Ikhbar.com: Para ulama bersepakat titik bangunan ka’bah sudah ditentukan sejak masa Nabi Adam As. Namun, pada masa Nabi Ibrahim As dan putranya, Ismail As, barulah pemugaran paling bersejarah dimulai.
Lantas, bagaimana kisah kedua utusan Allah Swt yang semula tinggal di Syam dan Palestina itu bisa menemukan titik ka’bah di Kota Mekkah, Arab Saudi?
Ular angin dan Jibril
Ada banyak versi menarik mengenai hal ini. Salah satunya, seperti yang dituturkan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid atau masyhur dengan nama Imam Ath-Thabari dalam kitabnya, Tarikh al Umam wa al Muluk. Dengan mengutip jawaban Ali bin Abi Thalib ketika ditanya seseorang ihwal serupa, ia menjawab:
“Allah swt mengirimkan as Sakinah (ketenangan), berupa angin yang memiliki dua penjuru. Satu penjuru mengikuti yang lain. Keduanya terus bergerak hingga ke Mekkah dan berputar-putar di lokasi ka’bah, mirip ular yang sedang melingkar,” tulis Ath-Thabari.
Masih dalam kitab yang sama, Ath-Thabari juga menyuguhkan versi lainnya. Yakni, sebuah kisah yang menceritakan bahwa perjalanan Nabi Ibrahim yang menempuh jarak sekurangnya 1.500 kilometer itu dipandu Malaikat Jibril as.
Baca: Apakah Menghajikan Istri Termasuk Kewajiban Suami?
Ath-Thabari menjelaskan, setelah Allah Swt menampakkan lokasi Baitullah dan tanda-tanda Tanah Haram kepada Ibrahim, ayahanda Ismail itu langsung berangkat ditemani Malaikat Jibril. Hingga setiap memasuki sebuah desa, Nabi Ibrahim selalu bertanya;
“Di tanah inikah engkau diperintah untuk memberitahuku, wahai Jibril?”
“Teruslah berjalan,” jawab Jibril.
Tanah merah
Sesampainya di Mekkah yang kala itu masih berupa tanah tandus dan belum berpenguni, Nabi Ibrahim melihat gundukan tanah berwarna merah. Dia pun menanyakannya kembali, “Apakah aku diperintahkan untuk membangun ka’bah di sini, ya Jibril?”
“Ya, benar,” jawab Jibril.
Setelah itu, Nabi Ibrahim dan Ismail dengan penuh semangat memenuhi perintah Allah swt membangun ka’bah. Ibn Fadhilah al Umari dalam Masalik al Abshar fi Mamalik al Amshar mengatakan, untuk membangun fondasinya, mereka memboyong bebatuan dari Gua Hira. Sementara bahan-bahan lainnya diambil dari lima gunung, yakni Hira, Lubnan, al Judi, Thursina, dan Thurzetta.