Ikhbar.com: Suasana politik Indonesia semakin menghangat jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Masyarakat memiliki kesempatan besar untuk menentukan pemimpin yang akan membawa daerah masing-masing menuju keadilan dan kesejahteraan.
Namun, momentum ini memerlukan perhatian khusus agar tidak terjebak praktik-praktik yang merugikan, seperti politik uang, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, serta polarisasi masyarakat. Dalam menghadapi dinamika ini, umat Islam memiliki pedoman penting dalam bentuk kaidah fikih, yang mampu memberikan arahan moral dan etis untuk mewujudkan pemilihan yang adil dan bermartabat.
Kaidah fikih adalah prinsip-prinsip universal yang disusun ulama untuk membantu memahami hukum Islam secara komprehensif. Prinsip-prinsip ini tidak hanya berlaku dalam ranah ibadah, tetapi juga dalam muamalah, termasuk aspek politik seperti Pilkada.
Secara historis, kaidah fikih telah dirumuskan dalam berbagai karya besar, antara lain dalam Ar-Risalah karya Imam Syafii, dan Al-Asybah wa al-Nazha’ir yang ditulis Imam Abul Fadhl Jalaluddin Abdurrahman bin Al-Kammal Abi Bakar bin Muhammad As-suyuthi As-Syafi’i atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Jalaluddin Al-Suyuti.
Berikut adalah lima kaidah fikih yang relevan untuk menjadi pedoman selama masa kampanye Pilkada 2024:
Baca: 5 Panduan Al-Qur’an agar Kebal Godaan Politik Uang
Bergantung pada niat
الأمور بمقاصدها
Al-umūru bi maqāṣidihā
“Segala perkara terletak pada tujuannya.”
Kaidah ini menegaskan tentang pentingnya niat sebagai penentu nilai suatu perbuatan sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diraihnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks Pilkada, masyarakat harus mencermati niat dari setiap tindakan yang dilakukan, baik calon pemimpin maupun pemilih. Salah satu tantangan besar dalam pilkada adalah praktik politik uang yang sering kali disamarkan sebagai bentuk sedekah atau bantuan sosial. Kaidah ini mengingatkan bahwa menerima pemberian dengan niat menjual suara adalah pelanggaran etika yang merusak integritas demokrasi.
Sebaliknya, niat yang tulus untuk memilih pemimpin terbaik demi kepentingan bersama harus menjadi landasan utama.
Baca: Etika Kampanye Politik dalam Al-Qur’an
Mencegah kerusakan lebih utama
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Dar’ al-mafāsid muqaddamun ‘alā jalb al-maṣāliḥ
“Menghindari kerusakan didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”
Kaidah ini mengajarkan bahwa mencegah keburukan harus menjadi prioritas utama, bahkan jika itu berarti menunda kebaikan yang diharapkan. Dalam praktiknya, kaidah ini mengajarkan bahwa saat menetapkan hukum atau mengambil keputusan, jika terdapat pertentangan antara kemaslahatan (manfaat) dan mafsadat (kerusakan), maka menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar manfaat.
Di masa kampanye, perbedaan pilihan politik sering kali memicu konflik di tengah masyarakat. Polarisasi dan perselisihan yang tidak terkendali dapat merusak harmoni sosial. Oleh karena itu, masyarakat harus mengedepankan persatuan, menjaga ukhuwah, dan menolak provokasi yang dapat memperparah perpecahan.
Dalam hal ini, kesadaran kolektif untuk menjaga stabilitas sosial lebih penting daripada sekadar memenangkan calon tertentu.
Baca: 3 Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Qur’an
Berorientasi pada kemaslahatan
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Taṣarruf al-imām ‘alā al-ra’iyyah manūṭun bi al-maṣlaḥah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan.”
Kaidah ini menunjukkan bahwa setiap tindakan atau keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin (imam atau penguasa) harus bertujuan untuk membawa kebaikan, manfaat, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pemimpin bertanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Oleh karena itu, masyarakat perlu memilih calon pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk kesejahteraan bersama. Selama masa kampanye, mencermati program kerja dan rekam jejak para kandidat menjadi tugas penting.
Pilihan harus didasarkan pada kemampuan kandidat untuk membawa perubahan positif, bukan pada janji-janji kosong atau kepentingan golongan tertentu. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam memastikan terwujudnya kepemimpinan yang berintegritas.
Baca: Mendeteksi Istilah Politik dalam Al-Qur’an
Kepentingan umum mengalahkan pribadi
المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة
Al-Maṣlaḥah al-‘Āmmah muqaddamah ‘alā al-Maṣlaḥah al-Khāṣṣah
“Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.”
Kaidah ini menekankan bahwa dalam menentukan suatu keputusan, jika terjadi pertentangan antara maslahah ‘ammah (kepentingan umum) dan maslahah khashshah (kepentingan pribadi atau kelompok), maka kemaslahatan umum harus diutamakan. Hal ini karena kemaslahatan umum mencakup manfaat yang lebih luas dan berdampak pada banyak orang, sedangkan kepentingan pribadi hanya terbatas pada individu atau kelompok kecil.
Kaidah ini juga menjadi pengingat bahwa dalam memilih pemimpin, masyarakat harus memprioritaskan kepentingan umum di atas kepentingan individu atau kelompok. Politik uang menjadi ancaman nyata bagi prinsip ini karena hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat luas.
Menolak segala bentuk suap atau gratifikasi politik adalah bagian dari upaya menjaga kepentingan umum. Selain itu, memilih pemimpin yang mampu membawa manfaat bagi semua lapisan masyarakat adalah bentuk kontribusi nyata untuk kebaikan bersama.
Baca: Khalifah Abu Bakar As-Shidiq Tolak Dinasti Politik
Bahaya harus dihilangkan
الضرر يزال
Al-Ḍarar yuzāl
“Kemudharatan harus dihilangkan.”
Kaidah ini menunjukkan bahwa dalam Islam, segala bentuk ke-mudharat-an (bahaya atau kerugian) yang menimpa individu maupun masyarakat harus diupayakan untuk dihilangkan atau diminimalkan. Prinsip ini mencerminkan perhatian syariat Islam terhadap perlindungan dan kesejahteraan manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
(HR. Malik, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Prinsip ini menegaskan bahwa segala bentuk bahaya dan kerugian harus dihilangkan, termasuk dalam proses demokrasi. Dalam konteks Pilkada, praktik-praktik seperti politik uang, kampanye hitam, dan manipulasi data harus ditolak secara tegas.
Masyarakat juga perlu waspada terhadap informasi hoaks yang dapat mempengaruhi keputusan politik secara negatif. Dengan berpegang pada kaidah ini, setiap individu dapat berkontribusi pada terwujudnya pemilihan yang jujur, adil, dan transparan.
Kaidah fikih, sebagaimana dirumuskan dalam karya-karya ulama klasik, termasuk Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Al-Suyuti adalah warisan intelektual yang tetap relevan hingga kini.
Baca: Sikap Khalifah Utsman saat Dikritik Gubernur
Prinsip-prinsip ini memberikan panduan yang kokoh bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk dinamika politik di masa pilkada. Dengan menjadikan kaidah fikih sebagai pedoman, masyarakat tidak hanya menjaga integritas moral dan etika, tetapi juga berperan aktif dalam menciptakan demokrasi yang sehat dan bermartabat.
Momentum Pilkada Serentak 2024 harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk memilih pemimpin yang adil dan amanah, dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai acuan utama. Dengan demikian, Pilkada tidak hanya menjadi ajang politik semata, tetapi juga sarana untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.