Ikhbar.com: Wilayah Syam, yang mencakup kawasan strategis di Timur Tengah, selalu menjadi pusat perhatian kekuatan besar dunia. Di masa lalu, Syam adalah medan pertempuran kekuasaan antara Kekaisaran Romawi dan Persia. Namun, di balik kisah dominasi dua raksasa dunia itu, ada peran penting bangsa Arab yang mendiami Syam selama berabad-abad.
Syam yang terkadang disebut sebagai Suriah Raya, Suriah-Palestina, atau Levant adalah sebuah daerah yang terletak di timur Laut Mediterania, sebelah barat Sungai Efrat, utara Gurun Arab, dan selatan Pegunungan Taurus.
Sebagaimana dirangkum dari Ar-Rahiq al-Makhtum karya Syekh Shafiurrahman Al-Mubarakfuri, dikisahkan bahwa kekuasaan Arab di Syam berawal dari migrasi besar-besaran beberapa kabilah dari suku Qudha’ah. Di antara kabilah ini, terdapat Bani Sulaih bin Hulwan, nenek moyang dari Bani Dhaj’am.
Kabilah tersebut kemudian dikenal sebagai Adh-Dhaja’imah, salah satu kekuatan suku Arab yang memainkan peran penting dalam percaturan kekuasaan di Syam, terutama di bawah pengaruh Kekaisaran Romawi.
Baca: Mengenal Ar-Rahiq al-Makhtum, Rujukan Kisah Perjalanan Hidup Nabi Agung
Adh-Dhaja’imah sebagai sekutu Romawi
Kekaisaran Romawi yang dominan di Syam melihat potensi Bangsa Arab sebagai sekutu dan penghalang ancaman dari bangsa Persia. Untuk itu, Romawi menjadikan Adh-Dhaja’imah sebagai perpanjangan tangan mereka di wilayah ini.
Kabilah itu diangkat menjadi raja-raja boneka Romawi, yang tugas utamanya adalah menghalangi invasi bangsa Arab dari daratan dan mendukung upaya militer Romawi di medan perang.
Kala itu, kekuasaan Adh-Dhaja’imah mencapai puncaknya. Ziyad bin Al-Hubulah, salah satu pemimpin paling terkenal dari suku tersebut, memegang kendali penuh atas wilayah yang mereka kuasai. Mereka memerintah Syam dengan kepatuhan penuh kepada Romawi, menjaga stabilitas dan membantu melawan Persia yang terus mengancam dari timur.
Akan tetapi, meskipun tampak kokoh di permukaan, kekuasaan Adh-Dhaja’imah sebenarnya sangat bergantung pada kekuatan Romawi. Ketika hegemoni Romawi mulai goyah, kekuasaan suku ini juga mulai menurun. Ketergantungan mereka pada Romawi menjadikan mereka rentan terhadap perubahan politik dan militer yang terjadi di wilayah tersebut.
Baca: Menelusuri Sejarah Hirah, Kerajaan Pertama di Tanah Arab
Kebangkitan Suku Ghassan
Pada akhir abad kedua Masehi, perubahan besar terjadi di Syam. Kekuasaan Adh-Dhaja’imah mulai digoyang oleh Ali Ghassan, sebuah suku Arab lainnya yang juga bermigrasi ke wilayah tersebut. Suku ini tidak hanya berhasil mengalahkan Adh-Dhaja’imah, tetapi juga merebut seluruh wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh mereka.
Kemenangan Ali Ghassan atas Adh-Dhaja’imah bukan sekadar perebutan kekuasaan. Hal itu juga menandai perubahan besar dalam lanskap politik Syam. Kekaisaran Romawi, yang membutuhkan sekutu baru, segera mengangkat Suku Ghassan sebagai penguasa baru di Syam. Mereka diberi wewenang untuk memerintah kawasan tersebut atas nama Romawi.
Suku Ghassan memusatkan kekuasaan mereka di Kota Hauran. Di sana, mereka menjadi salah satu kekuatan Arab yang paling berpengaruh di Syam. Selama bertahun-tahun, mereka menjalankan peran yang mirip dengan Adh-Dhaja’imah, yakni sebagai raja-raja boneka Romawi. Namun, tidak seperti pendahulu mereka, Suku Ghassan lebih terampil dalam menavigasi dinamika politik dan militer Romawi. Mereka berhasil mempertahankan kekuasaan mereka hingga awal abad ketujuh.
Namun, seperti yang dialami oleh pendahulu mereka, ketergantungan pada kekuatan asing membuat posisi suku Ghassan rentan terhadap perubahan geopolitik. Ketika dunia Islam mulai bangkit di bawah panji-panji Rasulullah SAW, kekuatan Ghassan mulai terancam. Kekaisaran Romawi yang semakin lemah tak lagi mampu mempertahankan pengaruh mereka di Syam.
Baca: Peta Geografis dan Kesukuan Bangsa Arab
Perang Yarmuk mengakhiri dominasi Romawi
Titik balik besar dalam sejarah Syam terjadi pada tahun 13 Hijriah (634 Masehi), saat pecahnya Perang Yarmuk. Perang ini menjadi penanda berakhirnya dominasi Romawi di Syam.
Di bawah komando Khalid bin Walid, pasukan Muslim berhasil menaklukkan tentara Romawi dalam salah satu pertempuran paling menentukan dalam sejarah.
Kemenangan Muslim dalam Perang Yarmuk mengakhiri kekuasaan Romawi yang telah berlangsung berabad-abad di Syam. Lebih dari sekadar kemenangan militer, Perang Yarmuk juga membawa dampak politik yang luar biasa.
Setelah kekalahan Romawi, Suku Ghassan, yang telah lama menjadi sekutu mereka, mulai goyah. Raja terakhir mereka, Jabalah bin Al-Ayham, yang sebelumnya memerintah dengan dukungan Romawi, akhirnya memilih untuk memeluk Islam.
Masuk Islamnya Jabalah bin Al-Ayham pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab tersebut menjadi simbol transformasi kekuasaan yang terjadi di Syam.
Sebelumnya, suku-suku Arab di Syam bergantung pada kekuatan luar untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Setelah Perang Yarmuk, mereka mulai menyadari bahwa kekuatan baru telah lahir—kekuatan Islam yang tidak hanya membawa perubahan politik, tetapi juga perubahan dalam cara hidup dan keyakinan.
Dengan tunduknya Jabalah dan suku Ghassan kepada kekhalifahan Islam, berakhirlah era raja-raja boneka Romawi di Syam. Syam pun menjadi bagian dari wilayah kekhalifahan yang diperintah dengan prinsip-prinsip keadilan dan persatuan Islam.