Ibnu Khaldun Bocorkan Ciri-ciri Negara Bangkrut

“Manusia dahulu berjuang demi kemuliaan. Kini mereka bertarung demi sesuap nasi,” tulisnya.
Ilustrasi Ibnu Khaldun, diolah digital AI. Dok IKHBAR

Ikhbar.com: Ibnu Khaldun, pemikir abad ke-14 yang dikenal lewat karya monumentalnya, Muqadimah, sudah jauh hari merumuskan teori ekonomi yang masih relevan hingga kini. Termasuk di level negara. Dalam pandangannya, kebangkrutan negara tidak terjadi tiba-tiba. Ada pola yang berulang, dan bisa dikenali lewat sejumlah tanda.

Ia menyebut bahwa kekuatan ekonomi sebuah bangsa ditentukan oleh kerja sama dan koordinasi dalam produksi. Baginya, surplus ekonomi bukan sekadar hasil tenaga kerja, tetapi buah dari kolaborasi antara pekerja dan wirausahawan.

“Keuntungan yang diperoleh manusia adalah nilai dari kerja mereka,” tulis Ibnu Khaldun, dalam kitab tersebut, sebagaimana dikutip dari Muslim Heritage, Senin, 7 April 2025.

Baca: Pajak Naik, Ibnu Khaldun: Gol Bunuh Diri Ekonomi

Ekonom dan peneliti asal Prancis, Jean D. C. Boulakia, dalam Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist (1971) menegaskan bahwa pernyataan itulah yang membedakan Ibnu Khaldun dari tokoh seperti Karl Marx dan David Ricardo yang beranggapan bahwa tenaga kerja adalah satu-satunya sumber nilai ekonomi. Kedua tokoh itu dinilai gagal memahami kerangka besar dari teori surplus Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun justru menganggap semua pelaku ekonomi sebagai kontributor penting. Para pengusaha, menurutnya, pantas mendapatkan keuntungan karena mereka berani mengambil risiko dan mengelola faktor produksi. Mereka mencari barang murah, menjualnya dengan harga tinggi, dan mendorong perluasan produksi melalui ekspektasi keuntungan.

Sikap negara yang terlalu ikut campur menjadi sumber masalah. Intervensi berlebihan merusak iklim usaha dan meruntuhkan semangat wirausaha. Termasuk di antaranya adalah kebijakan harga tetap. Dalam catatannya, Ibnu Khaldun mengkritik keras penguasa yang mematok harga secara sepihak dan memaksa petani atau pedagang untuk menjual atau membeli barang dalam kondisi tidak wajar.

Kebijakan seperti itu, menurut Ibnu Khaldun, akan menghancurkan semangat usaha mereka. Dia menyebut bahwa intervensi semacam ini lebih merusak dibanding negara yang langsung terjun ke perdagangan atau pertanian.

Dampaknya pun bisa sangat luas. Ketika pelaku usaha tak lagi bisa berdagang dengan bebas, sirkulasi barang dan jasa menurun. Pajak berkurang, pendapatan negara ikut jatuh. Akhirnya, peradaban ikut runtuh.

Kitab Muqadimah karya Ibnu Khaldun edisi Kairo tahun 1930. Dok AL-MABA’AH AL-BAHIYAH AL-MIRIYAH

Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan

Saat uang jadi mainan kekuasaan

Salah satu kekhawatiran terbesar Ibnu Khaldun adalah permainan nilai mata uang oleh penguasa. Ia mencemaskan godaan penguasa untuk mencetak uang seenaknya demi membiayai kemewahan istana atau menggaji tentara bayaran. Baginya, ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal keadilan.

Oleh sebab itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa stabilitas nilai tukar uang harus dijaga sebagai bentuk keadilan. Inflasi yang disebabkan oleh kebijakan tidak bertanggung jawab bisa membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada mata uang.

Ibnu Khaldun bahkan mengusulkan pembentukan lembaga moneter independen. Lembaga ini, menurutnya, harus dipimpin oleh orang bijak dan takwa, berada di bawah otoritas kepala hakim, bukan raja. Tujuannya agar penguasa tidak bisa sembarangan mengutak-atik nilai uang.

Gagasannya ini jauh mendahului praktik bank sentral independen seperti yang dijalankan oleh The Federal Reserve di Amerika Serikat (AS), Bank of England di Inggris, dan Bundesbank di Jerman. Semua lembaga tersebut memiliki tujuan serupa, yakni menjaga kestabilan nilai mata uang dan mengendalikan inflasi.

Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa jumlah uang dalam perekonomian bukan penentu utama kesejahteraan. Menurutnya, jumlah uang tidak penting bagi kekayaan sebuah negara. Yang jauh lebih penting adalah kepercayaan masyarakat terhadap uang itu sendiri, serta iklim perdagangan yang sehat dan produktif.

Ia menyarankan agar negara tidak boros membelanjakan anggaran untuk kemewahan, pasukan bayaran, atau birokrasi. Sebaliknya, anggaran negara harus diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong produksi serta perdagangan.

Baca: Menelusuri Perjalanan Politik Ibnu Khaldun

Keadilan kunci bangkit dan keruntuhan negara

Menurut Ibnu Khaldun, satu benang merah dari semua masalah ekonomi adalah ketidakadilan. Ia percaya bahwa pelanggaran terhadap hak milik adalah bentuk ketidakadilan yang menghancurkan dasar-dasar peradaban.

“Manusia hanya bisa bertahan dengan bantuan harta. Sedangkan satu-satunya jalan menuju harta adalah lewat usaha. Dan satu-satunya jalan menuju usaha adalah lewat keadilan,” tulis Ibnu Khaldun.

Ketiadaan perlindungan terhadap hak milik akan mematikan motivasi masyarakat untuk bekerja atau berdagang. Jika pencaplokan kekayaan menjadi hal biasa, maka tak akan ada lagi gairah untuk berusaha. Segala bentuk aktivitas ekonomi akan melambat, dan peradaban akan merosot.

Pungutan pajak yang membesar, perampasan tanah dan harta, serta kekuasaan yang sewenang-wenang, oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai ketidakadilan yang menjadi tanda-tanda kebangkrutan negara.  

Dalam kacamata Islam, keadilan menjadi salah satu dari lima hal utama yang harus dilindungi, selain agama, nyawa, akal, dan keturunan. Oleh sebab itu, kebijakan ekonomi pun harus berpihak pada prinsip keadilan, termasuk dalam melindungi hak milik masyarakat.

Keterbelakangan negara-negara komunis dan negara berkembang lainnya, menurut Ibnu Khaldun, bisa ditelusuri dari lemahnya perlindungan hak milik. Sebaliknya, negara yang melindungi hak milik dan menjunjung tinggi keadilan akan tumbuh lebih kuat.

Baca: Jejak Islam dalam Sejarah Ekonomi-Bisnis Dunia

Patung Ibnu Khaldun di Tunisia. Dok WIKIMEDIA

Tips cegah keruntuhan

Ibnu Khaldun meninggalkan satu daftar panjang syarat agar sebuah negara bisa bertahan dan makmur. Semua syarat itu berakar pada keadilan dan kebebasan ekonomi:

  1. Hak milik pribadi harus dijamin.
  2. Sistem hukum dan peradilan harus adil dan tegak.
  3. Perdagangan dan jalur distribusi harus aman.
  4. Pajak harus rendah agar usaha bergairah.
  5. Birokrasi harus ramping dan efisien.
  6. Negara tidak ikut dalam perdagangan.
  7. Harga tidak boleh dipatok pemerintah.
  8. Tidak boleh ada monopoli di pasar.
  9. Kebijakan moneter harus stabil.
  10. Populasi dan pasar harus besar.
  11. Pendidikan harus kreatif dan merdeka.
  12. Sistem sosial harus mendorong kebajikan dan mencegah kejahatan.

Semua poin daftar tersebut disampaikan dalam Muqadimah secara rinci dan lengkap dengan contoh-contoh nyata di masanya. Rekomendasi tersebut bahkan sedang diadopsi oleh negara-negara Eropa Timur pasca-1960-an. Mereka mulai melepaskan kontrol harga, memprivatisasi sektor negara, dan memperkuat perlindungan terhadap hak milik. Proses ini memperlihatkan hasil yang menjanjikan.

Di sisi lain, negara-negara yang masih mempertahankan kontrol penuh atas ekonomi dan birokrasi raksasa justru semakin terpuruk dan bergantung pada bantuan asing.

Ibnu Khaldun tidak menjanjikan resep instan. Ia hanya menunjukkan bahwa siklus peradaban akan selalu berulang. Ketika masyarakat termotivasi oleh harapan dan usaha, peradaban akan tumbuh. Tapi ketika rakyat hanya berjuang demi bertahan hidup, maka semua akan kembali ke titik nol.

Sarjana terkemuka dalam studi filsafat Islam, pemikiran Arab klasik, dan ilmu politik, Muhsin Mahdi, dalam Ibn Khaldun’s Philosophy of History menggambarkan kegetiran itu dengan perbedaan mencolok di masa lalu dan masa depan.

“Manusia dahulu berjuang demi kemuliaan. Kini mereka bertarung demi sesuap nasi,” tulisnya.

Pada akhirnya, pemikiran Ibnu Khaldun ini menjadi pengingat, bahwa fondasi ekonomi yang adil dan bebas adalah benteng terakhir agar suatu bangsa tidak terjerumus ke jurang kehancuran.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.