Ikhbar.com: Halloween, yang dirayakan pada 31 Oktober setiap tahunnya, telah meluas dari tradisi pagan di Eropa kuno menjadi gelombang budaya populer di seluruh dunia. Tak hanya di negara-negara Kristen dan sekuler, fenomena tersebut kini lazim dirayakan di negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Turki, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan Mesir.
Di Indonesia, misalnya, perayaan Halloween cenderung terlihat di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bali. Pada umumnya, nuansa tersebut tampak di pusat perbelanjaan, kafe, dan sekolah internasional, dengan dekorasi labu yang khas, kostum seram, dan berbagai atribut lainnya. Pengaruh media sosial (medsos) turut mendorong anak muda di kota-kota itu untuk merayakan Halloween sebagai bagian dari gaya hidup modern.
Baca: Hukum Merayakan Halloween bagi Umat Islam
Pengaruh luar
Hal serupa juga terjadi di Turki. Dilansir dari Turkiye Today, Halloween cukup populer di kalangan generasi muda dan ekspatriat di kota-kota terkenal mereka, seperti Istanbul, Izmir, dan Ankara. Ketiga kota itu memang dikenal cukup terbuka terhadap pengaruh budaya Barat.

Fenomena Halloween juga terasa di Uni Emirat Arab (UEA), khususnya Dubai dan Abu Dhabi. Khallej Times melaporkan, di negara dengan komunitas ekspatriat yang besar tersebut, perayaan ini disambut hangat di lingkungan tertentu, seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan lingkungan komunitas internasional.
Arab Saudi yang dikenal konservatif sempat melarang perayaan ini. Namun, sebagaimana dilaporkan Arab News, Kerajaan Saudi pernah mengizinkan warganya merayakan Halloween dengan nama “Scarry Weekend” atau Pekan Seram, yang berlangsung di Boulevard Riyad, pada 2022.

Di Mesir, Halloween lebih banyak terlihat di kalangan remaja urban di kota besar seperti Kairo, terutama di kafe-kafe, mal, atau tempat hiburan yang ingin menarik perhatian dengan suasana yang berbeda.
Baca: Mengunjungi Gereja di Afrika Selatan yang Kini Jadi Markas Gerakan Pro-Palestina
Fatwa ulama
Dalam konteks Islam, partisipasi dalam perayaan seperti Halloween menimbulkan berbagai pandangan di kalangan ulama. Fatwa dan pandangan terkait Halloween umumnya terbagi menjadi tiga pendekatan, yaitu pelarangan total, pendekatan moderat, dan pendekatan personal sesuai konteks.
Sebagian ulama mengharamkan Halloween secara tegas. Pandangan ini berlandaskan pada ajaran Islam yang menekankan kemurnian akidah, dan menghindari hal-hal yang berpotensi membawa pengaruh negatif.

Mereka menganggap Halloween dapat mengarah pada perilaku syirik atau menyekutukan Tuhan. Misalnya, Dewan Fatwa Nasional Malaysia (2014), telah mengeluarkan larangan keras bagi Muslim setempat untuk ikut serta dalam perayaan Halloween dengan menyebutnya sebagai praktik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Sejalan dengan itu, lembaga fatwa terkemuka Arab Saudi, Al-Lajnah Ad-Daimah Li al-Buhus al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta, dalam kumpulan fatwanya, Fatawa, melarang umat Islam untuk merayakan hari raya selain Idulfitri dan Iduladha. Meskipun fatwa tersebut tidak menggarisbawahi perayaan tahunan tertentu, seperti Halloween, akan tetapi perayaan ini dikaitkan dengan tasyabbuh atau menyerupai perilaku dan tradisi orang-orang non-Muslim, yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
التعظيم كسباً للأجر، أو كان فيه تشبه بأهل الجاهلية، أو نحوهم من طوائف الكفار: فهو بدعة محدثة ممنوعة، داخلة في عموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد)
“Kemudian, jika ‘Id diselenggarakan dalam rangka taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala serta pengagungan sesuatu, atau di dalamnya terdapat unsur tasyabbuh kepada orang Jahiliyah atau semacam mereka, misalnya menyerupai orang kafir, maka yang demikian ini termasuk bid’ah dan terlarang, karena termasuk dalam keumuman sabda Nabi Saw, ‘Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak (HR. Bukhari-Muslim).”
Dr. Muzammil Siddiqi dari Fiqh Council of North America juga mengeluarkan pandangan serupa. Ia mengingatkan bahwa Halloween sebaiknya dihindari oleh Muslim, meskipun ia memahami dilema yang dihadapi Muslim di negara-negara Barat yang hidup berdampingan dengan budaya mayoritas.
Baca: Bahasa Turki Punya Akhiran Khusus untuk Bergosip
Menimbang dampak
Pendekatan moderat terhadap Halloween ditunjukkan lembaga seperti Dar al-Ifta Mesir (2013). Melalui laman resminya, lembaga tersebut menyatakan bahwa Muslim diperbolehkan berpartisipasi dalam aspek-aspek tertentu dari perayaan Halloween. Namun, dengan syarat, yakni selama hal itu tidak melanggar prinsip-prinsip Islam.
Lembaga itu menyatakan bahwa selama seseorang tidak terlibat dalam kegiatan yang secara langsung bertentangan dengan ajaran agama, partisipasi dalam Halloween bisa diterima. Meski demikian, pendekatan ini tidak memberikan rincian yang mendalam tentang batasan-batasan yang jelas, sehingga interpretasi terhadap fatwa ini bisa berbeda di kalangan masyarakat.
Sementara itu, pandangan lain menyarankan pendekatan personal berdasarkan situasi dan konteks sosial yang dihadapi. Dr. Shabir Ally, dalam diskusinya dengan Dr. Safiyyah Ally pada 2021, menyarankan bahwa keputusan untuk berpartisipasi dalam Halloween sebaiknya diambil secara pribadi, dan sesuai dengan niat yang jelas.
Menurutnya, bagi sebagian Muslim yang tinggal di Kanada atau Amerika Serikat, keterlibatan dalam kegiatan seperti trick-or-treat dianggap sebagai hiburan yang tidak membahayakan, bahkan sebagai bagian dari budaya tempat tinggal mereka.
Namun, bagi mereka yang merasa Halloween dapat berdampak negatif terhadap identitas keislaman anak-anak mereka, mungkin lebih baik untuk menghindari perayaan ini.
Dr. Shabir menyarankan agar setiap keputusan mempertimbangkan dampak jangka panjang pada keimanan dan identitas anak-anak, khususnya agar mereka tidak merasa terkucilkan dari kegiatan yang biasa dilakukan teman-teman sebaya.