Ikhbar.com: Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Serentak 2024 segera tiba. Pesta demokrasi ini akan membawa harapan besar bagi lahirnya pemimpin daerah yang jujur, berintegritas, dan amanah. Meski demikian, harapan tersebut sejatinya hanya bisa terwujud jika masyarakat tegas menolak politik uang, yakni sebuah praktik yang merusak nilai-nilai demokrasi dan mencederai kepercayaan publik.
Menjaga suara tetap murni tanpa intervensi kepentingan pragmatis menjadi langkah penting untuk memastikan hasil pemilihan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat secara adil dan bermartabat. Politik uang masih menjadi ancaman terbesar bagi demokrasi di Indonesia. Praktik ini tidak hanya merusak prinsip keadilan, tetapi juga melumpuhkan esensi suara rakyat sebagai penentu masa depan bangsa.
Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi menyebut Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang saat pemilu terbesar di dunia. Dikutip dari Antara, ia mengungkapkan bahwa Indonesia hanya kalah dari dua negara di Afrika, yakni Uganda dan Benin. Bangsa ini, kata dia, menjadikan negara dengan tingkat politik uang ketiga tertinggi di dunia.
Ketika uang menjadi alat tukar dalam proses pemilihan, maka dikhawatirkan akan menghasilkan pemimpin yang kurang berkualitas. Di sisi lain, praktik kotor ini bisa membuka ruang bagi korupsi di masa mendatang. Hal itu karena pemimpin yang terpilih merasa berutang kepada pihak-pihak yang membiayai ambisinya.
Fenomena ini tentu juga kian menjadikan demokrasi sebagai ajang transaksional, bukan wadah perjuangan untuk keadilan dan kemajuan. Jika dibiarkan, demokrasi akan kehilangan maknanya sebagai sistem yang berpihak kepada rakyat.
Akan tetapi, maraknya praktik politik uang dalam setiap pesta demokrasi bukanlah kesalahan tunggal oknum kandidat, tim sukses, maupun politikus semata. Masyarakat sebagai calon pemilih juga menjadi penentu terciptanya iklim politik dan demokrasi yang kotor dan membahayakan masa depan bangsa tersebut. Masyarakat harus-harus benar-benar menebalkan iman serta memiliki acuan lain dalam memilih. Bukan hanya berdasarkan pemberian dan hal-ihwal lain yang bersifat transaksional.
Al-Qur’an sebagai pedoman umat Muslim telah lama memberikan panduan bagi kehidupan manusia, termasuk bagaimana dia menyajikan tentang sejumlah kiat untuk terhindar dari praktik politik uang. Di antaranya:
Baca: Etika Kampanye Politik dalam Al-Qur’an
Kritis dan rasional
Pilkada Serentak 2024 merupakan momentum penting dalam menentukan arah masa depan daerah. Dalam memilih pemimpin, masyarakat membutuhkan sikap kritis dan rasional, bukan sekadar terpesona oleh janji manis atau pencitraan. Imbauan ini seperti yang tertuang dalam QS. Al-Isra: 16. Allah Swt berfirman:
وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا
“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.”
Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil menguraikan bahwa ketika Allah Swt hendak menghancurkan sebuah negeri atau daerah, Ia akan menjadikan orang yang hidup mewah atau yang mempunyai modal besar sebagai pemimpin. Kemudian pemimpin tersebut akan berbuat onar, kerusakan, dan kezaliman, yang akhirnya membawa kehancuran daerah itu. Maka dari itu, dalam urusan memilih seorang pemimpin harus benar-benar selektif, terutama dalam mengatur urusan masyarakat dibutuhkan ilmu yang matang, strategi, amanat yang tinggi dan kearifan dalam bertindak.
Baca: 3 Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Qur’an
Fokus pada visi, misi, dan program kerja
Dalam menentukan kualitas seorang pemimpin, visi, misi, dan program kerja adalah elemen utama yang harus menjadi perhatian. Pemimpin yang baik tidak hanya memiliki mimpi besar, tetapi juga langkah konkret untuk mencapainya. Visi memberikan arah, misi menjelaskan tujuan, sementara program kerja menjadi peta jalan yang menunjukkan cara mencapainya.
Oleh karena itu, masyarakat perlu fokus pada tiga hal ini saat menilai pemimpin, bukan pada janji-janji manis atau pencitraan semata. Dengan menitikberatkan pada visi, misi, dan program kerja, masyarakat dapat mendukung pemimpin yang benar-benar membawa perubahan positif.
Hal ini senada dengan QS. An-Nahl: 125. Allah Swt berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah) dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa kata “jadilhum” berasal dari kata “jidal.” Kata tersebut memiliki makna diskusi atau debat dengan bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan. Baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Menurutnya, debat atau diskusi terdiri dari tiga macam. Pertama, jidal yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Kedua, jidal yang baik, adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan. Ketiga, jidal yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Baca: Mendeteksi Istilah Politik dalam Al-Qur’an
Menghindari fanatisme buta
Fanatisme buta dalam memilih pemimpin saat pilkada dapat menjadi penghalang bagi terciptanya pemerintahan yang berkualitas. Memilih pemimpin seharusnya didasarkan pada kapasitas, integritas, dan program kerja yang jelas, bukan pada loyalitas yang membabi buta terhadap kelompok atau individu tertentu. Sikap ini sering kali membuat seseorang mengabaikan fakta dan menutup mata terhadap kekurangan kandidat yang didukung.
Menghindari fanatisme buta berarti membuka ruang untuk berpikir kritis dan objektif, sehingga keputusan yang diambil benar-benar demi kemajuan daerah, bukan sekadar memuaskan ego atau kepentingan golongan. Dalam QS. Ali Imran: 105. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang sangat berat.”
Masih mengutip pendapat dari Prof. Quraish, ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan bersatu akan beruntung dan memperoleh kenikmatan dunia dan akhirat. Sedangkan orang-orang yang tidak beriman dan berselisih akan celaka dan mendapatkan malapetaka di dunia dan akhirat.
Ia menambahkan bahwa ayat ini tidak melarang umat untuk berkelompok atau berbeda pendapat, yang dilarang adalah ikhtilafu atau berselisih dalam prinsip ajaran agama.
Baca: Khalifah Abu Bakar As-Shidiq Tolak Dinasti Politik
Mencari informasi rekam jejak dari sumber tepercaya
Mencari informasi rekam jejak para kontestan pilkada sangat penting untuk memastikan pilihan yang tepat. Informasi ini sebaiknya diperoleh dari sumber-sumber tepercaya, seperti lembaga resmi, media yang kredibel, atau catatan kinerja sebelumnya.
Rekam jejak memberikan gambaran tentang integritas, kemampuan, dan komitmen calon terhadap tanggung jawabnya. Dengan memahami latar belakang secara mendalam, risiko memilih pemimpin yang hanya mengandalkan janji kosong atau pencitraan dapat diminimalkan. Langkah ini membantu masyarakat membuat keputusan yang rasional dan berbasis fakta.
Dalam QS. An-Nahl: 43. Allah Swt berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui.”
KH Abdul Malik Amrullah atau Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa kalimat “fas’alu ahl azkr” pada ayat tersebut berisi perintah untuk menanyakan sesuatu kepada orang yang berpengetahuan luas tentang apa yang mereka tidak ketahui.
Di sisi lain, dalam menjelaskan ayat tersebut, Buya Hamka menegaskan bahwa umat Muslim dibolehkan untuk mencari ilmu di mana dan kepada siapa saja. Sebab yang dicari adalah kebenaran yang tidak bergantung pada tempat dan pemiliknya.
Baca: Sikap Khalifah Utsman saat Dikritik Gubernur
Menimbang kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas
Memilih pemimpin saat pilkada harus didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya kelompok atau individu tertentu. Pemimpin yang ideal adalah sosok yang mampu memahami dan mengakomodasi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat, tanpa memihak. Pasalnya, keputusan yang diambil dengan mempertimbangkan kepentingan umum akan membawa dampak yang lebih besar dan berkelanjutan.
Mengutamakan kebutuhan masyarakat luas juga menjadi kunci untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang merugikan. Oleh karena itu, memilih pemimpin harus didasari pada visi yang inklusif dan kemampuan untuk membawa kemajuan bagi semua. Anjuran tersebut senada dengan QS. Ash-Shura: 38. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
“(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, ayat tersebut selain berbicara perihal orang-orang yang menjalakan perintah ibadah juga berbicara tentang perintah musyawarah. Menurutnya, musyawarah bisa diartikan sebagai proses tukar gagasan untuk menetapkan pendapat yang paling baik dan benar.
Ia mengatakan, melakukan musyawarah bisa menghilangkan sifat keegoisan. Hal tersebut sangat diperlukan guna mendapatkan penyelesaian yang baik.
Segala permasalahan, jelas Syekh Az-Zuhaili, baik bersifat umum maupun khusus selayaknya diselesaikan dengan musyawarah. Upaya ini penting dilakukan di setiap permasalahan, termasuk dalam pengangkatan pemimpin, tata pemerintahan, hukum negara dan lain sebagainya.