Ikhbar.com: Banyak orang di dunia Barat menganggap Islam sebagai agama yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip perekonomian dunia, terutama kapitalisme dalam makna sebenarnya. Anggapan ini biasanya didasarkan pada asumsi bahwa Islam melarang riba dan lebih mengutamakan aktivitas religius ketimbang mencari keuntungan finansial.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa Islam justru memiliki peran lebih besar dalam membentuk jaringan perdagangan dan inovasi keuangan yang menjadi cikal bakal dunia perekonomian modern. Bahkan, di masa silam, pengaruhnya sudah meluas mulai dari jazirah Arab ke benua Eropa, Asia, hingga Afrika.
Baca: Sejarah Syam: Dari Dominasi Romawi hingga Penaklukan Islam
Islam sebagai penggerak perdagangan antar-benua
Profesor Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Sheffield, Inggris, John Montagu Hobson dalam “Islam’s Historical Contribution to Commerce and Finance (2018),” yang dimuat di Jurnal Muslime Heritage menjelaskan, pada abad ke-7 hingga ke-10 Masehi, dunia Islam telah membangun jaringan perdagangan yang luas di wilayah Afro-Eurasia. Berpusat di Timur Tengah, dunia Islam mencakup kawasan mulai dari India hingga Afrika Utara dan bahkan Spanyol.
Pada masa itu, Makkah menjadi kota perdagangan yang strategis. Nabi Muhammad Saw sendiri berperan sebagai seorang pedagang dan memiliki pengetahuan tentang sistem perdagangan yang disebut mudarabah atau qirad, yang menjadi cikal bakal sistem kemitraan dalam bisnis kontemporer.
Dalam sistem mudarabah, seorang investor memberikan modal kepada seorang pedagang dengan keuntungan dibagi antara keduanya sesuai kesepakatan. Ini adalah bentuk awal dari apa yang dikenal sebagai kapitalisme. Yakni, risiko dan keuntungan dibagi, serta kemandirian ekonomi dihargai. Sistem ini berbeda dengan riba karena tidak ada bunga yang dikenakan, tetapi murni berbasis bagi hasil, yang dalam Islam dikenal sebagai prinsip syirkah (kemitraan).
Al-Qur’an mengakui keuntungan sebagai “karunia Allah,” sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Jumu’ah: 10. Hal senada juga terdalat dalam berbagai hadis Nabi Muhammad Saw. Rasulullah Saw memotivasi umatnya untuk bekerja keras, bahkan menyatakan bahwa kemiskinan mendekati kekafiran. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi adalah bagian integral dari kehidupan seorang Muslim dan perdagangan dianggap sebagai pekerjaan yang mulia.
Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan
Kota-kota pusat perdagangan Islam
Kota-kota besar di dunia Islam, seperti Baghdad, Kairo, dan Damaskus berkembang pesat sebagai pusat perdagangan. Baghdad, misalnya, yang didirikan pada 762 M oleh Khalifah Al-Mansur, menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan berbagai jalur utama di Timur Tengah. Lokasinya yang strategis di sepanjang Sungai Tigris memudahkan akses ke Teluk Persia, yang membuka jalur perdagangan langsung hingga ke Asia.
Di Makkah, tempat kelahiran Islam, perdagangan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Pada musim haji, pedagang dari seluruh dunia berkumpul, menjadikan Makkah sebagai kota kosmopolitan dan pusat perdagangan antarbenua.
Tradisi itu pun terus berlanjut, bahkan setelah Makkah berada di bawah kekuasaan Islam. Kota ini memainkan peran penting dalam menyebarkan budaya serta ajaran agama Islam ke seluruh dunia.
Baca: Begini Cara Nabi Muhammad Perkuat Ketahanan Pangan
Membentang dari Laut Merah hingga Asia Timur
Jaringan perdagangan Islam membentang mulai dari Laut Merah hingga Cina. Jalur perdagangan melalui Laut Merah menghubungkan Timur Tengah dengan India dan Cina melalui Samudra Hindia, dan pedagang Muslim aktif dalam mengelola rute ini.
Pada abad ke-10 hingga ke-15, kapal-kapal dagang Muslim menguasai sebagian besar perdagangan di Samudra Hindia, hingga wilayah Afrika Timur. Mereka membawa rempah-rempah, kain sutra, dan komoditas lainnya dari Timur ke Barat.
Di jalur darat, pedagang Islam memanfaatkan rute yang menghubungkan Iran ke Asia Tengah dan Tiongkok, yang dikenal sebagai Jalur Sutra. Di sepanjang rute ini, kota-kota Islam menjadi pusat pertemuan budaya dan perdagangan.
Di Asia Tengah, kota-kota seperti Bukhara dan Samarkand menjadi tempat persinggahan kafilah dagang yang membawa barang dari Cina, seperti sutra dan porselen, ke Eropa dan Timur Tengah.
Di Afrika, jaringan perdagangan Islam juga berkembang pesat. Di pesisir Timur Afrika, pedagang Muslim berinteraksi dengan masyarakat setempat di Ethiopia, Zimbabwe, dan Tanzania. Di sana, Islam diterima dan menjadi agama utama, serta membawa perubahan sosial dan ekonomi. Hubungan dagang ini memperkenalkan sistem administrasi, pendidikan, dan bahasa Arab di wilayah-wilayah yang terhubung.
Baca: ‘Frugal Living’ Mendadak Tren, Bagaimana Menurut Islam?
Perjumpaan Islam dan Eropa
Sebelum abad ke-15, Eropa masih bergantung pada dunia Islam untuk mendapatkan komoditas dari Asia, terutama rempah-rempah, kain sutra, dan batu permata. Kota-kota di Italia seperti Venesia dan Genoa berfungsi sebagai pintu masuk barang-barang dari Timur.
Pedagang Eropa belajar dari pedagang Muslim tentang teknik navigasi, pengelolaan komoditas, dan kontrak bisnis yang lebih efisien. Kontrak mudarabah, yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan diadopsi oleh Eropa dengan nama “commenda” atau “collegantia.”
Konsep-konsep keuangan lainnya, seperti perintah pembayaran dan surat kredit, juga diperkenalkan oleh pedagang Muslim kepada Eropa. Hal ini penting karena sistem perbankan dan kredit merupakan fondasi kapitalisme modern.
Misalnya, pada abad ke-14, pedagang Muslim menggunakan sistem hawala, yaitu jaringan informal untuk transfer uang antarwilayah yang memungkinkan pengiriman dana tanpa melibatkan perbankan formal. Eropa kemudian mengembangkan sistem yang mirip dengan ini untuk mendukung perdagangan antarnegara.
Baca: Tafsir QS. An-Nisa Ayat 135: Prinsip Dasar Akuntansi Islam
Inovasi keuangan Islam
Dalam Islam, meskipun riba dilarang, pedagang Muslim menemukan cara untuk mendukung bisnis dan perdagangan tanpa melanggar prinsip-prinsip syariat. Mereka mengembangkan literatur hukum hiyal yang menciptakan solusi kreatif agar transaksi bisa dilakukan tanpa riba, tetapi tetap menjaga kehalalan dan keadilan dalam berbisnis.
Prinsip-prinsip ini pun pada akhirnya mempengaruhi banyak institusi perbankan Eropa yang muncul di kemudian hari.
Ketika Kota Acre di Palestina jatuh pada 1291, hubungan perdagangan langsung antara Eropa dan Timur Tengah menjadi sulit. Namun, kota-kota di Italia tetap mempertahankan akses mereka dengan menjalin kesepakatan perdagangan dengan Mesir, yang pada saat itu mendominasi jalur perdagangan Laut Merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Eropa pada masa itu bergantung besar pada akses yang diberikan oleh jaringan perdagangan Islam, dan Islam terus menjadi penghubung antara berbagai peradaban.
Baca: 9 Perbedaan Saham Syariah dan Konvensional
Jembatan ekonomi dunia
Melalui jaringan perdagangan Islam, berbagai peradaban dapat berinteraksi dan saling bertukar komoditas, teknologi, serta pengetahuan. Dampak jaringan perdagangan ini sangat luas, dari perkembangan perbankan hingga peningkatan standar hidup di berbagai belahan dunia.
Sistem perdagangan yang dibangun oleh pedagang Muslim pun menjadi dasar bagi globalisasi ekonomi pada masa modern.
Pada abad ke-15, ketika bangsa Eropa mulai melakukan eksplorasi maritim, mereka mengadopsi banyak teknik dari para pedagang Muslim, baik dalam hal navigasi, pengelolaan risiko, maupun teknik finansial. Dengan kata lain, kapitalisme modern lahir bukan secara terpisah dari dunia Islam, tetapi sebagai lanjutan dari sistem yang telah dikembangkan dan dipraktikkan oleh peradaban Islam selama berabad-abad.
Peran Islam dalam membentuk jaringan perdagangan dan institusi keuangan global tidak bisa diabaikan. Sebagai agama, Islam tidak menolak ekonomi atau kapitalisme. Justru, ajaran Islam mendukung etika dalam perdagangan dan mendorong kemandirian ekonomi.
Melalui kontrak mudarabah, sistem hawala, dan jaringan perdagangan Afro-Eurasia yang menghubungkan berbagai benua, Islam menciptakan fondasi bagi perkembangan ekonomi modern. Dalam konteks globalisasi saat ini, sejarah perdagangan Islam mengingatkan akan pentingnya prinsip-prinsip keadilan, kemitraan, dan tanggung jawab dalam dunia bisnis.
Dengan mengakui dan mempelajari kontribusi Islam dalam sejarah perdagangan dan keuangan, dapat dipahami bahwa kapitalisme tidak selalu bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Sebaliknya, ketika kapitalisme dikembangkan dengan etika yang kuat, seperti yang tercermin dalam sejarah perdagangan Islam, kapitalisme bisa menjadi kekuatan yang menciptakan kemakmuran yang lebih merata dan inklusif.