Ikhbar.com: Dunia sedang panas. Bukan hanya karena krisis iklim, tapi juga karena suhu ekonomi global yang terus meningkat. Perang dagang antar-negara besar belum reda. Saling boikot, tarif impor, hingga pembatasan teknologi menciptakan kekacauan baru.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia pun ikut terdampak. Harga bahan pokok merangkak naik. Sektor usaha terpukul. Pekerja kehilangan pekerjaan. Yang kuat bertahan, yang lemah terpinggirkan.
Di tengah gelombang ketidakpastian itu, kehidupan ruhani terasa terlupakan. Semua sibuk mencari solusi ekonomi. Padahal masalahnya justru berpotensi lebih dalam, yakni hilangnya keseimbangan batin. Dunia serasa berputar terlalu cepat. Keinginan manusia melebar tak terbatas, sementara ketahanan jiwanya menipis.
Di titik inilah, tasawuf tidak datang menawarkan lari dari kenyataan. Tasawuf bukan pelarian dari dunia. Ia adalah panggilan untuk kembali pada pusat ketenangan, hati yang bersih dan jiwa yang sederhana. Dalam pusaran ekonomi yang menuntut kecepatan dan ekspansi, tasawuf mengajarkan perlambatan dan kecukupan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
مَنْ قَنَعَ اسْتَرَاحَ
“Siapa yang merasa cukup, ia akan tenang.”
Perang dagang berakar pada kerakusan global. Negara-negara saling berebut pangsa pasar dan pengaruh. Dalam peta besar itu, manusia jadi angka. Angka yang harus naik, tumbuh, dan mengalahkan yang lain.
Tasawuf justru memelihara rasa cukup. Bukan dalam arti stagnan, tapi dalam makna batin yang utuh. Ketika yang lain berlomba menumpuk, tasawuf membisikkan keberkahan dalam yang sederhana.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukan kekayaan karena banyaknya harta, tapi kekayaan sejati adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca: Jejak Islam dalam Sejarah Ekonomi-Bisnis Dunia
Qana’ah dan tawakal
Krisis menciptakan kecemasan. Banyak orang gelisah menghadapi hari esok. Investasi goyah, pekerjaan tak pasti, dan biaya hidup terus naik. Dalam situasi semacam itu, tasawuf justru menawarkan keteguhan.
Konsep qana’ah dan tawakal menjadi penopang batin. Qana’ah membuat manusia menghargai yang ada. Tawakal membimbing hati agar tak tumbang oleh yang belum terjadi.
Tasawuf melatih jiwa untuk bersandar pada Yang Maha Menjamin, bukan pada angka dan kalkulasi yang selalu berubah.
Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
التَّوَكُّلُ تَفْوِيضُ الأَمْرِ كُلِّهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى
“Tawakal adalah menyerahkan seluruh urusan kepada Allah Ta‘ala.”
Dalam dunia bisnis modern, semua ditakar dengan data. Risiko dihitung. Untung dan rugi diprediksi. Namun, tak semua bisa dikendalikan. Di sinilah tawakal berperan. Ia bukan pasrah buta, tapi keyakinan utuh setelah usaha maksimal.
Tasawuf mengajarkan bahwa rezeki tak selalu datang lewat jalur yang tampak. Bahkan dalam sempitnya jalan dunia, Allah Swt bisa membuka celah-celah kebaikan.
Dalam penggalan QS. Ath-Thalaq: 2–3, Allah Swt berfirman:
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ. وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga.”
Baca: Ibnu Khaldun Bocorkan Ciri-ciri Negara Bangkrut
Solidaritas ruhani
Krisis global seringkali membuat orang terjebak dalam mode bertahan. Naluri egois menguat. Banyak yang lebih memilih menyelamatkan diri sendiri ketimbang memikirkan sekitar. Di saat itulah nilai-nilai tasawuf menemukan maknanya yang paling tajam.
Tasawuf mengajarkan solidaritas. Tidak hanya dalam bentuk materi, tapi dalam rasa. Rasa saling peduli. Rasa ingin berbagi. Rasa ingin menguatkan satu sama lain.
Konsep itsar (mengutamakan orang lain), rahmah (kasih sayang), dan infaq (semacam berbagi) menjadi laku hidup yang nyata. Di tengah kelangkaan, berbagi menjadi bentuk kekuatan ruhani yang dahsyat.
Dalam QS. Al-Hasyr: 9, Allah memuji orang-orang Anshar:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
“Orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.”
Krisis bukan alasan untuk mengurung diri. Justru saat itulah dibutuhkan gerakan kebersamaan. Tasawuf tidak mengasingkan orang dari dunia. Ia menyambung hati dengan sesama. Dari zikir lahir empati. Dari empati lahir tindakan.
Baca: Doa Kelancaran Rezeki di Tengah Ancaman Resesi
Zikir jadi pelabuhan di tengah badai
Informasi buruk datang bertubi-tubi. Media memberitakan ketegangan geopolitik, inflasi, hingga potensi resesi. Di tengah badai kabar itu, tasawuf mengajarkan keheningan. Zikir bukan sekadar aktivitas lisan. Ia adalah jalan untuk meredam guncangan batin.
Ketika dunia tak bisa ditenangkan, hati yang harus dilatih untuk tetap teduh.
Allah Swt berfirman:
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Zikir tidak mengubah pasar global. Tapi ia menjaga manusia agar tidak larut dalam kegelisahan. Ia menjadikan jiwa kokoh, bahkan saat semua tampak rapuh. Dalam hikmah para sufi, zikir adalah pelabuhan hati. Tempat kembali. Tempat berteduh. Tempat menguat.
Baca: Pajak Naik, Ibnu Khaldun: Gol Bunuh Diri Ekonomi
Kebangkitan ruhani
Dunia memerlukan pembaruan. Bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga dari dimensi spiritual. Perang dagang tidak sekadar konflik kepentingan, tapi juga krisis arah. Ketika sistem dibangun tanpa ruh, maka ketimpangan akan terus terjadi.
Tasawuf tidak menolak perubahan. Ia hanya ingin menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam. Kebangkitan ruhani menjadi prasyarat bagi tatanan dunia yang lebih adil. Dunia modern tak cukup hanya dengan pertumbuhan. Ia memerlukan kedalaman.
Tasawuf adalah bagian dari jejak itu. Ia membimbing manusia agar tidak tersesat dalam dunia. Di tengah krisis global, barangkali yang perlu dibenahi bukan hanya sistem perdagangan atau neraca keuangan. Tapi juga jiwa yang kehilangan arah.
Ekonomi bisa pulih, tapi luka batin memerlukan waktu lebih lama. Tasawuf hadir bukan sebagai nostalgia masa lalu, melainkan sebagai peta ruhani masa depan.