiran, yakni sistem pemerintahan yang bertumpu pada kekuasaan raja-raja khas Timur Tengah.
Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum menjelaskan, para penguasa di Jazirah Arab tempo dulu terbagi dalam dua kelompok. Pertama, raja-raja bermahkota, yang pada hakikatnya tidak memiliki independensi.
“Kedua, para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja,” tulis Al-Mubarakfuri.
“Mayoritas dari mereka memiliki kemerdekaan penuh, tetapi boleh jadi sebagiannya masih bersubordinasi dengan raja-raja bermahkota,” sambungnya.
Yang dimaksud raja bermahkota ialah para penguasa wilayah Yaman, Syam, Bani Ghassan, dan raja-raja Hirah.
“Di antara suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman dari kalangan Arab Aribah adalah kaum Saba. Keberadaan dan peran mereka berhasil diketahui berkat penemuan fosil Aur, yang diperkirakan sudah ada sejak 25 abad sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban, pengaruh, serta perluasan pemerintahan mereka dimulai pada 11 abad SM,” jelasnya.
Baca: Mengenal Ar-Rahiq al-Makhtum, Rujukan Kisah Perjalanan Hidup Nabi Agung
Periode raja-raja
Al-Mubarakfuri juga mengklasifikasi periode pemerintahan para penguasa tersebut menjadi beberapa gelombang.
Pertama, periode antara tahun 1300 SM hingga 620 SM. Periode ini dikenal dengan nama Dinasti Al-Mu’iniah dengan para raja yang dijuluki sebagai Mukrib Saba.
Ibu kota kekuasaan periode ini berpusat di Sharwah. Puing-puing kota tersebut kini bisa ditemukan di sekitar 50 km arah barat laut dari Kota Ma’rib, dan berjarak 142 km arah timur Kota Shan’a, yang dikenal dengan sebutan Kharibah.
Pada periode tersebut, mereka sudah mengenal teknologi pengairan yang canggih. Mereka mampu membangun Bendungan Ma’rib hingga memiliki peran besar dalam sejarah Yaman.
Menurut Al-Mubarakfuri, wilayah pemerintahan kaum Saba ini juga telah sampai ke tingkatan aneksasi terhadap kawasan di dalam dan luar negeri Arab.
Kedua, periode tahun 620 SM hingga 115 SM. Pada masa ini para penguasa mulai menanggalkan istilah Dinasti Saba dan julukan Mukrib. Mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai Raja Saba dan memindahkan ibu kota ke Ma’rib. Sisa bangunan kota ini dapat dijumpai pada jarak 192 km dari arah timur Kota Shan’a.
Ketiga, periode antara tahun 115 SM hingga tahun 300 M. Pada periode ini mereka dikenal dengan Dinasti Al-Himyariyyah. Pasalnya, mereka yang terdiri dari para petinggi Kabilah Himyar telah memisahkan diri dari Kerajaan Saba dan menjadikan Raidan sebagai ibu kota pengganti Ma`rib. Kota Raidan kemudian dikenal dengan nama Zhaffar. Reruntuhannya masih bisa dijumpai di sebuah bukit yang memutar di dekat Yarim.
Pada periode ini, mereka mulai jatuh karena mengalami kemerosotan serta kerugian besar dalam perdagangan. Di antara yang menjadi penyebab keterpurukan tersebut adalah kawasan utara Hijaz yang telah berhasil diduduki oleh Etnis Anbath. Selain itu, jalur perdagangan laut pun telah dikuasai Romawi setelah sebelumnya mereka berhasil menaklukkan Mesir, Syria, dan bagian utara kawasan Hijaz.
“Penyebab ketiga adalah adanya persaingan antarkabilah. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar Suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negeri yang jauh,” terang Al-Mubarakfuri.
Periode berikutnya adalah dari tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman. Pada periode ini dikenal dengan Dinasti Al-Himyariyyah II. Di masa ini banyak diwarnai kerusuhan dan kudeta hingga membuat mereka menjadi santapan empuk bagi kekuatan asing yang selalu mengintai.
Di sisi lain, pada periode ini Bangsa Romawi telah berhasil memasuki Kota Adn. Dan atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya Bangsa Habasyah (Ethiopia) berhasil menduduki Negeri Yaman, tepatnya pada tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan dengan memanfaatkan persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar.
Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian Negeri Yaman pun memperoleh kemerdekaannya, akan tetapi peristiwa retaknya Bendungan Ma`rib pada 450 M yang mengakibatkan terjadinya banjir besar membuat mereka kembali tercerai-berai.
Peristiwa banjir bandang ini terekam dalam Al-Qur’an dengan istilah “Sailul Arim.”
Baca: Peta Geografis dan Kesukuan Bangsa Arab
Kekuasaan di Yaman dan kisah tentara gajah
Pada tahun 523 M, Dzu Nuwas, seorang yang berdarah Yahudi memimpin penyerangan yang keji terhadap penduduk Najran yang beragama Nasrani. Mereka memaksa agar penduduk Najran meninggalkan agamanya. Karena menolak, maka Dzu Nuwas memerintahkan anak buahnya menggali parit-parit besar yang kemudian diisi kobaran api. Lantas, dia melemparkan penduduk Najran hidup-hidup ke dalamnya.
“Hal inilah yang diisyaratkan dalam QS. Al-Buruj melalui firman Allah Swt, ‘Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit,” tulis Al-Mubarakfuri.
Peristiwa tersebut kemudian menimbulkan dendam kaum Nasrani hingga membuat Imperium Romawi melakukan penaklukan dan memperluas daerah kekuasaannya ke Semenanjung Arab. Mereka berhasil memprovokasi orang-orang Habasyah dengan menyiapkan armada laut untuk menampung sebanyak 70.000 personel tentara. Hingga kemudian Habasyah berhasil menduduki Yaman di bawah Komando Aryath pada tahun 525 M.
Pada tahun 549 M, Aryath dibunuh oleh Abrahah bin Ash-Shabbah Al-Asyram, yang tak lain adalah salah seorang komandan tentaranya sendiri. Abrahah kemudian mengambil alih pemerintahan Yaman. Dialah yang kemudian mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah.
Baca: Kisah Pesaing Ka’bah
Dalam pentas sejarah, Abrahah dan bala tentaranya dikenal dengan sebutan ashabul fiil (pasukan penunggang gajah). Sepulangnya dari Makkah menuju Shan’a, Abrahah tewas lalu kepemimpinan mereka diambil alih kedua anaknya secara bergantian. Kedua putra mahkota itu kemudian menjadi penguasa Yaman yang dikenal lebih otoriter dan sadis ketimbang ayahnya.
Setelah peristiwa “perang gajah,” penduduk Yaman meminta bala bantuan kepada orang-orang Persia untuk melakukan pemberontakan sehingga mereka dapat mengusir orang-orang Habasyah dari Yaman pada tahun 575 M. Yaman pun merdeka di bawah komando Ma’di Yakrib bin Sayf Dzi Yazin Al-Himyari.
Ma’di Yakrib yang kemudian menjadi raja tetap mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah menjadi pelayan dan ajudan. Akibatnya, mereka malah membunuh Ma’di Yakrib. Usai kematiannya, Kaisar Persia mengangkat seorang pelaksana pemerintahan di Shan’a dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi mereka.
“Kepemimpinan orang-orang Persia atas Negeri Yaman terus berlanjut hingga era kepemimpinan Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini, berakhir pulalah tampuk pemerintahan kerajaan Persia di Negeri Yaman,” jelas Al-Mubarakfuri.