Ikhbar.com: Kata siyasah sering kali digunakan dalam bahasa Arab untuk mengartikan politik. Lafaz tersebut diambil dari akar sasa-yasusu, bermakna mengemudi, mengendalikan, atau juga mengatur.
Menariknya, dari akar yang sama terdapat kata sus, yang berarti kuman, kutu, atau rusak. Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan akar kata yang terbentuk dari lafal tersebut.
Meski demikian, pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (2003) menegaskan, tidak adanya cakupan terma tersebut bukan berarti Al-Qur’an absen dalam menyinggung persoalan politik.
Menurutnya, ada banyak ulama yang membahas politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan. Bahkan, Ibnu Taimiyah menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-Siyasah as-Syar’iyah (Politik keagamaan).
Uraian Al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada
ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan. Dari akar kata yang sama terbentuk lafaz hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal kata sasa-yasusu-siyasat.
Oleh karena itu, lanjut Quraish Shihab, pembahasan politik di dalam Al-Qur’an setidaknya menggunakan dua istilah, yakni istikhlaf dan isti’mar.
Istikhlaf
Di dalam Al-Qur’an, kata khilafah dengan bentuk tunggal disebutkan sebanyak dua kali, yakni pada QS. Al-Baqarah: 30 dan QS. Shad: 26.
Kedua ayat tersebut berbicara soal pengangkatan khalifah Nabi Adam AS dan Nabi Daud AS. Khalifah yang disematkan keduanya berbeda. Pasalnya, saat Nabi Adam diangkat menjadi khalifah ia tanpa disertai umat manusia lainnya.
Sementara dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan, Allah Swt memberitakan karunia-Nya yang besar kepada anak Adam, sebab menyebut keadaan mereka sebelum diciptakannya di hadapan para malaikat. Maka, khalifah pada ayat itu berarti kaum yang silih bergantian menghuni bumi beserta kekuasaan dan kerja-kerja pembangunannya.
Informasi soal perbedaan status khilafah pada diri Nabi Adam dan Nabi Daud dapat dilihat dari QS. Al-Baqarah: 251;
فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya.”
Masih dalam dalam sumber yang sama, Quraish Shihab menyebut ayat tersebut secara tegas menjelaskan bahwa Nabi Daud memperoleh kekuasaan tertentu dalam mengelola satu wilayah. Dengan demikian, kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik.
Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa. Misalnya pada konteks QS. Al-A’raf: 69 dan 74, serta An-Naml: 62.
Terkait tugas khilafah di bumi, Prof. Quraish menguraikannya berdasarkan QS. Al-Baqarah: 31. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang khalifah yang diberi kekuasaan politik harus pintar merawat bumi atau wilayahnya.
Bukan hanya itu, ia juga harus pintar menjaga hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).
Maka, kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.
Isti’mar
Kata isti’mar dalam bahasa Arab modern diartikan sebagai penjajah. Makna ini tidak dikenal dalam bahasa Al-Qur’an dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.
Di dalam Al-Qur’an, ayat yang mendekati kata tersebut terdapat pada QS. Hud: 61;
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Meski demikian, kata ista’mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta yang berarti meminta, seperti dalam kata istighfar, yang berarti meminta maghfirah (ampunan).
Dikutip dari Tafsir Al-Misbah, dapat juga kedua huruf tersebut berarti menjadikan seperti pada kata hajar yang berarti batu, jika disandingkan dengan sin dan ta, maka akan terbentuk istahjara yang bermakna menjadi batu.
Contoh lainnya, QS. At-Taubah: 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya’muru. Kata tersebut digunakan dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, salat, atau i’tikaf di dalamnya.
Sedangkan QS. Al-Rum: 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa lampau ‘amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaat.
Jika demikian, kata ista’marakum dapat berarti menjadikan ‘kamu’ atau ‘meminta’, atau bisa juga ‘menugaskan kamu‛ mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya.
Pendapat Prof Quraish dalam Tafsir Al-Misbah tersebut sejalan dengan pendapat Syekh Tanthawi Jauhari dalam Tafsir Al Jawahir fi at Tafsir Al-Qur’an al Karim.
Dalam penjelasannya, Syekh Tanthawi menyebut kata Wasta’marakum fiihaa dengan arti manusia merupakan pemelihara muka bumi (alam), lalu Allah Swt menakdirkan manusia untuk mengelola segala hal yang ada di muka bumi dengan sebaik-baiknya.
Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik. Di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah Swt, maka para petugas dalam menjalankan perintah tersebut dengan harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya.