Ikhbar.com: Persebaran hoaks alias kabar bohong lazim mengikuti momentum yang tengah dijalani masyarakat. Termasuk, jelang peringatan HUT Kemerdekaan ke-78 RI yang akan dihelat sepekan mendatang.
Co Founder & Fact Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito meminta masyarakat agar senantiasa menyaring setiap informasi yang diterima. Pasalnya, salah satu bentuk hoaks yang kerap dimunculkan jelang peringatan proklamasi kemerdekaan adalah narasi tentang profil pahlawan atau pejuang yang berbeda dari pengetahuan sejarah yang telah diadopsi dan dipelajari sejak lama.
“Itu hanya salah satu contoh hoaks yang biasa beredar. Tahun-tahun lalu, misalnya, masyarakat selalu dihebohkan dengan beredarnya foto R.A Kartini yang berhijab,” kata Ari, sapaan akrabnya, dalam Hiwar Ikhbar #12 bertema “Hoaks dan Fakta Kemerdekaan RI,” bersama ikhbar.com pada Sabtu, 12 Agustus 2023.
“Sekilas kelihatan sepele dan tidak berdampak. Tapi ini bisa turut menganggu semangat masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman,” sambung dia.
Baca: 3 Jurus Jitu Tangkal Hoaks Menurut Al-Qur’an
Bagaimana cara mengecek konten sejarah?
Konten sejarah, kata Ari, menjadi salah satu materi yang kerap dijadikan bahan hoaks oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Sama dengan isu lainnya, persebaran kabar bohong di Indonesia biasa dibentuk dalam format visual karena dianggap akan lebih meyakinkan.
“Hoaks yang lebih laku adalah yang format visual, bisa video atau pun foto. Karena kita makhluk visual, jadi itu dianggap lebih menarik,” katanya.
Jika sudah seperti itu, maka yang patut dilakukan di saat menerima informasi yang meragukan adalah dengan cara mengecek ke banyak sumber lain dari foto atau video yang disisipkan dalam konten tersebut.
Ari mengungkapkan, cara yang paling gampang ketika sedang terhubung dengan internet adalah dengan mengklik kanan pada foto tersebut, kemudian memanfaatkan ekstensi atau bawaan peramban untuk menelusuri gambar serupa yang sudah terunggah atau tersajikan sebelumnya.

“Pada akhirnya bisa ketahuan, prosesnya bermula dari salah satu foto R.A Kartini yang tidak berhijab, kemudian disunting jadi berhijab. Ciri lainnya, sumber referensinya tidak jelas,” katanya.
Dalam konten sejarah, lanjut Ari, memang ada peluang untuk menemukan perpektif berbeda dari pengetahuan yang sudah, misalnya dengan menghimpun dari sumber-sumber kuat lainnya yang belum pernah terangkat. Namun, sebagai penulis yang baik, biasanya pada pola ini akan dilengkapi dengan keterangan tambahan bahwa konten tersebut hanya bersifat opini atau belum tentu sesuai dengan fakta sejarah.
“Makanya, cara kedua adalah dengan melihat apakah sumber yang dijadikan narasumber atau referensi tersebut memiliki reputasi yang baik, kredibel, atau otoritatif,” katanya.
Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam
Menyerang pribadi
Pada kasus hoaks R.A Kartini berhijab, menurut Ari, semua ahli sejarah menyepakati bahwa sumber foto itu tidak jelas dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. Akan tetapi, di tahun-tahun berikutnya, konten yang sama juga tetap disebarkan menjadi materi hoaks yang terus berulang.
“Inilah yang disayangkan. Sudah lama kita berada di era yang dinamakan dengan the death of expertise, matinya kepakaran. Kalau pihak yang dikoreksi tidak bisa membantah, maka ahlinya yang akan diserang secara pribadi. Karena para pelaku memiliki niatan untuk menjatuhkan reputasi si pakar sejarah tersebut,” kata Ari.
Istilah “Matinya Kepakaran” dipopulerkan seorang penulis, Tom Nicholes lewat karyanya yang berjudul The Death of Expertise (2017). Dalam buku itu disebutkan, salah satu faktor penyebab matinya kepakaran adalah kehadiran media sosial sebagai echo chamber atau ruang gema, yakni kiasan dari keadaan ketika orang-orang tenggelam dalam informasi yang bias tanpa ada keinginan untuk mendengar perspektif lain yang mungkin berseberangan dengan apa yang mereka percayai.
“Kondisi ‘matinya kepakaran’ ini turut membuat rumit keadaan,” katanya.
Ari meminta masyarakat agar tidak gampang menelan mentah-mentah setiap informasi yang datang. Apalagi, menurutnya, hoaks cenderung kian berkembang ketika memasuki tahun politik, yakni jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Hoaks sekarang itu sering jadi satu paket dengan ujaran kebencian. Maka, harus benar-benar berhati-hati,” katanya.