Ikhbar.com: Pada mulanya, pakaian hanya merupakan perangkat penutup tubuh. Lalu, ia berkembang menjadi penanda yang kerap melambangkan kondisi, status, hingga identitas seseorang yang sedang mengenakannya.
Pakaian adalah salah satu nikmat yang diturunkan Allah Swt bagi umat Manusia. Dalam QS. Al-A’raf: 26, Allah Swt berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
“Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat.”
Pakaian Rasulullah
Rasulullah Muhammad Saw merupakan teladan umat manusia. Ada banyak riwayat yang mengisahkan akhlak, kepribadian, ciri-ciri fisik, sejarah hidup, dan keseharian, termasuk dalam hal cara berpakaian.
Dalam Asy-Syamail al-Muhammadiyah, Imam At-Tirmidzi menguraikan berbagai hal terkait pakaian keseharian yang dikenakan Nabi Muhammad. Istri Nabi Muhammad, Sayyidah Ummu Salamah menyebut pakaian yang paling digemari Nabi Saw adalah gamis. Sementara menurut Anas bin Malik, Rasulullah juga menyukai hibarah, sebuah jenis pakaian dari Yaman.
Sedangkan warna yang paling disukai Nabi Saw, berdasarkan beberapa riwayat, ialah merah. Bara’ bin Azib menilai, warna tersebut amat pas saat menempel di pakaian Nabi Muhammad. Menurutnya, tidak ada seorang pun yang lebih baik dari pada Rasulullah saat mengenakan baju berwarna menyala tersebut.
Selain merah, Nabi Saw juga pernah memakai baju berwarna putih, hijau, dan hitam. Rasulullah pun kerap menganjurkan para sahabatnya untuk mengenakan pakaian berwarna putih karena merupakan perlambang kesucian.
Di sisi lain, Nabi Muhammad juga pernah mengenakan baju-baju khas bangsa lain. Mughirah bin Syu’bah mengisahkan, Nabi Saw pernah memakai jubah khas Romawi berlengan sempit. Rasulullah juga pernah menggunakan pakaian dari daerah Qithr saat melaksanakan salat dan baju yang terbuat dari bulu-bulu berwarna hitam.
Baca: Tren Hijau Sage dan Warna-warna Kesukaan Rasulullah
Pakaian adat menurut Islam
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, sekali waktu ada seorang Arab mencari dan mendatangi Rasulullah Saw saat bersama para sahabat. Lelaki itu bertanya, “Siapakah di antara kalian yang merupakan cucu Abdul Muthalib? “Siapakah di antara kalian yang bernama Muhammad?”
Banyak ulama ahli hadis menjelaskan, peristiwa itu menunjukkan betapa Nabi Saw senantiasa berbusana dan berpenampilan sebagaimana para sahabatnya, tidak memiliki perbedaan, dan tidak mencolok, meski Rasulullah merupakan orang yang paling mulia dan dihormati oleh para sahabatnya. Nabi lebih sering berpakaian sesuai dengan keumuman masyarakat setempat.
Syekh Abdullah bin Shalih Al Fauzan dalam Syarh al Waraqat menjelaskan, cara berpakaian Nabi Saw bukan merupakan perkara yang dimaksudkan untuk tasyri atau pedoman dalam hukum. Islam menyarankan agar umatnya berpakaian sesuai dengan kebiasaan masyarakat di lingkungannya.
Rasulullah pun tidak mengubah cara berpakaian dari sebelum diangkat menjadi Nabi hingga menerima risalah dari Allah Swt. Bahkan, seseorang diperbolehkan memakai jubah, gamis, dan imamah seperti yang pernah dikenakan Nabi Saw, dengan syarat, selama itu tidak menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat dan tidak menjadi libas syuhrah (pakaian mencolok yang berpotensi menimbulkan kesombongan).
Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Dalam Awamilu as Sa’ah wa al-Murunah fi ssy Syari’ah al Islamiyah, Syekh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa saat Islam datang, masyarakat Arab telah mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Setelah itu, Islam mengakui yang baik serta yang sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip syariat, termasuk dalam hal berpakaian.
Bahkan, lanjut Syekh Al-Qardhawi, memelihara sesuatu yang ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat), dalam kondisi tertentu dinilai sebagai sebuah kemaslahatan atau kebaikan. Dengan syarat, pakaian tersebut tidak memunggungi syariat, seperti menutup aurat, terjaga dari kesucian, dan serta menerapkan adab-adab lain yang dianjurkan dalam Islam.