Ikhbar.com: Kemenangan dan kekalahan dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 bukan hanya akan menjadi urusan para kandidat, tetapi juga melibatkan emosi jutaan pendukungnya. Kepuasan di satu sisi dan kekecewaan di sudut lainnya adalah hal yang lumrah terjadi.
Namun, yang perlu diingat adalah bahwa pemilu merupakan proses yang digelar melalui tahapan dan aturan sistem demokrasi dengan hasil yang mengikat bagi semua warga Indonesia. Termasuk, bagi pihak yang tidak berhasil memenangkan kompetisi.
Lantas, bagaimana cara menekan perasaan berlebih selama proses pemilu?
Baca: Benarkah Zuhud Harus Tinggalkan Urusan Dunia?
Menang tak jemawa, kalah jangan murka
Perasaan senang dan kecewa perlu dikelola dengan baik berdasarkan moral dan tujuan bersama dalam menjaga kondusivitas negara serta menghormati persatuan bangsa. Sikap ini sesuai dengan prinsip zuhud, sebagaimana yang diajarkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali, yang dikenal sebagai Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
وليس الزهد فقد المال وإنما الزهد فراغ القلب عنه ولقد كان سليمان عليه السلام في ملكه من الزهاد
“Zuhud bukan berarti ketiadaan harta duniawi. Zuhud merupakan kesucian hati dari harta duniawi. Nabi Sulaiman As sendiri di tengah gemerlap kekuasaannya tetap tergolong orang yang zuhud.”
Dalam konteks ini, sikap zuhud tercermin melalui kerendahan hati dalam menghadapi kemewahan seperti kemenangan. Anugerah tersebut diterima semata-mata sebagai sarana untuk beramal saleh dan melayani bangsa.
اعلم أنه قد يظن أن تارك المال زاهد وليس كذلك فإن ترك المال وإظهار الخشونة سهل على من أحب المدح بالزهد
“Ketahuilah, banyak orang mengira, orang yang meninggalkan harta duniawi adalah orang yang zuhud (zahid). Padahal tidak mesti demikian. Pasalnya, meninggalkan harta dan berpenampilan “buruk” itu mudah dan ringan saja bagi mereka yang berambisi dipuji sebagai seorang zahid.”
Berdasarkan pesan Imam Al-Ghazali tersebut, kesederhanaan dalam berperilaku baik sikap rendah hati bagi pemenang, maupun perasaan legawa yang ditunjukkan pihak yang kalah harus dilakukan secara tulus dan tidak berpretensi dengan tujuan untuk mendapatkan simpati.
Baca: Khalifah Abu Bakar As-Shidiq Tolak Dinasti Politik
Berpuncak pada pencarian rida Allah
Lebih jauh, Imam Al-Ghazali mengingatkan agar tidak larut dengan glorifikasi, begitu pun sebaliknya. Jangan sampai merayakan kegembiraan dengan melampaui batas atau mengeksploitisasi kesedihan hingga kedua perasaan itu melupakan bahwa apa yang terjadi merupakan pemberian Allah Swt. Imam Al-Ghazali berpesan:
العلامة الأولى أن لا يفرح بموجود ولا يحزن على مفقود كما قال تعالى لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم
“Tanda pertama, tidak berbangga ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta sebagaimana firman Allah, agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian.”
Sikap zuhud juga memberikan pedoman moral yang mengarah kepada keridaan Allah Swt. Perilaku yang tercermin darinya adalah mempertimbangkan aksi dan reaksi berdasarkan prinsip kemaslahatan, sehingga tidak mudah terpancing oleh pujian dan hinaan.
العلامة الثانية أن يستوى عنده ذامه ومادحه
“Tanda kedua, orang yang menghina dan memujinya sama saja baginya,”
Puncaknya, kenikmatan yang dirasakan hanyalah sebagai hasil dari kepasrahan dan kerelaan atas segala yang terjadi, serta menjadikannya sebagai motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
العلامة الثالثة أن يكون أنسه بالله تعالى والغالب على قلبه حلاوة الطاعة
“Tanda ketiga, senang dengan Allah yang ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam hatinya.”