Ikhbar.com: Makkah merupakan salah satu kota paling bersejarah di dunia yang memiliki peran penting dalam perkembangan peradaban di Jazirah Arab. Sejarah kota suci ini telah dimulai sejak zaman kuno, jauh sebelum berdirinya negara modern Arab Saudi.
Berbagai suku dan dinasti silih berganti memimpin dan mengelola Makkah, yang menjadikannya pusat keagamaan dan perdagangan. Salah satu tokoh penting yang memulai jejak sejarah Kota Makkah adalah Nabi Ismail As.
Nabi Ismail As memimpin Kota Makkah dan mengurus Ka’bah sepanjang hidupnya hingga wafat pada usia 137 tahun. Setelah kepergiannya, kepemimpinan diteruskan oleh kedua putranya, Nabit dan Qaidar, secara bergilir.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Qaidar memimpin lebih dahulu, diikuti oleh Nabit. Namun, setelah keduanya, kepemimpinan diambil alih oleh kakek mereka, Madhdhadh bin Amr Al-Jurhumi.
Baca: Nabi Ibrahim Melacak Ka’bah
Dari Nabi Ismail ke Jurhum
Dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, karya Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri diceritakan bahwa Suku Jurhum memegang kekuasaan atas Makkah setelah kepemimpinan Nabi Ismail As. Meskipun demikian, keturunan Nabi Ismail tetap dihormati oleh masyarakat Jurhum karena peran besar ayahanda mereka dalam pembangunan Baitullah. Sayangnya, para keturunan Nabi Ismail tidak diberi kedudukan dalam pemerintahan.
Seiring berjalannya waktu, Suku Jurhum mengalami kemunduran kekuatan dan pengaruh. Pada masa menjelang serangan Nabuchadnezzar, keturunan Nabi Ismail As masih berada dalam keadaan yang tidak stabil. Pada masa itu, pengaruh politik Adnan, seorang keturunan Ismail, mulai muncul dan menggantikan kekuasaan Jurhum di Makkah.
Peristiwa serangan Nabuchadnezzar terhadap Bangsa Arab di Dzat Irq memperlihatkan peralihan kekuasaan. Adnan menjadi tokoh sentral dalam perlawanan terhadap serangan tersebut.
Serangan kedua Nabuchadnezzar yang terjadi pada 587 SM menyebabkan Bani Adnan terpencar ke berbagai wilayah, termasuk Yaman. Ma’ad, salah satu keturunan Adnan, berhasil diselamatkan oleh Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil, yang membawanya ke Harran di Syam.
Setelah kondisi membaik, Ma’ad kembali ke Makkah dan mendapati Suku Jurhum dalam keadaan yang terpuruk. Ia menikahi putri Jarsyam bin Jalhamah, Mu’anah, yang kemudian melahirkan seorang putra bernama Nizar.
Masa kekuasaan Suku Jurhum di Makkah berakhir dengan pengusiran mereka oleh Khuza’ah pada pertengahan abad ke-2 M. Khuza’ah, yang melihat Bani Adnan berpaling dari Jurhum, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengambil alih kekuasaan.
Dengan bantuan Bani Bakr bin Abdu Manaf bin Kinanah, Khuza’ah mengalahkan dan mengusir Jurhum. Sebelum meninggalkan Makkah, Jurhum menutup sumur Zamzam dan mengubur beberapa benda berharga, termasuk Hajar Aswad, di dalamnya.
Ibnu Ishaq mencatat bahwa Amr bin Al-Harits bin Madhdhadh Al-Jurhumi membawa pintalan Ka’bah dan Hajar Aswad ke dalam sumur tersebut sebelum pergi ke Yaman.
Kepergian suku Jurhum diiringi rasa sedih dan duka mendalam atas kenangan dan kekuasaan yang hilang. Amr bin Al-Harits bahkan merangkai syair yang mengungkapkan kegetiran mereka:
Seakan antara hujun hingga Shafa tiada
pelipur lara lagi, juga para pedagang di Kota Makkah.
Sungguh, kamilah dulu penghuninya, tetapi kami dibinasakan
oleh perubahan malam dan dataran berdebu.
Baca: Mengenal Ar-Rahiq al-Makhtum, Rujukan Kisah Perjalanan Hidup Nabi Agung
Orde Khuza’ah
Setelah Jurhum, Bani Khuza’ah mengelola Kota Makkah selama sekitar tiga ratus tahun. Pada masa ini, kaum Adnan menyebar ke wilayah Najd, Irak, dan Bahrain. Sementara itu, marga Quraisy tetap tinggal di pinggiran Makkah dan menjalani kehidupan sebagai hallul dan shirm, tanpa memiliki kuasa atas kota atau Ka’bah. Kondisi ini terus berlangsung hingga munculnya sosok Qushay bin Kilab.
Qushay bin Kilab dikenal sebagai pemimpin yang membawa perubahan besar. Ayahnya meninggal saat Qushay masih kecil, sehingga ia diasuh oleh ibunya dan dibawa ke Syam. Setelah dewasa, Qushay kembali ke Makkah yang kala itu dipimpin oleh Hulail bin Habasyiah dari suku Khuza’ah.
Qushay menikahi putri Hulail, Hubbe, dan setelah kematian mertuanya, terjadi perselisihan dan peperangan antara Khuza’ah dan Quraisy. Konflik ini berakhir dengan kemenangan Qushay, yang berhasil merebut kekuasaan atas Makkah dan Ka’bah, mengukir sejarah baru dalam kepemimpinan kota suci ini.
Ada tiga versi riwayat berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut. Pertama, ketika Qushay telah beranak-pinak, memiliki harta melimpah, dan pangkatnya semakin tinggi, serta Hulail telah tiada, ia merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak atas urusan Ka’bah dan Kota Makkah dibandingkan Khuza’ah dan Bani Bakr. Hal ini karena Suku Quraisy adalah pemimpin dan pewaris keluarga besar Nabi Ismail. Qushay pun berdiskusi dengan pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir Khuza’ah dan Bani Bakr dari kota Makkah, dan mereka menyambut idenya.
Kedua, sebagaimana diklaim oleh Khuza’ah, Hulail berwasiat kepada Qushay agar mengurusi Ka’bah dan Makkah. Ketiga, Hulail menyerahkan urusan Ka’bah kepada putrinya, Hubbe, dan mengangkat Abu Ghubsyan Al-Khuza’i sebagai wakilnya untuk mengurusi Ka’bah. Setelah Hulail meninggal, Qushay berhasil menipu Abu Ghubsyan dan membeli kewenangan atas Ka’bah dengan segeriba anggur atau sejumlah onta.
Khuza’ah tidak puas dengan transaksi tersebut dan berusaha menghalangi Qushay. Menyikapi hal ini, Qushay mengumpulkan Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir Khuza’ah dari Makkah, dan mereka menyetujui rencananya.
Apapun penyebabnya, setelah Hulail wafat dan Kaum Shufah menjalankan aktivitas seperti biasa, Qushay bersama Quraisy dan Kinanah mendatangi mereka di dekat Aqabah dan berseru, “Kami lebih berhak atas hal ini daripada kalian!”
Lantas, terjadilah pertempuran itu dan Qushay berhasil mengalahkan mereka serta merampas hak-hak mereka.
Khuza’ah dan Bani Bakr bersatu memerangi Qushay, tetapi Qushay berhasil menyerang lebih dahulu. Kedua belah pihak bertempur hebat hingga Khuza’ah dan Bani Bakr kalah dan meminta damai.
Ya’mur bin Auf dari Bani Bakr menjadi hakim dan memutuskan bahwa Qushay berhak atas Ka’bah serta Kota Makkah. Keputusan itu menyatakan bahwa darah yang ditumpahkan oleh Qushay diabaikan tanpa ganti rugi, sementara Khuza’ah dan Bani Bakr harus membayar tebusan.
Qushay pun memiliki kekuasaan penuh atas Ka’bah. Karena peranannya, Ya’mur dijuluki Asy-Syaddakh (Sang Pemecah Masalah).
Kekuasaan ini berlangsung sejak tahun 440 M.
Baca: Sejarah Riwaq, Bangunan Indah Pelindung Ka’bah
Di bawah kendali Qushay
Qushay kemudian mengatur pemukiman Quraisy, memindahkan mereka ke Makkah, dan membagi lahan menjadi empat bidang, menempatkan setiap suku di lahan tersebut, serta menetapkan jabatan tradisional kepada pemegangnya, seperti Suku Nasa’ah, Ali Shafwan, Udwan, dan Murrah bin Auf.
Peninggalan utama Qushay adalah Darun Nadwah di samping utara Masjidil Haram, sebagai tempat berkumpul, merundingkan urusan penting, dan mengatur pernikahan anak perempuan mereka. Darun Nadwah mengokohkan posisi Quraisy sebagai pemimpin karena menjamin kesepakatan dan penyelesaian sengketa secara damai.
Kepemimpinan Qushay memiliki ciri khas dengan mengepalai Darun Nadwah sebagai tempat perundingan strategis. Qushai juga memegang panji perang dengan ketentuan hanya bisa diserahkan kepada Qushay atau diwariskan kepasa anak-anaknya. Mereka juga memegang qiyadah, yakni izin perjalanan bagi kafilah Makkah.
Kemudian, mereka juga bertanggung jawab atas hijabah, yaitu pengelolaan kunci Ka’bah. Siqayah, wewenang penyediaan air minum bagi jamaah haji. Serta rifadah, penyediaan makanan bagi jamaah haji, dibiayai pajak yang dikumpulkan dari Quraisy setiap musim haji.
Semua wewenang ini dipegang oleh Qushay hingga wafatnya, kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, termasuk Abdu Manaf dan Abdud Dar.
Ketika Abdu Manaf wafat, anak-anaknya bersaing dengan keturunan Abdud Dar hingga hampir memicu perang saudara. Namun, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa siqayah dan rifadah dipegang oleh keturunan Abdu Manaf, sedangkan Darun Nadwah, panji, dan hijabah oleh keturunan Abdud Dar.
Hasyim bin Abdu Manaf kemudian memegang siqayah dan rifadah, dilanjutkan oleh Al-Muththalib, lalu Abdul Muththalib, kakek Rasulullah, hingga datangnya Islam.
Selain itu, Suku Quraisy juga membagi berbagai wewenang lainnya yang membentuk semacam pemerintahan semi-demokrasi. Di antaranya, Al-Isar atau urusan sumpah, diserahkan kepada Suku Jumah. Tahjirul Amwal atau pengaturan nazar dan kurban, kepada Bani Sahm. Syura atau majelis musyawarah kepada Bani Asad. Serta Al-Asynaq atau peraturan denda, kepada Bani Taim.