Ikhbar.com: Ajaran Islam sudah sejak jauh hari menyadari akan adanya kodrat keberagaman umat manusia. Salah satunya dari sisi penggunaan bahasa. Oleh karenanya, Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak menutup diri. Kalam-kalam agung itu memiliki riwayat pewahyuan hingga penulisan tersendiri yang selalu menarik untuk dipelajari dan diteliti.
Demikian disampaikan Dewan Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, KH Ahmad Zaini Dahlan, saat memberikan tausiah dalam acara Khatmi Al-Qur’an dan Juz ‘Amma di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, pada Jumat, 28 Juni 2024 lalu.
“Dan Nabi Muhammad Saw diberi amanat oleh Allah Swt untuk mengajarkan umatnya agar bisa membaca sekaligus memahami Al-Qur’an dengan baik, termasuk dengan menimbang peluang perbedaan dialek yang mereka miliki,” kata Kiai Ahmad.
Baca: 5 Keuntungan Mondok di Pesantren Ketitang Cirebon
Makna membaca Al-Qur’an
Kiai Ahmad menjelaskan, misi kenabian itu terdapat dalam QS. Al-Jumu’ah: 2. Allah Swt berfirman:
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ
“Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Menurut Kiai Ahmad, misi Nabi Saw itu tersirat dalam kalimat “yatlu alaihim aayaatihi.” Kata “yatlu,” lanjut Kiai Ahmad, merupakan sinonim dari lafaz “yaqra’u,” sama-sama bermakna “membaca.”
“Bedanya, ‘yatlu‘ merupakan fi’il mudhari dari kata ‘tala.’ Maknanya ‘membaca’ dalam artian yang sebenarnya. Yakni membaca dengan objek sebuah tulisan,” ungkap Kiai Ahmad.
Sedangkan kata “yaqra’u” yang berasal dari “qara’a-yaqra’u-qira’atan” itu mencakup makna yang lebih luas dan tidak hanya berfokus pada objek bacaan tulisan.
“Kalau ‘qara’a‘ maknanya tidak spesifik, bisa membaca buku, membaca fenomena alam, membaca karakter seseorang, dan seterusnya,” jelas dia.
Oleh karena itu, lanjut sosok yang juga menjabat Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Cirebon tersebut, kata yang dipakai pada wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw itu memakai kata “iqra” karena tidak hanya berfokus pada kegiatan membaca tulisan.
“Sebab, turun kepada Nabi Muhammad yang memang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Makanya, saat Jibril mengucapkan ‘iqra! (bacalah!),’ Nabi Saw menjawab, ‘ma ana biqari? (apa yang harus saya baca? Atau ‘saya tidak dapat membaca). Namun, Malaikat Jibril As bersikeras karena memang yang dimaksud bukan membaca objek tulisan, tapi mencakup segala fenomena keumatan,” katanya.
Menurut Kiai Ahmad, “iqra” berbeda dengan kata “tala” yang memang memiliki makna membaca secara khusus terhadap sebuah tulisan. Kata itu berpengertian membaca sebuah redaksi secara saksama dari huruf per huruf, kata per kata, hingga kalimat per kalimat.
“Inilah yang kemudian dipraktikkan juga oleh banyak ulama dan pesantren saat mengajari santri mereka membaca Al-Qur’an,” katanya.
Sedangkan untuk bisa membaca Al-Qur’an dengan benar, kata Kiai Ahmad, dibutuhkan kecakapan atas banyak bidang keilmuan dari mulai ilmu tajwid hingga pemahaman terhadap tata bahasa Arab melalui pembelajaran ilmu nahu dan sharaf, terlebih terhadap adanya perbedaan gaya bahasa dan bacaan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Nabi Mumammad Saw bersabda:
إِنَّ هَذَا القُرْانَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf. Maka bacalah dengan yang mudah (bagimu) di antaranya.” (HR. Bukhari).
“Pada mulanya, Al-Qur’an diturunkan hanya dalam satu jenis bacaan. Namun, kemudian Nabi menyadari adanya fakta keberagaman di masyarakat, termasuk perbedaan lahjah (dialek). Hingga Rasulullah pun berdoa agar Al-Qur’an diturunkan tidak hanya dalam satu ragam bacaan,” katanya.
Baca: Ini Keunggulan Belajar Membaca Al-Qur’an di Pesantren Kempek
Al-Qur’an di masa Nabi
Menurut Kiai Ahmad, banyak ulama yang mengatakan jumlah keragaman cara bahasa yang diminta itu kemudian dikabulkan oleh Allah Swt melalui kehadiran tujuh jenis bacaan Al-Qur’an di dunia.
“Nabi Saw mengajarkan ketujuh bacaan tersebut kepada para sahabatnya. Para sahabat kemudian merawat Al-Qur’an dengan dua cara, yakni menghafalkannya dan sebagian lain mulai menerapkan metode tulis-menulis di media berupa dedaunan, kayu, serta di tulang-belulang maupun kulit binatang,” ungkap Kiai Ahmad.
Setelah Nabi Saw wafat, posisi kepemimpinan Islan dipegang oleh Abu Bakar As-Shidiq. Di masa itu, kemudian terjadi Perang Yamamah yang menghadap-hadapkan pasukan Muslim melawan kelompok murtadin (orang-orang murtad).
“Pertempuran itu dipimpin Khalid bin Walid. Hasilnya, memang menang, tapi memakan korban lebih dari 1.200 sahabat. Celakanya, sebagian besar dari mereka adalah para penghafal Al-Qur’an. Termasuk seorang sahabat yang selalu direkom Rasulullah sebagai tempat para sahabat untuk membaca Al-Qur’an, yakni Salim Maula Abu Khuzaifah,” katanya.
Baca: Khalifah Abu Bakar As-Shidiq Tolak Dinasti Politik
Era Khulafaur Rasyidin
Peristiwa itu memunculkan kekhawatiran akan adanya kepunahan Al-Qur’an. Sahabat senior Rasulullah Saw, Umar bin Khattab kemudian mengajukan usul kepada Khalifah Abu Bakar. Katanya, “Bagaimana jika Al-Qur’an mulai dipelihara dengan cara penulisan karena dikhawatirkan jumlah sahabat penghafal Al-Qur’an semakin sedikit?”
“Tetapi khalifah Abu Bakar tidak membolehkan. Abu Bakar mengaku tidak berani untuk melakukan apa-apa yang tidak dilakukan atau diperintahkan Nabi Saw. Namun, berkat kegigihan Umar, Abu Bakar pun luluh mengiyakan hingga memanggil sekretaris Nabi Saw, Zaid bin Tsabit untuk memulai proyek penulisan Al-Qur’an,” ungkapnya.
Sahabat Zaid mulai melaksanakan perintah itu dengan mengumpulkan para sahabat penghafal Al-Qur’an kemudian mencatatnya dalam lembar khusus. Dia juga mengumpulkan koleksi catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang disimpan oleh para sahabat lainnya.
“Hasil dari penulisan itu disimpan hingga diserahkan kepada Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Setelah Khalifah Umar wafat, naskah itu diserahkan ke Khafsah Ummul Mukminin,” kata Kiai Ahmad.
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, wilayah Islam kian meluas. Hingga kemudian hadir sebuah cerita bahwa ada seorang sahabat yang baru pulang dari peperangan di Asia Kecil, Azerbaijan, menghadap khalifah dan menangis.
“Wahai Khalifah Utsman, tolonglah agama kita! Jangan sampai terjadi pada agama Islam seperti apa yang terjadi pada Nasrani dan Yahudi. Umatnya berselisih mengenai kitab sucinya. Saya mendapati Al-Qur’an di berbagai daerah dengan lahjah dan cara pembacaan yang berbeda. Satukan semuanya!” ucap Kiai Ahmad, mengisahkan.
Khalifah Utsman pun langsung menanggapi usulan tersebut dengan menarik Al-Qur’an dari semua daerah. Setelah itu, dibentuk tim khusus untuk menyeleksi, hingga yang dianggap tidak memenuhi syarat agar segera dimusnahkan dengan cara dibakar.
“Dari proses seleksi itu, tersisa hanya tujuh jenis bacaan. Yang kemudian segera ditulis ulang dengan komparasi naskah yang sebelumnya disimpan Sayyidah Hafsah. Setelah rampung, kemudian hasilnya dikenal dengan Mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini. Mushaf itu lalu disebar kembali ke berbagai daerah,” kisah Kiai Ahmad.
Baca: Mengenal Al-Qur’an Maghribi, Mushaf Maroko yang Sempat bikin Heboh
Pengembangan di tangan tabi’in
Namun, lanjut Kiai Ahmad, masalah itu ternyata belum selesai. Karena di masa itu penulisan Al-Qur’an menggunakan khat kufi, tanpa penanda titik, apalagi harakat. Sehingga masih susah dibaca oleh orang-orang di luar Arab.
“Oleh karena itu, para ulama mencari solusi. Seorang ulama bernama Abul Aswad Ad-Duali (wafat 69 H) kemudian menjadi orang pertama yang mengharakati Al-Qur’an. Tapi jangan dibayangkan seperti harakat yang dijumpai sekarang. Karena hanya berbentuk titik,” katanya.
“Penemuan itu kemudian dikembangkan oleh dua ulama ahli qiraah, Yahya bin Ya’mar al-Bashri (wafat 89 H) dan Nashir bin ‘Ashim al-Laitsi (wafat 90 H). Beliau berdualah yang pertama kali menciptakan tanda untuk membedakan huruf ‘ba,’ ‘ta,’ ‘tsa’ dan sejenisnya dengan titik. Tetapi kemudian lebih berbentuk garis karena menyesuaika jumlah titik, misal satu titik, dua titik berbentuk garis agak panjang, dan tiga titik dengan garis panjang,” jelas Kiai Ahmad.
Setelah itu, seorang ulama ahli qiraah sekaligus ahli ilmu nahu, Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (wafat 173 H), menyempurnakan tanda-tanda bacaan tersebut dengan membalik fungsi penanda garis untuk harakat dan titik untuk huruf.
“Jadi, Al-Qur’an terus berkembang dari sisi cara penulisan dan pembacaannya. Dari tujuh ragam Al-Quran itu kemudian lahirlah istilah qiraat sab’ah,” katanya.