Assalamualaikum. Wr. Wb.
Salam hormat Ning Uswah dan Tim Redaksi Ikhbar.com. Perkenalkan, nama saya Fitri, dari Jakarta.
Sebagai calon pemilih, saya merasa isu perlindungan terhadap perempuan, seperti pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dan kesetaraan hak dalam akses pendidikan dan pekerjaan, menjadi sangat penting dalam menentukan pilihan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Namun, saya kesulitan memahami bagaimana Islam memandu kita sebagai pemilih dalam mengevaluasi komitmen calon pemimpin terhadap isu-isu tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana cara memastikan bahwa calon yang dipilih memiliki visi yang selaras dengan ajaran Islam, terutama terkait keadilan dan perlindungan terhadap perempuan? Adakah indikator tertentu yang perlu diperhatikan?
Syukran atas jawabannya.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: 5 Kaidah Fikih Pedoman di Masa Kampanye Pilkada
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Memasuki masa-masa akhir Pilkada Serentak 2024, penting untuk tetap antusias sekaligus memahami dan waspada terhadap visi dan misi pasangan calon yang telah disampaikan melalui kampanye maupun debat publik. Sebagai konstituen, setiap individu tentu mendambakan terpilihnya sosok yang bertanggung jawab. Pilkada diharapkan menghasilkan pemimpin yang tidak hanya mampu menjalankan tugasnya dengan baik di dunia, tetapi juga mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di akhirat kelak.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari).
Sebagai perempuan, maraknya kasus KDRT dan femisida (pembunuhan terhadap perempuan yang didasarkan pada kebencian gender) sering kali menimbulkan sikap skeptis terhadap pemerintahan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah para calon pemimpin nanti mampu menekan angka KDRT hingga menghapuskan praktik ini secara menyeluruh? Permasalahan KDRT dan femisida tidak hanya mencerminkan gangguan psikis dalam lingkup keluarga, tetapi juga merupakan persoalan universal yang melukai nilai-nilai kemanusiaan. Selain budaya patriarki dan kebencian terhadap tubuh perempuan sebagai faktor utama, masalah ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial yang signifikan.
Ada sebuah maqalah mengatakan, al-zhahir yadullu ‘ala al-batin (yang tampak di luar umumnya menunjukkan isi hati). Ibarat proses menjelang pernikahan, masa kampanye adalah masa ta’aruf (perkenalan) untuk memahami karakter, rekam jejak, dan sikap pasangan calon pemimpin.
Meskipun tidak selalu sikap seseorang mencerminkan keseluruhan yang ada dalam dirinya, masa kampanye setidaknya memberikan peluang untuk “mengintip” siapa dan bagaimana calon pemimpin tersebut. Apakah yang ditunjukkan sekadar pencitraan, ataukah kebaikan itu telah terekam sejak sebelum mereka maju dalam kontestasi pilkada?
Abu Al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi dalam Adabu ad-Dunya wa ad-Din memberikan panduan yang cukup spesifik dalam memilih pemimpin, yakni hendaklah memilih seseorang yang memiliki akhlakul karimah (akhlak yang mulia), sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Baca: 5 Panduan Al-Qur’an agar Kebal Godaan Politik Uang
Panduan ini diterapkan melalui enam hal berikut:
Pertama, Ad-Din Mutba’ (Agama yang dianut). Dalam artian, tingkat religiositas calon pemimpin yang diiukur bukan hanya dari bagaimana ibadah mereka yang terlihat di hadapan publik, melainkan dari kemampuan dalam mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan di dalam dirinya. Dalam Islam, seorang pemimpin dipilih dari kalangan Qadli (hakim) atau orang yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk berijtihad (menggunakan penalaran untuk memutuskan hukum).
Dengan pemahaman agama yang cukup, seseorang dapat memutuskan masalah yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Seorang pemimpin yang memahami bahwa KDRT serta pelecehan adalah dosa besar dalam agama dan norma masyarakat, pasti akan menindak tegas pelaku dan memberikan pendampingan kepada korban, karena agama mengajarkan untuk berwelas asih terhadap orang yang lemah dan yang telah dilemahkan.
Kedua, Sulthan Qahir (Pemimpin yang berdaulat). Yakni sosok yang sesuai dengan ketentuan dalam QS. An-Nisa’: 59. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”
Pemimpin bukanlah penguasa yang menggunakan kekuatan atau relasi kuasanya untuk memaksakan peraturan yang merugikan rakyat. Namun, bukan berarti pemimpin harus tampak lemah, melainkan harus memiliki kekuatan untuk memengaruhi rakyat sehingga muncul kharisma dan wibawa dalam memimpin untuk kemaslahatan bersama melalui musyawarah.
Pemimpin yang berdaulat mampu menyelesaikan berbagai masalah, mencegah kezaliman, dan menciptakan kemaslahatan, termasuk dalam masalah KDRT, pelecehan seksual, serta kesetaraan hak dalam akses pendidikan dan pekerjaan.
Rasulullah Saw bersabda:
السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ
“Pemerintah merupakan bayangan Allah di bumi. Barang siapa yang memuliakannya, maka Allah memuliakannya. Dan barang siapa yang menghinanya, maka Allah akan menghinanya.” (HR. Baihaqi).
Ketiga, ‘Adlun Yamil (Keadlian yang merata/menyeluruh). Pemimpin yang baik harus dapat menciptakan keadilan bagi masyarakat, menyatukan antarsesama, menyejahterakan, dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Apakah calon pemimpin yang hendak dipilih sudah menunjukkan sifat tersebut?
Allah Swt berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shaad: 26).
Keadilan seorang pemimpin harus tercermin dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan. Ucapan seksis atau merendahkan menunjukkan sikap tidak adil. Keadilan harus berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Juga berlaku dalam semua aspek, termasuk kesetaraan dalam pendidikan dan pekerjaan.
Tiga indikator keadilan adalah memberikan kemudahan, menghilangkan kesulitan, dan menghindari kesewenang-wenangan. Jika satu dari indikator ini tidak terpenuhi, maka calon dengan watak kepemimpinan yang serbabirokratis, berorientasi kekuasaan dan keuntungan pribadi, serta nihil kepedulian terhadap nasib perempuan, harus ditinggalkan.
Baca: Nihil Calon Perempuan, Ini Tips Memilih ala Ning Uswah
Keempat, Amnun (Memprioritaskan keamanan). Lebih tepatnya, pemimpin yang mengutamakan keamanan demi mendatangkan ketenteraman. Pemimpin yang berdaulat harus mendekatkan diri kepada masyarakat tanpa menciptakan sekat, agar masyarakat tidak merasa terintimidasi oleh pemerintahan yang seharusnya melayani rakyat.
Pemimpin harus dapat menjadikan daerahnya seperti Makkah, bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan seperti dalam firman Allah Swt.:
وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًاۗ
“Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia.” (QS. Ali ‘Imran: 97).
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan rasa aman bagi masyarakatnya melalui peraturan yang efektif dan adil, guna melindungi seluruh warga tanpa kecuali. Prinsip penjagaan keamanan ini bisa diukur melalui kulliyatul khams (lima prinsip) dalam maqashid syariah (tujuan diturunkannya syariat), ditambah satu prinsip tambahan yang menjadikannya sebagai acuan sempurna. Yakni, Hifdz ad-Din (menjaga agama) dengan menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agamanya tanpa tekanan. Hifdz an-Nafs (menjaga jiwa) dengan melindungi masyarakat dari segala bentuk ancaman kriminalitas, sehingga setiap orang merasa aman dalam menjalani kehidupannya. Hifdz an-Nasl (menjaga keturunan) atau mendorong kehidupan yang bermartabat dan beradab, serta melindungi masyarakat dari pelecehan dan kekerasan seksual yang merendahkan nilai kemanusiaan.
Kemudian Hifdz al-Mal (menjaga harta) dengan menjamin stabilitas ekonomi dengan melindungi hak milik dan menciptakan kesempatan ekonomi yang adil bagi semua. Hifdz al-Aql (menjaga akal) atau memastikan masyarakat memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas, melindungi mereka dari bahaya penyalahgunaan zat adiktif, serta mendorong pemikiran yang sehat dan konstruktif. Ditambah, Hifdz al-Biah (menjaga lingkungan), yakni menyeimbangkan kemajuan industri dengan pelestarian alam, menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman untuk semua lapisan masyarakat.
Dengan melindungi keenam prinsip ini, pemimpin tidak hanya menciptakan rasa aman, tetapi juga membangun masyarakat yang sejahtera, harmonis, dan berkelanjutan.
Kelima, Khasbun Daarun (Negeri yang subur). Seorang calon pemimpin tidak cukup hanya memiliki gelar pendidikan atau kecerdasan intelektual, melainkan juga harus memiliki kepekaan untuk membangun daerah yang dipimpinnya. Pemimpin ideal mampu menjaga dan mengembangkan peradaban yang sudah baik sekaligus menciptakan peradaban baru yang lebih maju dan berdaya saing.
Ia harus cermat dalam mengidentifikasi potensi daerahnya, baik dari segi sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan pemahaman itu, pemimpin dapat mendorong inovasi, kolaborasi, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kredibilitas calon pemimpin ini dapat dilihat melalui rekam jejak nyata dalam tindakan dan kebijakan yang telah diambil sebelumnya.
Baca: Zuhud Pemilu, Siap Menang Siap Kalah
Keenam, Amalun Faasih (Memiliki cita-cita yang luhur). Pemimpin yang baik adalah sosok yang mampu menciptakan suasana “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yakni sebuah wilayah yang dipenuhi dengan kebaikan alam sekaligus perilaku masyarakat yang bermoral. Pemimpin semacam ini tidak didorong oleh ambisi pribadi untuk memperkaya diri sendiri atau keluarganya.
Dengan memiliki cita-cita luhur dan visi yang jelas untuk kepentingan bersama, seorang pemimpin dapat mewujudkan kemakmuran dunia secara berkelanjutan, menciptakan kesejahteraan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Demikianlah enam prinsip sebagai panduan untuk menilai komitmen calon pemimpin terhadap isu-isu penting, termasuk hak-hak perempuan. Meski begitu, pemilih perlu untuk tetap waspada terhadap kampanye hitam yang seringkali digunakan untuk menjatuhkan lawan secara tidak etis. Mari rayakan kebebasan dalam menentukan pilihan dengan bijak dan nikmati proses berpolitik dengan penuh kegembiraan! Wallahu a’lam bis shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.