Ikhbar.com: Islam di Jepang mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa dekade terakhir, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka. Fenomena ini terlihat dari jumlah masjid yang meningkat signifikan, dari hanya beberapa masjid sebelum Perang Dunia II, menjadi lebih dari 100 masjid saat ini.
Masjid-masjid ini tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat komunitas dan budaya yang memfasilitasi interaksi antara umat Muslim dan warga lokal.
Abu Bakr Morimoto dalam Islam in Japan: Its Past, Present, and Future (1980) mengungkapkan, Jepang yang telah lama berasimilasi dengan agama-agama lokal seperti Shinto dan Buddha, sering dianggap oleh orang asing sebagai “kekosongan agama.”
Namun, Morimoto mengklarifikasi bahwa meskipun masyarakat Jepang terlihat kurang religius di permukaan, faktanya, Negeri Sakura merupakan negara dengan sejarah keagamaan yang kaya, yang saat ini mencakup kehadiran Islam dalam komunitas kecil yang terus berkembang.
Baca: Warga Jepang Berbondong-bondong Masuk Islam
Kontak awal Islam di Jepang
Moromito mencatat, sejarah Islam di Jepang baru dimulai pada akhir abad ke-19, ketika pertama kali diperkenalkan melalui interaksi dengan para Muslim yang datang dari luar negeri. Peristiwa penting dalam sejarah ini adalah ketika Mitsutaro Yamaoka, yang dikenal sebagai Omar Yamaoka masuk Islam. Ia melakukan haji pada 1909 dan menjadi salah satu Muslim Jepang pertama yang tercatat.
Mikhail Meyer, dalam An Islamic Perspective in Russian Public Opinion: The Russian Tatar Thinker Abdurrashid Ibrahim (1857–1944) (2012) menjelaskan bahwa seorang ulama Tatar, Abd Al-Rashid Ibrahim, juga turut memainkan peran penting dalam mengenalkan Islam di Jepang pada awal abad ke-20.
Ibrahim mendirikan masjid pertama di Kobe pada tahun 1935, yang kemudian disusul oleh pendirian Masjid Tokyo Camii pada tahun 1938 oleh komunitas Muslim imigran dari Tatar dan Turki yang mencari peluang baru di Jepang.
Pasca-Perang Dunia II, perkembangan komunitas Muslim di Jepang semakin pesat, terutama dengan kedatangan imigran Muslim dari Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Asia Selatan, seperti Pakistan dan Bangladesh.
Michael Penn dalam Shingetsu Bibliography for Japanese-Islamic Relations (2005) mencatat bahwa imigran Muslim tidak hanya datang untuk bekerja, tetapi juga membawa nilai-nilai agama yang kemudian mengakar dalam komunitas Muslim Jepang. Organisasi seperti Japan Muslim Association (JMA) yang didirikan pada 1952, telah memainkan peran signifikan dalam mendukung komunitas ini.
Baca: Mengakrabi Ramadan nan Lengang di Jepang
Peran dukungan internasional
Dukungan dari negara-negara Muslim berperan besar dalam pengembangan Islam di Jepang, terutama dalam pembangunan masjid dan pusat kebudayaan. Negara-negara kaya minyak di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Turki, dan Iran berperan aktif dalam mendukung pembangunan fasilitas ini.
Laporan Japan External Trade Organization (JETRO, 2020) menyebutkan bahwa minat terhadap produk halal dan syariah juga membuka peluang ekonomi bagi komunitas Muslim Jepang, sehingga memperkuat daya tarik Islam di kalangan masyarakat lokal.
Ketertarikan masyarakat Jepang terhadap Islam juga menjadi faktor penting dalam pertumbuhan komunitas ini. Banyak warga Jepang yang mengapresiasi nilai-nilai etika dan moral Islam, terutama dalam hal kedamaian, kepedulian sosial, serta keteraturan dalam kehidupan sehari-hari.
Keiko Sakurai dalam Nihon no Musurimu Shakai (2003) menyebutkan bahwa konversi ke Islam di Jepang sering terjadi melalui interaksi pribadi, misalnya melalui pernikahan atau hubungan sosial dengan umat Muslim.
Baca: Seratusan Warga Jepang Antusias Belajar Islam ala Indonesia
Tantangan dan masa depan komunitas Muslim di Jepang
Meski mengalami perkembangan, komunitas Muslim di Jepang menghadapi tantangan stereotip negatif, terutama pasca peristiwa 9/11. Minimnya fasilitas publik yang ramah Muslim, seperti ruang salat dan ketersediaan makanan halal, di beberapa wilayah juga menjadi hambatan bagi komunitas Muslim di sana.
Sakurai menekankan pentingnya pendidikan dan dialog untuk menghilangkan prasangka dan meningkatkan pemahaman lintas budaya.
Meseki begitu, dengan melihat tren yang ada, jumlah Muslim di Jepang diperkirakan akan terus bertambah, baik karena migrasi maupun konversi agama. Sebagai negara maju yang ekonominya terbuka, Jepang memiliki potensi besar menjadi negara yang lebih ramah Muslim di masa depan, terutama dengan dukungan kebijakan pluralisme yang dapat membantu mengakomodasi kebutuhan komunitas Muslim.
Generasi Muslim kedua, yaitu anak-anak dari imigran Muslim yang lahir di Jepang, dinilai mampu memainkan peran penting dalam membentuk identitas Muslim Jepang yang khas. Mereka memiliki peluang untuk menjadi jembatan antara budaya Jepang dan Islam, sehingga dapat membawa nilai-nilai Islam yang inklusif dan damai ke dalam masyarakat Jepang.
Baca: Gelombang Mualaf Jepang Dikaitkan Netizen dengan QS. An-Nashr Ayat 2, Begini Tafsirnya
Islam dan pendidikan
Seiring waktu, minat terhadap studi Islam di Jepang juga kian berkembang di lingkungan akademis. Beberapa universitas di Jepang kini menawarkan program studi dan penelitian yang fokus pada Islam dan budaya Timur Tengah.
Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) menjadi salah satu pusat utama, dengan kajian mendalam melalui Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa. Isu-isu terkait Islam di Asia menjadi perhatian utama di lembaga ini.
Kyoto University juga terlibat dalam bidang ini melalui Center for Islamic Area Studies (KIAS), yang berfokus pada studi modernisasi dan pergerakan intelektual di dunia Islam.
Keio University menonjol dengan Laboratorium Studi Islamnya, yang aktif dalam isu-isu seperti bisnis halal dan pariwisata Muslim. Institusi ini bahkan mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan tantangan yang dihadapi komunitas Muslim di Jepang, memperlihatkan upaya nyata dalam meningkatkan pemahaman lintas budaya.
Sementara itu, Ritsumeikan University di Kyoto menghadirkan Center for Middle Eastern and Islamic Studies (CMEIS), pusat kajian pertama di universitas swasta Jepang bagian barat, yang mendalami topik Islam dari perspektif sosiologi, sejarah, hingga hubungan internasional.
Keberadaan lembaga-lembaga akademis yang berfokus pada studi Islam ini dianggap penting, terutama dalam membangun pemahaman yang lebih mendalam, dan mengurangi stereotip negatif terhadap Islam di masyarakat Jepang.
Selain pendidikan formal, beberapa komunitas Muslim di Jepang juga aktif mengadakan kegiatan edukasi untuk anak-anak generasi kedua. Kelas bahasa Arab, Al-Quran, serta sejarah Islam diadakan secara rutin di masjid-masjid seperti Masjid Tokyo Camii. Kegiatan ini tidak hanya membantu anak-anak Muslim memahami warisan agama dan budaya mereka, tetapi juga memperkuat identitas mereka sebagai Muslim yang tinggal di Jepang.