Ikhbar.com: Sebagian besar umat Islam tentu familier dengan istilah sirah nabawiyah. Sebutan itu biasanya menyasar pada kitab atau buku-buku yang memuat kisah perjalanan hidup Rasulullah Muhammad Saw.
Mudir Aam Ikhbar Foundation, KH Sobih Adnan menjelaskan, literatur-literatur itu nyaris pasti dikenal, dikaji, dan dijadikan bagian dari kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam, terutama pondok pesantren di Indonesia.
“Sebab, sirah nabawiyah merupakan salah satu bacaan pokok agar kaum Muslimin bisa mengenal lebih dekat dengan sosok Rasulullah Saw dari mulai lahir, perjalanan pra-kenabian, masa perjuangan atau kenabian, hingga wafat,” katanya, Ahad, 24 September 2023.
Baca: Pentingnya Belajar Sejarah Menurut Ibnu Khaldun hingga Arkoun
Sirah dan sejarah
Direktur Pendidikan Formal dan Media di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon itu menegaskan, sirah tidak melulu memiliki pengertian yang serupa dengan sejarah. Menurutnya, sejarah bersifat lebih umum.
“Sirah berasal dari kata ‘saraha‘ berarti perjalanan hidup. Sedangkan sejarah berasal dari kata ‘syajaratun‘ bermakna pohon,” katanya.
“Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, arti as-sirah menurut bahasa adalah kebiasaan, jalan, cara, dan tingkah laku. Sedangkan secara istilah bermakna perincian tentang hidup seseorang, dalam hal ini Nabi Muhammad Saw,” tambahnya.
Menurutnya, penulisan sirah nabawiyah terus mengalami perkembangan sesuai dengan kontribusi ulama di masanya. Dari segi kemasan, sebagian sirah nabawiyah lazim ditulis terpisah dalam karya-karya khusus.
“Misalnya, kitab Dala’il An-Nubuwwah karya Al-Ashbani, Asy-Syama’il al-Muhammadiyah karya Imam At-Tirmidzi, Zad al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Asy-Syifa karangan Al-Qadhi Iyadh, serta Al-Mawahib al-Laduniyyah karya Al-Qasthalani,” paparnya.
Di antara rujukan yang paling terkenal adalah Al-Sirah al-Nabawiyyah karya Imam Muhammad bin Ishaq bin Yasar (Ibnu Ishaq), Al ‘Ibru wa al Ahkam min Shirah Sayyid al Anam (Sirah Ibnu Hisyam), karya Imam Abu Muhammad ‘Abdul-Malik bin Hisyam, Nur al-Yaqin fi Sirah Sayyid Al-Mursalin karya Syekh Muhammad Al-Khudari, serta Ar-Rahiq al-Makhtum karya Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri.
“Para ulama senantiasa menyusun sirah nabawiyah degan gaya cerita yang dapat diterima masyarakat di zamannya masing-masing,” ungkapnya.
Baca: Puisi Berhadiah Jubah Nabi
Sirah kontemporer
Judul yang disebut terakhir, yakni Ar-Rahiq al-Makhtum, menurut alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon tersebut, merupakan rujukan paling kontemporer dan berbeda ketimbang gaya penulisan sirah nabawiyah lainnya.
“Kitab ini pertama kali dibukukan pada 1976 guna diikutkan yang kemudian memenangkan sayembara Islamic Conference on Seerah atau kompetisi terbuka penulisan sirah nabawiyah yang digelar Liga Muslim Dunia pada 1979,” katanya.
“Buku ini mampu menceritakan dengan gamblang berbagai fase kehidupan Nabi Saw, lengkap dengan rujukan-rujukan autentik yang menjadikannya lebih tepercaya dan tidak terlalu kontroversial,” sambung dia.
Ar-Rahiq al-Makhtum juga memiliki keunggulan berupa penyajian yang dinilai lebih kontekstual. Secara per bab, pembahasan tidak langsung dimulai dengan kelahiran Rasulullah Saw, tetapi justru diawali dengan pemetaan letak geografis dan kondisi sosial penduduk, gambaran politik dan agama, hingga zonasi kekuasaan masyarakat Arab masa pra-Islam.
Atas dasar itulah, menurutnya, kitab yang telah mengalahkan 170 naskah lain dalam kompetisi itu patut dibedah secara serial di ikhbar.com.
“Memasuki tahun kedua ikhbar.com, kami akan membedahnya secara bertahap melalui rubrik ‘Sirah Nabawiyah: Ar Rahiq al Makhtum,” pungkasnya.