Ikhbar.com: Nama “Arab” menggambarkan sebuah wilayah yang didominasi gurun pasir, gersang, tanpa adanya air serta tetumbuhan. Sejak masa lampau, sebutan itu telah lazim ditujukkan untuk menyebut daerah-daerah yang berada di Jazirah Arab. Yakni, sebuah kawasan yang dari arah barat berbatasan dengan Laut Merah dan Semenanjung Sinai. Sebelah timur dengan Teluk Arab dan sebagian besar Irak. Di selatan berbatasan dengan Laut Arab. Dan di sebelah utara berbatasan dengan Syam dan sebagian Negara Irak.
Seperti itulah Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri mengawali karyanya yang berjudul Ar-Rahiq al-Makhtum. Kitab sirah nabawiyah kontemporer ini memulai pembahasannya dengan bab “Mauqi’ al-Arab wa Aqwamuha” atau Letak Strategis Wilayah dan Suku-Suku Arab. Buku ini tidak langsung berkisah tentang kelahiran Rasulullah Muhammad Saw, sebagaimana rujukan-rujukan sejenis lainnya.
Al-Mubarakfuri mengakui, batas-batas Jazirah Arab masa lampau itu masih diiringi dengan banyaknya kontroversi. Namun, hasil penelitiannya telah memprediksikan bahwa luas wilayah tersebut antara 1 juta hingga 1,3 juta mil persegi.
Baca: Mengenal Ar-Rahiq al-Makhtum, Rujukan Kisah Perjalanan Hidup Nabi Agung
Benteng yang kokoh
Jazirah Arab dinilai memiliki peran yang sangat menentukan karena letaknya yang strategis. Jazirah Arab hanya dikelilingi Padang Sahara dan gurun pasir lainnya. Posisi ini membuat Jazirah Arab selayaknya benteng kokoh yang membuat bangsa asing kesulitan untuk menjajahnya. Oleh karena itu, bangsa Arab cenderung menjadi masyarakat yang bebas meski secara hitung-hitungan politik, kala itu mereka diapit oleh dua kekuatan besar, yakni Imperium Romawi dan Persia.
Selain itu, kesetrategisan Jazirah Arab juga diperkuat letaknya yang berada di antara dua benua besar, yakni sebelah barat sebagai pintu masuk masyarakat Eropa, dan sebelah timur yang menjadi akses bangsa-bangsa asing lain, dari mulai Asia Tengah, Timur Jauh, hingga India dan Cina. Dari sisi garis pantai, pesisir Jazirah Arab juga menjadi tempat satu-satunya akses bagi bangsa-bangsa dari dua pintu masuk itu untuk menyandarkan kapal-kapal niaga mereka. Berkat posisinya yang strategis inilah, pelabuhan-pelabuhan Arab pun disebut pernah menjadi pusat pertukaran niaga, peradaban, agama, dan juga seni.
Persebaran kaum Arab
Para sejarawan menggolongkan kaum Arab berdasarkan asal garis keturunan mereka. Yakni:
- Arab Ba’idah, yaitu kaum Arab kuno yang sudah punah atau tidak bisa lagi dilacak keberadaannya secara lebih detail. Mereka adalah kaum Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, dan bangsa-bangsa sejenis lainnya.
- Arab Aribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Mereka juga dikenal dengan Bangsa Arab Qahthaniyah.
- Arab Musta’ribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari garis keturunan Nabi Ismail As. Di kemudian hari, mereka lebih masyhur dengan sebutan Arab Adnaniyah.
Sementara itu, golongan Arab kedua, yakni kaum Aribah atau Qahthaniyah berakar dari Negeri Yaman. Baru kemudian mereka berkembang menjadi sejumlah kabilah dan marga. Dua yang paling terkenal di antaranya adalah Himyar, dengan anak kabilahnya yang paling terkenal yakni Za’id Al-Jumhur, Qudha’ah, dan Sakasik. Kedua, Kahlan, dengan anak kabilah antara lain Hamadan, Anmar, Thayyi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus, Khazraj, serta anak cucu dari Jafnah yang merupakan para raja di Syam.
Secara lebih lanjut, sebagian besar marga Kahlan pergi meninggalkan Yaman dan menyebar ke berbagai penjuru Jazirah. Para sejarawan menyebut kepegian mereka terjadi jelang banjir besar, atau tepat ketika mereka mengalami kegagalan dalam perdagangan akibat tekanan dari Bangsa Romawi, keberhasilan menguasai jalur laut, dilumpuhkannya jalur darat, serta keberhasilan mereka menguasai Mesir dan Syam. Namun, dalam riwayat lain disebutkan, mereka terpencar setelah terjadinya sebuah banjir besar.
Selain itu, kepergian mereka juga merupakan dampak dari persaingan antarmarga. Terutama, persaingan dengan marga Himyar. Hal ini terbukti dengan keberadaan Himyar yang tetap eksis di tempat itu setelah bangsa Kahlan memutuskan untuk menyingkir.
Baca: Ka’bah Pra-Islam, Diklaim Jadi Rumah Dewa Siwa hingga Hormuz
Marga-marga Kahlan yang meninggalkan Yaman itu terbagi menjadi empat golongan:
- Azd; mereka meninggalkan Yaman setelah mengikuti pendapat pemuka dan sesepuh mereka, Imran bin Amr Muzaiqiya’. Mereka berpindah-pindah di Negeri Yaman dan mengirim para pemandu, lalu menempuh arah utara dan timur. Di antara mereka, Tsa’labah bin Amr dari al-Azd pindah menuju Hijaz, lalu menetap di antara (tempat yang bernama) Tsa’labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya dewasa dan kekuasaannya menguat, dia beranjak menuju Madinah, menetap dan bertempat tinggal di sana. Di antara anak keturunan Tsa’labah ini adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa’labah.
Di antara keturunan mereka tersebut ada yang berpindah dan menetap di kawasan Hijaz, yaitu Haritsah bin Amr (dialah Khuza’ah) dan anak keturunannya, hingga kemudian singgah di Marr azh-Zhahran, lalu menguasai tanah suci dan mendiami Makkah serta mengekstradisi penduduk aslinya, suku-suku Jurhum.
Sedangkan Imran bin Amr singgah di Omman lalu menetap di sana bersama anak-anak keturunannya, yaitu Azd Omman. Kabilah-kabilah lainnya, yaitu Kabilah Nashr bin al-Azd menetap di Tuhamah. Mereka ini lebih dikenal dengan nama Azd Syannuah. Sedangkan Jafnah bin Amr berangkat menuju ke Syam. Dialah bapak para Raja Al-Ghassasinah. Kata ‘al-Ghassasinah merujuk pada sumber air di Hijaz yang dikenal dengan nama Ghassan.
- Lakhm dan Judzam. Marga ini pindah ke bagian timur dan utara. Di kalangan Lakhm terdapat seorang yang bernama Nashr bin Rabi’ah. Dia adalah bapak raja-raja Al-Manadzirah di Hirah.
- Bani Thayyi’. Setelah perjalanan yang dilakukan oleh Azd, mereka pindah ke arah utara hingga singgah di kawah dua bukit; Aja dan Salma. Hal itulah yang mengakibatkan dua gunung tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pegunungan Thayyi’.
- Kindah. Marga ini sempat singgah di Bahrain, kemudian mereka meninggalkannya menuju di Hadhramaut. Setelah mengalami gangguan di kedua titik itu, mereka kembali bergerak menuju Najd. Di sana, mereka membentuk pemerintahan besar dan diperhitungkan. Sayangnya, pemerintahan itu demikian cepat tumbang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Selain itu, ada satu kabilah dari Suku Himyar, yaitu Qudha’ah, yang meninggalkan Yaman dan bermukim di daerah pedalaman As-Samawah, atau sebuah wilayah yang terletak di pinggiran Irak.