Ikhbar.com: Setelah sekian bulan hijrah dan menetap di Madinah, umat Islam mendapatkan perintah untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Akibatnya, wajah para sahabat ketika beribadah harus dipalingkan 180 derajat. Bagian depan dan belakang Masjid Nabawi pun terpaksa bertukar.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengisahkan, Rasulullah Muhammad Saw meminta para sahabat untuk memberi atap pada dinding bekas kiblat yang lama. Atap itu kemudian banyak yang menyebutnya dengan nama as-shuffah atau adz-dzullah yang bermakna tempat bernaung.
“Ash-Shuffah adalah tempat di bagian belakang Masjid Nabawi yang diberi atap dan disediakan bagi orang asing yang berada di sana, yaitu mereka yang tidak punya rumah atau kerabat,” tulis Ibnu Hajar.
Baca: Pesantren ala Nabi
Awal mula as-shuffah
Syekh Ali Muhammad As-Shallabi dalam As-Siratun Nabawiyah menceritakan, para sahabat dari kalangan Muhajirin (yang berhijrah dari Makkah) akan datang menemui Rasulullah Saw ketika pertama kali menginjakkan kaki di Madinah. Setelah itu, Nabi Saw akan meminta dari kalangan Anshor (penduduk Madinah) agar berkenan menampung orang-orang tersebut.
“Namun, jika sudah tidak ada lagi yang bisa menampungnya, mereka akan diarahkan untuk tinggal sementara di as-shuffah,” tulis As-Shallabi.
Demi ketertiban dan memenuhi keperluan para penghuni as-shuffah, Nabi Saw menunjuk Abu Hurairah sebagai penanggungjawab urusan tersebut. Dalam setiap periodenya, as-shuffah bisa dihuni dari 70 hingga 80 orang.
Meski keberadaan awalnya merupakan tempat bernaung bagi orang-orang yang penuh keterbatasan, terutama dalam hal finansial akibat hijrah, tetapi as-shuffah juga pernah dihuni oleh para sahabat dari golongan kaya. Sebut saja, Ka’ab bin Malik Al-Anshari, Handhalah bin Abi ‘Amir Al-Anshari, Haritsah bin An-Nu’man Al-Anshari, hingga Abu Hurairah sendiri menempati penampungan sementara itu.
Baca: Perpindahan Ibu Kota, Selayang Pandang Pengalaman Islam
Belajar dan beribadah
Waktu pun berlalu. Kesan as-shuffah yang pada mulanya sebagai tempat bagi para sahabat Muhajirin yang membutuhkan jaminan hidup di Madinah, kini semakin terbuka dan menjadi tempat tinggal bagi orang-orang Islam yang ingin beribadah dan belajar tentang Islam secara lebih khusyuk. Apalagi, posisinya di Masjid Nabawi memungkinkan mereka untuk lebih mudah mendapatkan pengajaran dan nasihat-nasihat secara langsung dari Rasulullah Saw.
Di sisi lain, Nabi Saw juga menaruh banyak perhatian kepada para penghuni as-shuffah. Rasulullah secara rutin menjenguk dan memeriksa keadaan orang-orang yang kemudian masyhur disebut ahlus-shuffah itu. Rasulullah juga mengajari mereka membaca Al-Qur’an dan mengajak untuk berzikir maupun memberikan pesan-pesan terkait langkah menuju kebaikan di dunia dan akhirat.
Bak pulung merindukan bulan, ketulusan Rasulullah Saw pun dimanfaatkan secara sungguh-sungguh oleh para sahabat. Mereka penuh semangat dalam mengikuti setiap kajian yang disampaikan Nabi Saw. Di malan harinya, para ahlus-shuffah juga memenuhi kegiatan mereka dengan beriktikaf, membaca Al-Qur’an, dan mendirikan salat, serta menunaikan banyak macam ibadah lainnya.
As-Shallabi mencatat, kegigihan para penghuni as-shuffah itu membuahkan hasil yang tidak sembarang. Keumuman mereka kemudian bertumbuh menjadi para tokoh yang mampu menghafal ribuan hadis yang telah disampaikan Rasulullah Saw. Abu Hurairah, misalnya, berhasil meriwayatkan sebanyak 5.374 hadis. Bahkan, namanya terus diingat dan dicatat oleh sekitar 800 ahli hadis dari kalangan sahabat hingga tabi’in.
Selain Abu Hurairah, para ahlus-shuffah lainnya antara lain Shafwan bin Baidha’, Khuraim bin Fatik Al-Asadi, Khubaib bin Yasaf, Salim bin Umair, Jurhud bin Khuwailid, Abu Suraihah Al Ghifari, Haritsah bin Nu’man Al-Anshari, Abdullah Dzu al-Bajadain, Tsaqif bin Amr, Asam bin Haritsah bin Sa’id Al-Aslami, Hanzhalah bin Abu Amir Al-Anshari, Hazim bin Harmalah, Hudzaifah bin Usaid, Jariyah bin Jamil bin Syabat bin Qarath, Ju’ail bin Saraqah al-Dhamri, Sa’ad bin Malik, Irbadh bin Sariyyah, Gharfat bin al-Azdi, serta Abdurrahman bin Qarth, Ubbad bin Khalid Al-Ghifari.
Baca: Mengenal Madrasah Tafsir Al-Qur’an Era Tabi’in
Sepeninggal Rasulullah, para santri Masjid Nabawi ini diberi tugas oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk berdakwah ke berbagai negara. Sebagian mereka ada yang menjadi penasihat pemerintah, ada pula yang mendirikan majelis-majelis untuk mengabarkan ulang tentang Islam dan pesan-pesan Rasulullah Saw yang mereka dapatkan selama “nyantri” di Madinah.