Trik Berani Tampil di Ruang Publik: Ning Uswah Berbagi Inspirasi untuk Santri Putri

Ilustrasi seorang santri putri sedang tampil di ruang publik. Dok Olah Digital IKHBAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ning Uswah dan Tim Redaksi Ikhbar.com. Perkenalkan, saya Zahra dari Bandung, Jawa Barat.

Saya seorang santri putri yang merasa kesulitan untuk mengembangkan diri di luar pesantren. Beberapa kali saya mengikuti kegiatan, tetapi selalu muncul rasa khawatir tidak mampu mengimbangi peserta lainnya.

Selain itu, sebagai santri putri, saya juga sering mendengar anggapan bahwa kami kurang mampu bersaing di ruang publik. Oleh karena itu, saya ingin meminta nasihat serta tips agar saya, dan mungkin juga santri putri lainnya, dapat lebih percaya diri dan sukses tampil di hadapan umum.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Baca: Kepanjangan ‘Santri’ dalam Kamus Gen Z

Jawaban:

Waalaikumsalam Wr. Wb.

Zahra dari Bandung, Jawa Barat, terima kasih atas pertanyaannya yang sangat menarik.

Sejak 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 silam, eksistensi santri semakin diakui di ranah publik. Dengan kata kunci “santri” yang semakin sering disebut, melalui kampanye seperti #AyoMondok dan #SantriKeren, misalnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan kian leluasa dan berani menampilkan identitasnya sebagai pencetak generasi yang siap mengabdi kepada nusa dan bangsa. Padahal, dulu, santri dikenal sebagai kelompok yang cenderung “khumul” atau menyembunyikan diri karena prinsip tawaduk.

Jauh sebelum penetapan HSN, sejatinya sejarah sudah mencatat peran penting kaum sarungan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa ulama besar, seperti Hadaratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Ahmad Dahlan, berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tercatat sebagai santri pertama yang menjabat Presiden RI.

Pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara telah menjadi pusat penggemblengan ilmu, kreativitas, serta akhlak, untuk mempersiapkan santri mampu bersaing di masa depan. Di pesantren, selain belajar kitab klasik, santri juga dilatih untuk berbicara di depan umum melalui kegiatan seperti khitabah (pidato), bahtsul masail (forum diskusi), syawir (bermusyawarah), maupun melalui kelas-kelas bahasa Arab maupun Inggris. Santri juga aktif dalam berbagai organisasi di pesantren, yang memberikan pengalaman kepemimpinan dan tanggung jawab.

Tidak hanya fokus pada ilmu agama, pesantren juga memberikan perhatian pada teknologi, literasi, seni, dan olahraga. Banyak lulusan pesantren yang sukses tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam bidang sains, teknologi, politik, hingga seni.

Baca: Bolehkah Perempuan Lebih Dulu Menyatakan Cinta? Begini Penjelasan Ning Uswah

Potensi yang setara

Santri putri memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan di ruang publik.

Pemisahan kelas antara santri putra dan putri di pesanten bukanlah bertujuan untuk mendiskriminasi, melainkan untuk sekadar menciptakan suasana belajar yang aman dan nyaman.

Sejarah mencatat banyak santri putri yang berperan besar dalam perjuangan bangsa. Seperti Rasuna Said, tokoh dari Sumatra Barat yang menjadi pendiri Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi). Melalui tulisan-tulisannya, beliau perjuangkan hak-hak perempuan sekaligus aktif mengkritisi kebijakan pemerintahan kolonial Belanda sejak 1935.

Nama lain yang patut diteladani ialah Rohana Kudus. Beliau merupakan santri yang getol mendirikan sekolah khusus untuk remaja putri agar kaum perempuan memiliki ketrampilan sebagai modal tampil di luar ruang-ruang domestik rumah tangga. Di masa itu, Rohana telah mampu mendidik banyak siswinya untuk memproduksi kerajinan berstandar internasional hingga menarik minat banyak negara luar.

Atau ada pula nama Rahma El-Yunusiah, yang juga berasal dari Sumatra Barat, yang mendirikan pesantren diniyah khusus perempuan serta memberdayakan ibu rumah tangga agar mengenal huruf sebagaimana RA. Kartini. RA Kartini pun merupakan santri putri yang belajar pada Kiai Soleh Darat yang masyhur dengan tulisan-tulisannya seputar emansipasi dan perlawanan ketidakadilan terhadap perempuan.

Berikutnya, Nyai Walidah Dahlan yang juga pejuang hak-hak perempuan. Tak luput juga Nyai Djuaesih yang menjadi pionir berdirinya organisasi Islam Muslimat NU. Mereka adalah contoh santri putri yang berani tampil di ruang publik dan memperjuangkan hak-hak perempuan.

Di masa sekarang, semakin banyak santri perempuan yang berprestasi di berbagai bidang. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga pesantren tidak membedakan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia

Tips membangun rasa percaya diri

Untuk bisa tampil percaya diri dan sukses, santri putri perlu memperhatikan beberapa hal berikut:

Pertama, mental yang sehat. Pilih pesantren dengan lingkungan yang kondusif, yang mengutamakan kedisiplinan dan kasih sayang dalam pendidikan. Pesantren yang sehat akan menciptakan suasana kekeluargaan dan mendukung perkembangan mental para santri.

Kedua, manajemen waktu. Atur waktu dengan baik untuk memastikan semua tugas akademis dan non-akademis dapat terselesaikan dengan seimbang. Kedisiplinan dalam manajemen waktu adalah kunci kesuksesan.

Ketiga, membangun hubungan sosial yang baik. Relasi dengan teman sepondok adalah cerminan kehidupan di masa depan. Hindari lingkungan yang toksik dan ciptakan persahabatan yang saling mendukung.

Keempat, fokus dan gigih. Banun visi yang jelas dan jadikan tujuan tersebut sebagai pendorong semangat. Usaha yang gigih akan membawa hasil yang maksimal, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-Nya.

Kelima, pahami prioritas. Fokuslah pada hal-hal penting. Prioritaskan belajar dan hafalan di atas godaan jajan atau bermain. Utamakan keberkahan dengan selalu menghormati guru dan mendoakan orang tua.

Terakhir, jauhi prasangka buruk, kebencian, dan perilaku mem-bully. Hal-hal negatif, sekecil apapun, bisa menghambat kesuksesan dan merusak hubungan sosial. Wallahu a’lam bis-shawab.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.

Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”

Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.