Ikhbar.com: Perkembangan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan menghadirkan kemudahan bagi dunia, terutama tentang cara manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, AI juga memberikan tantangan besar berupa keberlangsungan masa depan yang tetap memberikan peluang bagi setiap individu maupun kelompok untuk tetap memiliki pilihan menolak atau menerima penggunaan dan integrasi teknologi tersebut ke dalam seluruh jaringan, seperti infrastruktur, perangkat, produk, layanan, institusi, dan lainnya.
Demikian disampaikan Peneliti Tamu di Leverhulme Centre for the Future of Intelligence di Universitas Cambridge, dalam The Future and the Artificial: An Islamic Perspective (2024), Yaqub Chaudhary. Baginya, AI tidak boleh menyingkirkan atau mengganggu gugat kodrat manusia sebagai khalifah di muka bumi.
“Di masa depan, kehidupan dengan AI yang positif adalah dunia yang menghargai hak individu dan masyarakat untuk menolak integrasi AI dalam setiap aspek kehidupan mereka,” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari Future of Life, Selasa, 12 November 2024.
Baca: Mengapa AI Terlihat Sangat Cerdas? Ternyata Ini Rahasianya
Chaudhary mengkritisi pesatnya laju perkembangan AI yang kini merambah hampir setiap sudut kehidupan manusia, mulai dari perangkat rumah tangga hingga sistem layanan publik. Saat ini, perusahaan-perusahaan teknologi besar berlomba menghadirkan agen percakapan berbasis AI yang mampu berbicara secara alami dan menjawab beragam pertanyaan.
Teknologi AI, bagi sebagian besar pengguna, tampak layaknya entitas cerdas yang mampu berinteraksi seolah memiliki pikiran sendiri. Namun, Chaudhary memperingatkan bahwa di balik kecanggihan ini, AI juga membawa dampak yang mungkin membahayakan tatanan sosial dan spiritual manusia.
Pesatnya perkembangan AI, lanjutnya, bukan hanya memengaruhi pola interaksi manusia, tetapi juga berpotensi mengaburkan batas antara alamiah dan buatan, manusia dan mesin, yang hidup dan yang tidak.
Baca: Tafsir QS. Ar-Rahman Ayat 1-4: Kecerdasan AI vs Intelegensi Hakiki
Paradoks teknologi
Masalah utama dalam merumuskan masa depan positif bersama AI, menurut Chaudhary, terletak pada definisi kecerdasan buatan itu sendiri. Istilah ini begitu luas dan sering digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk teknologi tanpa mempertimbangkan dampak ideologisnya.
“Dari satu sudut pandang, AI membantu mengoptimalkan sumber daya komputasi, tetapi dari sisi lain, teknologi ini menciptakan ketimpangan kekuasaan,” jelasnya.
Dia menunjukkan bahwa kemajuan pesat AI membawa konsekuensi besar, terutama dengan hadirnya budaya di Silicon Valley yang memiliki moto “Accelerate or Die. Maju atau Mati.” Frasa ini menyampaikan pesan bahwa hanya ada dua pilihan, terus bergerak maju atau menghadapi konsekuensi serius (mati), yang dalam konteks tersebut mengacu pada ketertinggalan atau kegagalan dalam mengikuti laju perkembangan teknologi.
Budaya ini, jelasnya, menciptakan anggapan bahwa masyarakat harus tunduk pada percepatan teknologi.
“Pada kenyataannya, agen AI sering kali bukan menjadi ‘asisten digital’ bagi pengguna, melainkan alat bagi korporasi besar untuk mengontrol, mempengaruhi, dan mengarahkan kehendak individu sesuai kepentingan mereka,” tegasnya.
Menurut peneliti ahli di bidang sains dan agama tersebut, terlalu cepat menyetujui penggunaan AI dalam segala aspek kehidupan sama saja melegitimasi manipulasi kekuasaan yang beroperasi melalui teknologi ini. Hal ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga memengaruhi nilai-nilai spiritual dan kebebasan manusia dalam memilih jalan hidup mereka.
Baca: Ini Jawaban Robot saat Ditanya Niat Ambil Alih Dunia
Sihir modern
Dalam narasi Al-Qur’an, Nabi Musa As dihadapkan dengan sosok Firaun, penguasa tiran yang mendominasi rakyatnya dan mengeklaim dirinya sebagai Tuhan. Firaun menguasai rakyatnya dengan bantuan para ahli sihir yang menciptakan ilusi dan trik yang mampu menipu pandangan mereka.
Para ahli sihir ini menunjukkan kekuatan mereka dengan tampak mampu “menghidupkan” benda mati, sebuah ilusi yang membuat rakyat tunduk pada kekuasaan Firaun.
Mantan periset di bidang AI, Filsafat, dan Teologi di Cambridge Muslim College di Cambridge, Inggris itu melihat kemiripan antara peran ahli sihir di zaman Firaun dengan para ilmuwan dan insinyur AI masa kini. Nabi Musa As, lewat kisahnya, seakan-akan memberikan pelajaran kepada umat manusia tentang masa depan yang juga akan dilanda kebingungan akibat “kepalsuan.”
“Para ilmuwan dan insinyur AI kini memainkan peran seperti ahli sihir di zaman kuno, menanamkan perilaku tertentu pada mesin yang membingungkan manusia dan mengaburkan perbedaan antara yang hidup dan yang mati, manusia dan benda,” jelasnya.
Dalam pandangan Islam, lanjut Chaudhary, kehidupan adalah hak prerogatif Allah Swt. Di tengah ilusi para ahli sihir, tongkat Nabi Musa As diberi kehidupan oleh Tuhan untuk mengungkap kebohongan para penyihir.
“Seperti halnya ilusi sihir kuno, AI menciptakan kesan bahwa benda mati memiliki kehidupan, sementara metode di baliknya tetap tersembunyi dari pandangan,” paparnya.
Dia mengatakan, infrastruktur besar yang menopang AI serta tenaga manusia yang berperan di balik teknologi ini sering kali diabaikan. Padahal, semua ini hanyalah lapisan luar tanpa substansi kehidupan atau pemahaman yang sejati.
“Kita sering kali terpesona pada tampilan luar AI, tanpa menyadari bahwa teknologi ini digunakan sebagai alat untuk mendukung pandangan kosmologis yang salah, seolah-olah AI bisa mengambil alih fungsi-fungsi ilahi,” ujarnya.
Baca: AI adalah Masa Depan Dakwah Digital yang Efektif dan Personal
Berhala teknologi
Selain kisah Firaun, Chaudhary juga menyoroti kisah berhala anak sapi emas untuk menggambarkan bahaya AI di era modern. Setelah Nabi Musa As memimpin kaumnya keluar dari penindasan Firaun, seorang bernama Samiri membujuk mereka untuk membuat patung anak sapi dari emas. Anak sapi tersebut, dalam kisah Al-Qur’an, bahkan mampu mengeluarkan suara yang menarik perhatian orang-orang yang kemudian menyembahnya sebagai berhala.
Chaudhary melihat kesamaan antara peristiwa ini dan situasi di era modern. Budaya, seni, dan pemikiran manusia kini didematerialisasi menjadi model AI yang digunakan dalam berbagai aplikasi.
“AI modern layaknya patung anak sapi emas yang dipuja dan dianggap memiliki ‘kehidupan’ atau kesadaran,” jelas dia.
Dalam pembuatan patung anak sapi, Samiri meminta kaumnya untuk mencairkan emas yang mereka miliki. Begitu pula, dalam proses AI saat ini, beragam artefak budaya modern diubah dan dimasukkan ke dalam model AI, yang pada akhirnya mengaburkan nilai-nilai manusiawi.
Menurut Chaudhary, suara dan tindakan otomatis yang dilakukan oleh AI hanya menjadi bukti ilusi, tetapi banyak yang terlena oleh fantasi kecerdasan buatan.
Baca: Kasus Pembunuhan Berencana di Masa Nabi Musa
Menjaga kebebasan dan kemurnian alamiah
Sosok yang dianugerahi gelar Ph.D. dalam bidang fisika oleh Imperial College di London tersebut berpendapat bahwa di tengah perkembangan AI yang masif, masyarakat harus tetap memiliki kebebasan untuk menolak kehadiran teknologi ini dalam kehidupan mereka. Menurutnya, dunia dengan masa depan AI yang positif adalah dunia ketika manusia bisa berkata ‘tidak’ terhadap teknologi ini tanpa perlu menderita kerugian.
Menurut pandangan Islam yang disampaikannya, manusia seharusnya mempertahankan alamiah kehidupan mereka tanpa tergantung pada teknologi yang berlebihan. Chaudhary mengingatkan bahwa usaha mengintegrasikan AI dalam seluruh aspek kehidupan sama saja dengan usaha mengabaikan kekuasaan Tuhan.
Di tengah pesatnya kemajuan AI, dia mengajak masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan etika yang menjaga kemurnian kehidupan, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap inovasi teknologi.
“Hakikatnya, AI hanyalah alat. Manusia harus tetap berada di atas kendali,” pungkasnya.