Ikhbar.com: Sudah semalaman suntuk rumah Laksamana Tadashi Muda Maeda menjadi tempat berembuk. Jelang waktu sahur pada Jumat, 17 Agustus 1945 itu, barulah Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo rampung merumuskan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kala itu, kalender hijriah menunjukkan penanggalan 9 Ramadan 1364.
Sayuti Melik, yang hadir sebagai saksi, diminta menulis naskah. Sayangnya, tak ada mesin ketik di rumah yang kini dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau Munasprok itu. Lantas kepada Satsuki Mishima, asisten rumah tangga Maeda dan satu-satunya perempuan di malam itu, mereka menyuruh meminjamnya ke kantor militer Jepang.
Baca: Mempertahankan Kemerdekaan RI lewat Jemari
Perempuan itu pula, yang kemudian diminta membuatkan nasi goreng untuk sahur Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Subardjo.
“Waktu itu bulan puasa. Sebelum pulang saya masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda,” tulis Hatta dalam Sekitar Proklamasi (1981), dikutip pada Rabu, 16 Agustus 2023.
Setelah Sayuti Melik selesai merapikan naskah, ada sedikit perdebatan antara Sukarno dan Soekarni yang juga hadir sebagai saksi mewakili golongan muda. Soekarni, menyarankan agar Bung Besar membacakan ikrar kemerdekaan itu di tempat terbuka, lapangan Ikada.
“Rakyat Jakarta dan sekitarnya diserukan berbondong-bondong ke lapangan Ikada untuk mendengarkan proklamasi kemerdekaan,” kata Soekarni.
“Tidak!” jawab Sukarno. “Lebih baik dilakukan di kediaman saya, Pegangsaan Timur. Pekarangan depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita memancing insiden?”
Sebuah rapat umum yang juga digelar di lapangan umum, menurut Sukarno, akan menimbulkan salah paham. Apalagi tanpa diatur oleh penguasa-penguasa militer.
“Bisa terjadi bentrokan antara rakyat dan penguasa militer.” Oleh karena itu, “Saya minta saudara sekalian hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul sepuluh pagi,” pinta Bung Karno.
Baca: Tafsir Pancasila ala Ki Bagus Muhammadiyah
Tercapai kata sepakat. Sang tuan rumah Laksamana Maeda, mengucapkan selamat kepada semua yang hadir.
Menjelang pukul 03.00 dini hari, Hatta menemui beberapa wartawan yang masih bersiaga di depan pintu. “Saudara-saudara sudah bekerja keras, tetapi kuharap tidak keberatan untuk memperbanyak teks proklamasi,” kata Hatta sebagaimana dicatat Sergius Sutanto, dalam Hatta: Aku Datang karena Sejarah (2013).
Hatta juga meminta para pemuda yang bekerja di Kantor Domei untuk mengawatkan berita proklamasi ke seluruh dunia.
Pagi itu jalanan sangat lengang. Pekik “sahur…sahur!” terdengar dari kejauhan. Para pendiri bangsa pun bersantap sahur. Mereka lahap memakan menu yang cuma terdiri dari nasi goreng, telur, dan ikan sarden.