Ikhbar.com: Sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, kegigihan umat Muslim dalam menuntut ilmu terus berlanjut. Meski disibukkan dengan aktivitas sehari-hari dengan berdagang, berternak, dan bercocok tanam, mereka tetap tekun belajar di majelis-majelis ilmu.
Dalam proses belajar Al-Qur’an, para sahabat senior tak gengsi untuk bertanya ke juniornya. Hal itulah yang dilakukan Abdullah bin Abbas hingga dirinya dijuluki turjumanul qur’an karena kepiawaiannya di bidang tafsir.
Pasca era sahabat, lahirlah generasi yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw, tetapi tetap beriman kepada Nabi. Mereka disebut sebagai kelompok tabi’in.
Para tabi’in belajar mendalami Islam kepada para sahabat nabi. Dari proses belajar itulah kemudian muncul beberapa madrasah tafsir Al-Qur’an.
Imam Husein Al-Dzahabi dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassiruun menjelaskan, pada masa tabi’in ini setidaknya muncul tiga madrasah yang nantinya melahirkan banyak ahli tafsir Al-Qur’an.
Baca: Al-Mishbah, Penyempurna Khazanah Tafsir Ulama Nusantara
Madrasah Makkah
Madrasah di Makkah diasuh sahabat Abdullah bin Abbas. Majelis ini kemudian melahirkan beberapa ahli tafsir sekelas Sa’id bin Jabir bin Hisyam, Mujahid bin Jabar, Ikrimah Al-Madani Maula bin Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani, dan ‘Atha bin Abi Rabah.
Menurut Al-Dzahabi, salah satu dari mereka, yakni Mujahid bin Jabar, bahkan telah lama menafsirkan Al-Qur’an berbasis logika. Hal itu sebagaimana penafsirannya terhadap QS Al-Baqarah: 65. Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِين
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakana kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina!”
Sebagaimana dikutip dari Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Imam At-Thabari, Mujahid bin Jabbar menyebut bahwa ayat ini merupakan perumpamaan Allah Swt bagi orang-orang Yahudi pada masa lampau. Ia menegaskan bahwa hati dan kelakuan mereka layaknya seekor kera.
Madrasah Madinah
Di madrasah ini, pengaruh Ubay bin Ka’ab cukup mendominasi di tengah sejumlah sahabat nabi yang lain. Ubay dinilai sukses hingga melahirkan sejumlah tabi’in ahli tafsir, seperti Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mihran, Muhammad bin Ka’ab al-Qardzi, dan Zaid bin Aslam.
Kemasyhuran ketiga tabi’in ini kemudian diteruskan dengan kepopuleran para muridnya, salah satunya adalah Imam Malik bin Anas yang diyakini sebagai murid Zaid bin Aslam.
Madrasah Kufah
Madrasah ini diasuh Abdullah bin Mas’ud. Berbeda dengan Madinah dan Makkah yang terdapat banyak sahabat, di Kufah bisa dikatakan hanya Abdullah yang paling mumpuni di bidang tafsir dan juga di bidang qiraat.
Di madrasah ini kemudian lahir ‘Alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajza’, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamdani, ‘Amir bin Syu’bi, al-Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Da’amah.
Baca: Sahabat Tidak Memanggil Nabi Hanya dengan Nama ‘Muhammad’
Kontroversi tafsir logika
Penafsiran berbasis riwayat mendominasi ketiga madrasah tersebut. Bahkan, di masa itu, penafsiran berbasis analisis atau logika mengalami banyak penolakan.
Hal itu seperti penafsiran yang dilakukan Mujahid bin Jabar di atas. Karenanya Imam At-Thabari menolak pendapat Mujahid karena tidak berlandaskan pada riwayat.
“Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa tafsir tabi’in yang tidak berdasarkan metode bi al-ma’tsur (riwayat dari Nabi Saw) dibagi menjadi dua kategori, yakni qabul (diterima para ulama), dan ‘adam al-qabul (tidak diterima generasi setelahnya,” jelas Al-Dzahabi.