Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan redaksi Ikhbar.com. Perkenalkan, saya Melati (nama samaran) dari Jawa Tengah.
Baru-baru ini, saya membaca sebuah berita tentang seorang menantu yang tega membunuh mertua karena dianggap selalu merecoki urusan rumah tangganya.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya Islam mengatur hubungan mertua dan menantu, apalagi jika sang suami merupakan anak laki-laki terakhir yang harus tinggal satu rumah dengan ibunya, sedangkan sang istri bersikukuh tidak berkenan sehingga lebih memilih long distance marriage (LDM) atau pernikahan jarak jauh?
Apakah pilihan sang istri tersebut bisa berbuah dosa? Apakah benar anak laki-laki harus selalu manut kepada ibunya meskipun sudah berkeluarga? Apakah dibenarkan juga sang ibu (mertua) ikut mengatur harta suami dengan dalih bahwa dia adalah anak laki-lakinya? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Selalu Salah di Mata Mertua? Ini Saran Ning Uswah
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih, Kak Melati dari Jawa Tengah, atas sejumlah pertanyaannya.
Beberapa kasus kriminal yang terjadi di ruang lingkup keluarga memang membuat hati teriris. Bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi bagi siapa pun yang membaca berita tersebut niscaya turut menimbulkan rasa kecemasan maupun kekhawatiran terhadap diri sendiri.
Dalam menjalin hubungan dengan siapa pun, Islam menganjurkan kita untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran. Kedekatan atau adanya hubungan darah tidak lantas menjadikan manusia halal untuk berbuat semena-mena.
Di sisi lain, kasus tersebut telah menjadi bukti bahwa kekerasan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal, tetapi juga berpotensi melibatkan orang-orang terdekat, termasuk keluarga.
Beberapa waktu lalu juga tersiar berita seorang istri bekerja sama dengan anak dan pacar anaknya untuk melakukan pembunuhan terhadap suaminya sendiri.
Semua hal itu adalah pertanda dari kebenaran firman Allah Swt yang telah memperingatkan hamba-Nya bahwa harta dan orang-orang terdekat bisa berpotensi sebagai ujian. Dalam QS. Al-Anfal: 28, Allah Swt berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Dalam redaksi lain, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Tagābun: 14).
Selanjutnya, Allah Swt berfirman:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar.” (QS. At-Tagābun: 15).
Baca: Teman Red Flag yang Wajib Dijauhi menurut Imam Al-Ghazali
Pentingnya menjaga lisan
Apapun motif yang melatarbelakangi kejahatan hingga berujung pada penghilangan nyawa orang lain bukanlah sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi. Sebaliknya, jangan sampai keseharian kita diwarnai dengan akhlak atau perilaku yang buruk sehingga berpotensi mendatangkan bahaya.
Dalam QS. Al-Baqarah: 195, Allah Swt berfirman:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Berinfaklah di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
سَلاَمَة الإنْسَان فِي حِفْظِ اللِّسَانِ
“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” (HR. Bukhari).
Dalam menjalankan komunikasi, setidaknya ada hal penting yang mesti menjadi acuan. Pertama, ukurlah berdasarkan skala prioritas kalimat atau kata-kata yang hendak diucapkan. Penting bagi seseorang untuk menimbang apakah informasi atau ucapan yang hendak disampaikan itu memang bernilai penting atau tidak sama sekali.
Lebih jauh dari itu, kedua, seseorang harus bisa mempertimbangkan dengan matang apakah sesuatu yang hendak diucapkan itu berpotensi menyakiti hati orang lain atau tidak.
Ketiga, ukur pula tingkat kemanfaatannya. Sejauh mana nilai manfaat yang akan ditimbulkan dari ucapan yang akan kita sampaikan kepada orang lain.
Tidak hanya di dunia nyata, tiga hal itu juga harus diberlakukan di saat menjalin interaksi di jagat maya. Apabila ucapan atau ketikan jemari kita dinilai tidak akan memberikan kebermanfaatan, maka lebih baik diam.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca: [Opini] Netizen Muslimah Ibu Kandung Moderasi di Jagat Maya
Berorientasi sebagai anugerah
Sementara itu, terkait LDM, secara umum Islam mengatur hubungan sosial dalam masyarakat agar setiap manusia, apapun statusnya, harus sama-sama bisa menghadirkan diri sebagai anugerah bagi yang lain.
Seorang guru harus menjadi anugerah bagi para murid, suami harus menjadi anugerah bagi sang istri, pun seorang menantu, sudah barang tentu harus bisa menjadi anugerah bagi mertua, maupun sebaliknya.
Ketika asas yang dijunjung tinggi dalam interaksi sosial adalah prinsip keluhuran dan mu’asyarah bil ma’ruf (interaksi yang bermartabat), maka niscaya tidak akan ada lagi subordinasi atau kelas-kelas prioritas dalam memperlakukan seseorang. Yang ada hanyalah penghormatan terhadap nilai-nilai keluhuran.
Rasulullah Saw bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Sang Khaliq (Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lainnya, Nabi Saw juga bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada kebaikan saja.” (HR. Muslim)
Pernikahan adalah ikatan kokoh antara suami dan istri yang dipertanggungjawabkan secara penuh di hadapan Allah Swt. Tentu saja, yang lebih bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan rumah tangga adalah pasangan suami istri. Sedangkan orang tua sampai kapan pun berkewajiban untuk memuliakan anak-anaknya dan bertugas menghilangkan kesulitan-kesulitan yang ada pada mereka, sehingga mempermudah untuk terus berjalan menuju surga, yakni melalui ibadah. Termasuk menahan kesulitan-kesulitan yang mungkin datang dari diri sendiri ketika sang anak telah memutuskan untuk beribadah dalam ikatan pernikahan. Rasulullah Saw bersabda:
أَكْرِمُوا أوْلَادَكُمْ فَإِنَّ مَنْ أَكْرَمَ أَوْلاَدَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ فِى الْجَنَّةِ
“Muliakanlah oleh kalian anak-anak kalian, karena sesungguhnya siapa pun yang memulikan anak-anaknya, maka Allah akan memuliakannya di surga.” (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah Saw juga bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat.”
LDM sejatinya bukan hal yang mudah dilakukan. Sebab, di dalam Al-Qur’an sepasang suami istri berkewajiban melaksanakan mu’asyarah bil ma’ruf. Oleh karena itu, kalau pun jarak berjauhan, komunikasi harus mendekatkan.
Keputusan LDM harus lahir dari pertimbangan matang berdasarkan prinsip musyawarah mufakat antara suami istri. Dalam merumuskan hal tersebut, maka dibutuhian pakem sebagai berikut:
- Suami dan istri harus saling menjalankan kewajiban dan memperoleh haknya secara adil.
- Suami dan istri harus saling menjaga amanah dan kepercayaan.
- Suami dan istri harus menghindarkan diri dari perbuatan yg dapat merusak nilai-nilai pernikahan.
Apabila ketiga hal tersebut tidak bisa dipenuhi, maka dibutuhkan kembali komunikasi yang lebih intens untuk kehidupan rumah tangga yang lebih baik.
Baca: Sungkem ke Orang Tua atau Mertua, Manakah yang Harus Didahulukan Istri saat Lebaran?
Praktik ideal birrul walidain
Adapun anjuran birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) di dalam Islam berlaku tanpa batas waktu. Kewajiban birrul walidain tidak terputus hanya karena seorang anak telah menikah. Bahkan nilai itu bertambah dengan birrul walidain-nya menantu perempuan atau laki-laki terhadap mertua masing-masing.
Namun, perlu diperhatikan bahwa kewajiban birrul walidain tidak berarti membebankan dan mendorong seorang anak ke arah kesulitan dan kesusahan. Pasalnya, anak laki-laki sejatinya bukan milik sang ibu, begitu pun istri bukan milik suaminya. Tidak ada siapa pun yang berhak memiliki selain Allah Sang Pemilik Sesegala.
Islam menghapus istilah ba’lun (kepemilikan) antara suami istri menjadi zawaj (pasangan). Begitu pun dengan sistem perbudakan dan praktik pewarisan manusia. Islam menegaskan bahwa setiap makhluk adalah pemilik otoritas tubuhnya sendiri setelah Tuhan.
Sebagai orang tua, bijaknya tidak memberikan pilihan “istri/suamimu atau aku” kepada anak, dan sebagai seorang menantu hendaknya tidak memberikan pilihan “orang tuamu atau aku” kepada suami/istri. Karena pilihan-pilihan tersebut termasuk dalam mempersulit kehidupan seseorang.
Hubungan keluarga yang diawali dengan pernikahan mengharuskan setiap pihak dari keluarga suami dan istri saling bekerja sama dalam memahami kondisi serta situasi yang terbaik dan maslahat bagi semua pihak. Dan sebagai mertua, hendaknya memberikan restu atas pilihan menantunya, seseorang yang memilih dan rela membersamai seumur hidup anaknya. Seorang mertua semestinya memberikan dukungan penuh terhadap keputusan yang diambil oleh anak dan menantunya.
Islam menganjurkan agar seseorang mampu berdikari agar tidak bergantung terhadap orang lain, bahkan kepada anaknya sendiri. Sebab, dosa dan pahala hanya akan diraih dari usaha yang telah dilakukannya masing-masing.
Psikolog ahli, Ny. Hj. Alisa Wahid pernah mengatakan bahwa banyak dari kita ingin memiliki anak-anak yang sukses, saleh, dan salehah, serta berbakti kepadanya sebagai orang tua. Namun, kita sendiri terkadang lupa untuk berdoa agar menjadi orang tua yang saleh/salehah serta berkenan memuliakan anak-anaknya. Wallahu a’lam bis shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.