Wahai Gen Z! Ini Kiat agar tak Gampang ‘Kena Mental’ dari Al-Ghazali

Gen Z menghadapi situasi yang unik. Konektivitas yang tinggi justru menciptakan rasa keterasingan dan kecemasan sosial.
Ilustrasi seorang gadis muslimah sedang bersedih. PEXELS/Mikhail Nilov

Ikhbar.com: Kesehatan mental menjadi tantangan besar bagi generasi Z di tengah dunia yang serbacepat dan kompetitif. Media sosial (medsos), tekanan ekspektasi, dan gaya hidup modern sering kali menjadi sumber stres.

Gen Z menghadapi situasi yang unik. Konektivitas yang tinggi justru menciptakan rasa keterasingan dan kecemasan sosial. Dalam konteks inilah, ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang tertuang dalam Ihya Ulumiddin menawarkan solusi spiritual yang dinilai cukup mendalam dan relevan.

Riyadhah memupuk ketangguhan jiwa

Dalam dunia tasawuf, riyadhah dikenal sebagai metode pelatihan bagi jiwa untuk mencapai kebeningan hati dan kekuatan mental. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ini tertulis dalam bentuk kata “riadat” yang mengandung makna sebuah upaya dalam mengekang hawa nafsu.

Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa riyadhah penting dilakukan karena bertujuan menyucikan hati dari kecenderungan duniawi, membangun kedekatan dengan Sang Pencipta, dan menciptakan ketenangan batin.

Caranya? Imam Al-Ghazali lantas menjelaskan:

والرياضة على أربع أوجه القوت من الطعام والغمض من المنام والحاجة من الكلام وحمل الأذى من جميع الأنام

Riyadhah bisa ditempuh dengan empat jalan, yaitu (memenuhi) makanan pokok, memejamkan mata dari tidur, menahan perkataan, dan menelan pahit perilaku menyakitkan dari orang lain.”

Empat elemen tersbeut menjadi pilar dalam menciptakan keseimbangan hidup, terutama di tengah tekanan yang kerap dirasakan generasi Z, seperti kecemasan sosial, burnout (kelelahan fisik dan mental), atau bahkan sekadar perasaan selalu tertinggal yang dikenal dengan istilah FOMO, kependekan dari “Fear of Missing Out.”

Baca: Menangkal ‘Jam Koma’ dengan Doa

Seni mengelola makan hingga trik menghadapi hate comment

Makan adalah aktivitas yang sederhana, tetapi berdampak besar pada keseimbangan fisik dan mental. Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali memasukkan poin ini sebagai pangkal dari upaya membangun mental yang lebih kokoh.

Al-Ghazali berpendapat bahwa konsumsi yang berlebihan tidak hanya melemahkan tubuh, tetapi juga memperkeruh pikiran. Konsep ini relevan dengan “mindful eating,” sebuah gaya hidup yang banyak digaungkan pula oleh gen Z dalam rangka menjaga hubungan sehat dengan makanan. Dengan mengurangi porsi makan, tubuh terasa lebih ringan, dan jiwa lebih siap untuk merasakan ketenangan spiritual.

Begitu juga dengan perkara tidur. Tidur berlebihan sering kali membawa seseorang pada kemalasan dan kehilangan produktivitas. Al-Ghazali mengingatkan pentingnya tidur secukupnya agar pikiran tetap jernih dan hati siap menghadapi tantangan.

Di era modern, praktik “sleep hygiene” menjadi strategi populer untuk menjaga kesehatan baik fisik maupun mental. Ketika tidur dilakukan secara teratur dan dalam durasi yang optimal, generasi Z dapat menghindari kelelahan mental dan memaksimalkan waktu untuk refleksi dan ibadah.

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahwa bicara tanpa kendali bisa menjadi sumber konflik, bahkan keretakan hubungan. Al-Ghazali menekankan pentingnya menahan lisan untuk menghindari dampak buruk dari ucapan yang tidak perlu.

Dalam bahasa modern, hal ini mirip dengan prinsip “think before you speak.” Kebiasaan ini membantu gen Z untuk mengurangi stres sosial dan meningkatkan kemampuan mendengar, menciptakan hubungan yang lebih baik dengan sesama.

Terakhir, arus informasi dan komunikasi di dunia maya juga sering kali menjadi ajang kritik tanpa batas, bahkan menjelma komentar yang penuh kebencian atau dikenal dengan hate comments.” Untuk menghadapi situasi tersebut, Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa menelan pahitnya perlakuan buruk adalah langkah besar menuju kedewasaan spiritual.

Kesabaran dalam menghadapi kritik tidak menunjukkan kelemahan, melainkan kekuatan untuk mengarahkan energi pada hal yang lebih bermakna.

Baca: Teman Red Flag yang Wajib Dijauhi menurut Imam Al-Ghazali

Hati yang sehat sebagai fondasi 

Bagi Al-Ghazali, hati adalah pusat kehidupan. Hati sehat mencerminkan rasa syukur, ketenangan, dan kedekatan dengan Allah Swt. Sebaliknya, hati yang sakit membawa kegelisahan, dan hati yang mati membuat seseorang kehilangan arah.

Dalam QS. Ar-Ra’d: 28, Allah Swt berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”

Zikir dan ibadah adalah kunci untuk mengisi ulang energi mental, terutama di tengah hari-hari yang penuh tekanan.

Faktanya, gen Z memang kerap menemui tantangan berupa tekanan digital yang cukup kompleks. Kehadiran medsos telah membawa “comparison culture” atau perbandingan budaya tanpa batas yang berpotensi pada rasa yang serba-tidak puas.

Baca: ‘Glow Up’ Spiritual: Maksimalkan Perubahan Diri lewat Iman

Guna menghadapi hal tersebut, tasawuf memberikan solusi melalui tiga langkah utama, yakni takhalli atau melepaskan sifat buruk, tahalli (mengisi diri dengan sifat baik), dan tajalli (mencapai kesadaran tertinggi). Langkah-langkah ini diperlukan dalam rangka membantu individu mengalihkan fokus dari dunia materi yang fana menuju kebahagiaan sejati.

Tasawuf mengajarkan manusia untuk mencari makna hidup yang lebih dalam. Zuhud, tawakal, dan qana’ah menjadi nilai inti. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak terikat padanya. Tawakal mengajarkan kepercayaan kepada Allah Swt setelah usaha maksimal, sementara qana’ah mengajarkan kepuasan dengan apa yang dimiliki. Prinsip-prinsip inilah yang pada akhirnya sangat memungkinkan membantu generasi Z dalam menghadapi hustle culture (gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja keras dan mengabaikan aspek lain dari kehidupan) dengan cara yang lebih bijaksana dan bermakna.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.