Ikhbar.com: Pesantren tidak sekadar lembaga pendidikan. Ia merupakan pusat pembentukan jiwa. Kehidupan di dalamnya melampaui batas kurikulum formal. Di balik tembok-tebal pondok, berlangsung proses pendidikan batin yang mendalam.
Dalam acara Halal Bihalal dan Pengukuhan Dewan Pengurus Pusat Forum Persaudaraan dan Kemitraan Pesantren se-Indonesia (PK-Tren) di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Kamis, 1 Mei 2025, Menteri Agama (Menag) Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar menggarisbawahi kekhasan pendidikan pesantren yang tidak dimiliki lembaga pendidikan umum.
“Pesantren bukan sekadar tempat belajar, melainkan pusat kehidupan. Ia memiliki kekhasan yang membedakannya dari lembaga pendidikan umum,” tegas Prof. Nasar, sapaan akrabnya, di hadapan ratusan pengasuh pesantren.
Baca: Teladan Pendidikan Era Ottoman
Prof. Nasar menegaskan, pendidikan umum lebih mengandalkan pendekatan deduktif dan akal. Sementara pesantren menekankan aspek ruhani dan pengalaman batin. Dalam pandangannya, tradisi keilmuan Islam tidak hanya berdiri di atas logika dan rasionalitas. Ilham dan inspirasi ilahi turut menjadi bagian penting dalam proses pencarian ilmu.
“Di pesantren, kita mengenal dimensi spiritual dan ilham. Dalam Islam, ada manāmāt (mimpi benar) yang berasal dari Allah Swt. Ini bukan khayalan, tapi bagian dari ilmu yang diakui dalam tradisi kenabian,” ungkapnya.
Ia mencontohkan kisah Nabi Ibrahim As yang mendapat perintah menyembelih putranya melalui mimpi. Kisah itu, menurutnya, menjadi bukti bagaimana pesan ilahi melalui mimpi bisa menjadi landasan dalam pendidikan spiritual.
“Kenapa Nabi Ismail rela menyerahkan lehernya kepada sang ayah? Karena kalimat yang disampaikan Nabi Ibrahim adalah mimpi yang benar wahyu dari Allah,” jelasnya.
Allah Swt berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Aṣ-Ṣāffāt: 102)
Ayat ini menunjukkan legitimasi dimensi spiritual dalam komunikasi ilahi. Pendidikan pesantren berangkat dari kesadaran semacam itu. Proses pendidikan tidak hanya melatih nalar, tetapi juga mengasah kepekaan batin.

Baca: Wahai Guru PAUD, Ini Saran Pendidikan Anak Usia Dini dari Ibnu Sina
Antara Ilmu dan mahabbah
Pesantren membentuk pribadi seutuhnya. Tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual. Di sinilah letak keistimewaannya. Santri dilatih untuk meraih ilmu yang disertai dengan adab, cinta, dan pengabdian.
Proses ini mengingatkan pada adagium Imam Syafi’i:
العلم نور، ونور الله لا يُعطى لعاصٍ
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.”
Pesantren meyakini bahwa ilmu sejati harus ditopang oleh kesucian hati.
Dalam pesantren, relasi antara kiai dan santri bukan semata hubungan akademik. Lebih dari itu, ia terjalin dalam ikatan mahabbah (kasih sayang spiritual). Santri belajar bukan hanya dengan mendengar, tetapi juga dengan melayani. Ia menyerap cahaya dari keikhlasan sang guru.
Namun, relasi yang sangat hierarkis antara kiai dan santri ini juga memerlukan pengawasan moral dan kehati-hatian. Ikatan mahabbah yang kuat bisa menjadi ruang tumbuhnya keberkahan, tetapi dalam beberapa kasus, relasi ini disalahgunakan.
Ketundukan santri bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk diarahkan menuju kesempurnaan akhlak. Pesantren perlu memastikan bahwa posisi kiai sebagai mursyid (penunjuk jalan) tetap berjalan dalam koridor amanah dan akhlakul karimah.
Sudah seharusnya pesantren membangun sistem perlindungan terhadap santri dari penyimpangan kuasa. Keteladanan tidak boleh berubah menjadi kultus. Pengawasan berbasis adab dan etika menjadi benteng agar pendidikan batin tidak tercoreng oleh penyalahgunaan relasi spiritual. Barulah pengajaran seperti mengaji kitab kuning, khidmah kepada kiai, zikir berjemaah, hingga riyadhah seperti puasa Senin-Kamis dapat benar-benar menjadi bagian dari sistem pendidikan batin yang sehat dan mencerahkan.
Santri tidak hanya dipersiapkan menjadi sarjana agama. Mereka dibentuk menjadi pribadi yang siap mengabdi kepada masyarakat dengan akhlak yang mulia. Pendidikan batin ini yang menjadikan pesantren tetap relevan dalam setiap zaman.
Baca: Buya Husein: Relasi Kuasa Timpang Akar Kekerasan Anak di Dunia Pendidikan
Menjaga warisan tasawuf dalam pendidikan
Pendidikan batin dalam pesantren tidak dapat dilepaskan dari pengaruh tasawuf. Banyak pesantren di Indonesia yang secara geneologis memiliki silsilah tarekat. Ajaran tasawuf menjadi pondasi dalam membentuk karakter santri.
Cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Azyumardi Azra dalam Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002) menjelaskan, sejak abad ke-17 telah banyak belajar kepada para sufi di Makkah dan Hadramaut. Pengaruh ini memperkuat corak spiritual dalam pendidikan pesantren di Indonesia.
Tasawuf menempatkan hati sebagai pusat kesadaran. Ilmu tidak dianggap sah jika tidak menjernihkan hati. Dalam terminologi Imam Al-Ghazali, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah, bukan hanya memperbanyak hafalan.
Allah Swt berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāṭir: 28)
Ayat ini menjadi dasar spiritual bahwa ilmu yang benar membawa kepada rasa takut, tunduk, dan taat. Pesantren menjaga warisan ini dengan pendekatan yang khas. Tidak semua ilmu diajarkan secara tekstual. Banyak yang diwariskan secara halus, melalui laku hidup dan keteladanan.
Pendidikan batin ini menjadikan pesantren tetap hidup meski teknologi berubah cepat. Di tengah digitalisasi pendidikan, pesantren tetap menjadi benteng nilai. Ia menawarkan kedalaman di tengah banjir informasi. Ia menyodorkan kesunyian dalam dunia yang bising.
Baca: Keluhuran Akhlak Kiai Pesantren Perlu Disyiarkan ke Publik
Masa depan pendidikan pesantren
Dalam pidatonya, Menag menekankan perlunya menjaga dan mengembangkan keunggulan pesantren. Pendidikan spiritual, menurutnya, adalah modal utama dalam membangun generasi yang tangguh dan bermoral.
“Inilah keunggulan dan kekhasan pendidikan pesantren yang harus kita jaga dan kembangkan,” tegasnya.
Pendidikan batin pesantren bukan nostalgia masa lalu. Ia justru menjadi harapan masa depan. Di tengah krisis moral dan kegersangan batin yang melanda generasi muda, pesantren hadir sebagai oase.
Ke depan, pesantren dituntut adaptif tanpa kehilangan jati diri. Modernisasi perlu dilakukan, tetapi tidak dengan menghapus ruh spiritualnya. Pesantren harus tetap menjadi ruang yang menghidupkan ilmu dan menyuburkan hati.