Ikhbar.com: Setiap tahun, umat Islam menantikan malam istimewa di sepuluh hari terakhir Ramadan. Malam yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Lailatul Qadar, digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Kemuliaan malam ini diabadikan dalam firman Allah Swt:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِۚ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۚ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍۚ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍۚ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Sejahteralah malam itu hingga terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 1-5)
Para ulama tasawuf memandang Lailatul Qadar bukan sekadar peristiwa waktu, melainkan momen penyaksian batin. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din menyatakan bahwa Lailatul Qadar hanya dapat dijangkau oleh hati yang bersih. Malam ini tidak semata-mata diidentifikasi melalui tanda fisik, melainkan dengan kepekaan spiritual yang mendalam.
Dalam pandangan para sufi, Lailatul Qadar bukan sekadar fenomena kosmik. Ibn ‘Arabi, seorang mistikus besar dari Andalusia, dalam Fusus al-Hikam, memandangnya sebagai mushahadah (puncak penyaksian Ilahi). Bagi orang yang menempuh jalan spiritual, malam ini menjadi kesempatan menyatu dengan kehendak Tuhan, meleburkan ego, dan membiarkan cahaya Ilahi memasuki relung terdalam hati.
Baca: Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Bertahap?
Rahasia hati dan penyaksian Ilahi
Al-Ghazali menguraikan bahwa Lailatul Qadar berkaitan erat dengan kondisi batin seseorang. Dalam pandangannya, hati yang disucikan melalui ibadah dan mujahadah (kesungguhan spiritual) memiliki potensi menangkap kehadiran malam tersebut.
Imam Al-Ghazali menyebutkan empat tanda orang yang menemukan Lailatul Qadar, yakni, pertama, hati yang merasa tenang dan damai. Kedua, rasa cinta yang mendalam kepada Allah Swt. Ketiga, menjauhi segala bentuk keburukan. Keempat, keterhubungan yang intensif dengan Al-Qur’an.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan pengharapan, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa Lailatul Qadar adalah peluang spiritual yang sangat berharga. Ibadah di malam ini tidak hanya menjanjikan pahala besar, tetapi juga menjadi sarana penyucian dosa masa lalu. Bagi para pencari hakikat, ini adalah momentum pembaruan jiwa yang mendalam.
Ibn ‘Arabi menawarkan perspektif yang lebih esoteris. Ia menguraikan bahwa Lailatul Qadar adalah pengalaman spiritual ketika seorang hamba menyaksikan haqiqah (hakikat tertinggi). Penyaksian ini tidak terjadi di ranah fisik semata, melainkan di kedalaman ruhani.
Menurut Ibn ‘Arabi, setiap malam bisa menjadi Lailatul Qadar bagi hati yang telah terbuka pada cahaya Ilahi.
Bagi para sufi, malam ini menjadi simbol perjalanan batin menuju Tuhan. Penemuan Lailatul Qadar tidak cukup hanya dengan bangun malam atau berdoa secara lisan. Dibutuhkan perjalanan spiritual yang melibatkan hati dan pikiran dalam kesadaran penuh terhadap kehadiran Ilahi.
Sementara itu, Imam Al-Junaid berpendapat, malam Lailatul Qadar menjadi titik di saat seorang hamba menyelami dirinya untuk menemukan hakikat ketuhanan yang sejati.
Baca: Rahasia ‘Iqra’ di Era Kecerdasan Buatan (AI)
Mencari ketenangan di tengah kegelisahan modern
Kehidupan modern menghadirkan paradoks yang mencolok. Teknologi memudahkan segalanya, tetapi membawa kegelisahan yang dalam. Banyak orang merasa kosong di tengah limpahan informasi dan kecepatan hidup. Kegelisahan ini mendorong pencarian makna yang autentik dan mendalam.
Tasawuf menawarkan jalan keluar dari kegelisahan tersebut. Dalam konsep tasawuf, praktik seperti zikir, tafakur, dan muhasabah menjadi sarana menyucikan hati dan menemukan ketenangan.
Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hati manusia bagaikan cermin. Ketika cermin itu dibersihkan dari debu dunia, ia akan memantulkan cahaya Ilahi dengan jernih.
Allah Swt berfirman:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Di tengah hiruk-pikuk modernitas, Lailatul Qadar menjadi penanda penting bagi pencari kebenaran. Momen ini mengingatkan bahwa di balik kegelisahan dunia, ada kedamaian yang hanya bisa ditemukan melalui perjalanan batin.
Baca: QS. Ad-Dukhan Ayat 3-4, Dalil Lailatul Qadar atau Nisfu Syakban?
Praktik tasawuf mendorong manusia untuk mencari “Lailatul Qadar pribadi,” yaitu momen spiritual di mana batin merasakan kehadiran Tuhan secara nyata. Bukan hanya di bulan Ramadan, tetapi di setiap waktu di mana hati berserah total kepada-Nya.
Dalam dunia yang serba-gelisah, Lailatul Qadar menghadirkan harapan. Malam ini menjadi pengingat bahwa di balik kekacauan, ada cahaya yang menanti. Bagi mereka yang bersedia melakukan perjalanan batin, malam itu tidak lagi menjadi misteri waktu, melainkan pengalaman kedekatan dengan Yang Maha Cahaya.