Pajak Naik, Ibnu Khaldun: Gol Bunuh Diri Ekonomi

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa menaikkan tarif pajak justru kontraproduktif dan dapat membahayakan negara.
Ilustrasi struk pajak PPN. PIXABAY/Michal Jarmoluk

Ikhbar.com: Rencana pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah memantik perdebatan hangat, bahkan penolakan sebagian besar masyarakat. Kebijakan yang konon bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara ini dikhawatirkan justru akan membebani rakyat dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Sejak masa lampau, urusan perpajakan memang selalu menghadirkan diskusi yang menarik. Dalam peradaban Islam, salah satu tokoh yang paling disorot dan kerap dijadikan rujukan guna merumuskan kebijakan pajak yang ideal dan bijak adalah Abu Zaid Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Khaldun Al-Hadhrami Al-Isybili, atau yang lebih masyhur dengan nama Ibnu Khaldun.

Lewat pemikiran dan pandangannya, Ibnu Khaldun yang merupakan seorang cendekiawan Muslim abad ke-14 dinilai begitu arif dan sarat prinsip keadilan. Meskipun hidup di era yang jauh berbeda, perspektif Ibnu Khaldun, sebagaimana yang tertuang dalam karya monumentalnya, Muqaddimah, dianggap tetap mampu menawarkan pandangan yang menarik dan relevan dengan kondisi ekonomi modern.

Seorang pakar dari Pusat Penelitian Ekonomi Islam, Universitas King Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi, Prof. Dr. Abdul Azim Islahi dalam “Ibn Khaldun’s Theory of Taxation and its Relevance Today (2010)” menegaskan bahwa Ibnu Khaldun merupakan pelopor pemikiran ekonomi Islam yang telah meletakkan dasar-dasar penting dalam berbagai aspek ekonomi, termasuk keuangan publik dan perpajakan.

“Inti dari pandangan Ibnu Khaldun yang tak lekang oleh waktu adalah pendapat bahwa pajak yang rendah adalah kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi, bukan sebaliknya,” tulis Islahi, sebagaimana dikutip dari Muslim Heritage, Sabtu, 21 Desember 2024.

Potret imajiner Ibnu Khaldun dalam uang kertas 10 Dinar Tunisia. Dok BANKNOTES

Baca: Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan

Ibnu Khaldun, dengan pemikiran yang dinilai telah jauh melampaui zamannya, meyakini bahwa tarif pajak yang rendah merupakan stimulan yang ampuh bagi aktivitas ekonomi. Logikanya sederhana, ketika masyarakat merasakan bahwa hasil jerih payah mereka tidak tergerus oleh pungutan yang tinggi, maka mereka akan terdorong untuk lebih giat bekerja, berproduksi, dan berinvestasi.

Menurut Ibnu Khaldun, kondisi tersebut sudah barang tentu akan menciptakan lingkaran positif, yakni peningkatan aktivitas ekonomi secara signifikan yang akan memperluas basis pajak hingga pada akhirnya justru mampu meningkatkan pendapatan negara secara keseluruhan.

Ibnu Khaldun mengilustrasikan konsep tersebut dengan analogi yang mudah dipahami. Ia mengibaratkan negara seperti sebuah pasar yang ramai. Ketika pajak rendah, yang diibaratkan sebagai harga barang yang wajar dan terjangkau, maka semakin banyak orang yang berbondong-bondong datang ke pasar untuk bertransaksi jual-beli. Sebaliknya, ketika pajak tinggi, yang digambarkan seperti harga selangit, pasar akan menjadi sepi karena masyarakat enggan bertransaksi.

Dalam konteks perekonomian secara luas, tarif pajak yang rendah akan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi sektor swasta untuk berkembang, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan menggerakkan roda perekonomian ke arah yang lebih positif.

Guna menguatkan pendapatnya, Ibnu Khaldun membandingkan kondisi di masa awal Kekhalifahan Islam. Saat itu, ketika tarif pajak yang ditetapkan masih rendah dan adil, pendapatan negara justru melimpah. Misalnya, pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid dari Kekhalifahan Abbasiyah, pendapatan negara dari zakat pertanian mampu mencapai 400 juta dirham atau sekitar Rp2,08 triliun.

Yang perlu digarisbawahi, angka yang fantastis tersebut baru berasal dari pajak hasil pertanian, belum termasuk pendapatan negara dari sumber lain seperti kharaj (pajak bumi atau tanah). Pendapatan di era Khalifah Harun Al-Rasyid tersebut bahkan ditengarai lebih tinggi dibandingkan total perolehan kharaj yang dikumpulkan oleh Kekaisaran Sasaniyah di Persia sebelum era Islam.

Fakta sejarah tersebut memperkuat argumen Ibnu Khaldun bahwa tarif pajak yang rendah tidak lantas membuat pendapatan negara menjadi rendah. Sebaliknya, kebijakan pajak yang tepat justru dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.

Kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun cetakan Paris tahun 1858. Dok YALE

Baca: Menelusuri Perjalanan Politik Ibnu Khaldun

Bumerang ekonomi

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun memberikan peringatan keras bahwa tarif pajak yang tinggi berpotensi berbalik menghantam perekonomian. Ketika masyarakat merasa tercekik oleh beban pajak yang memberatkan, semangat untuk bekerja keras dan berproduksi akan luntur. Dampaknya adalah penurunan produktivitas, pengurangan investasi yang berujung pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, basis pajak justru akan menyusut dan penerimaan negara pun akan tergerus, berkebalikan dari tujuan awal menaikkan pajak.

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa tarif pungutan yang tinggi dapat memicu masyarakat untuk mencari celah menghindari pajak, atau bahkan mencari cara-cara ilegal untuk mengurangi beban dan tanggung jawab mereka. Fenomena ini dapat merusak moral dan etos kerja masyarakat serta menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan.

Ketika sebagian masyarakat berhasil mengakali sistem dan menghindari pajak, maka beban akan semakin berat ditanggung oleh mereka yang patuh dan taat. Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi memicu kerusuhan sosial.

“Perlu diketahui bahwa di awal kekuasaan, pungutan pajak menghasilkan pendapatan yang besar dari jumlah pungutan (tarif) yang kecil. Di akhir kekuasaan, pungutan pajak menghasilkan pendapatan yang sedikit dari jumlah pungutan yang besar,” ungkap Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip Prof. Islahi.

Dari pernyataan tersebut, tergambar jelas bahwa Ibnu Khaldun sangat menekankan hubungan yang erat antara tarif pajak dan pendapatan negara. Kenaikan tarif pajak tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan.

Baca: Pentingnya Belajar Sejarah Menurut Ibnu Khaldun hingga Arkoun

Fondasi keadilan

Selain mendorong penerapan tarif pajak yang rendah, Ibnu Khaldun juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dan kesederhanaan dalam membangun sistem perpajakan. Menurutnya, sistem pajak yang adil adalah sistem yang memperlakukan semua wajib pajak secara setara, tanpa ada diskriminasi atau perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Setiap individu harus berkontribusi sesuai dengan kemampuan finansialnya, dengan beban pajak yang proporsional.

Kesederhanaan dalam sistem perpajakan juga merupakan faktor krusial. Ibnu Khaldun berargumen bahwa sistem yang rumit, berbelit-belit, dan sulit dipahami hanya akan menyulitkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Kerumitan ini juga membuka celah lebar bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum petugas pajak. Sebaliknya, sistem yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan meminimalkan biaya administrasi yang tidak perlu.

“Di awal masa kekuasaan, pajak dipungut dengan adil dan dengan tarif yang rendah. Kemudian, karena kebutuhan negara dan pengeluaran kerajaan meningkat, mereka mengenakan pungutan baru pada rakyat, sementara tarif pajak yang sudah ada dinaikkan. Kenaikan tarif terus berlanjut sampai akhir kekuasaan, dan rakyat tidak dapat menanggung beban yang berat ini,” ungkap Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah.

Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjadi pengingat betapa pentingnya bagi suatu negara untuk menjaga tarif pajak agar tetap rendah dan adil, demi menjaga keberlangsungan dan kesejahteraan negara itu sendiri.

Baca: Jejak Islam dalam Sejarah Ekonomi-Bisnis Dunia

Gagasan yang relevan

Meskipun hidup di abad ke-14, di tengah peradaban yang jauh berbeda dengan kondisi saat ini, pemikiran Ibnu Khaldun tentang perpajakan tetap relevan dan bergema melintasi zaman. Prinsip-prinsip dasar yang ia kemukakan, seperti pentingnya menjaga tarif pajak tetap rendah, menegakkan keadilan, dan menerapkan sistem yang sederhana, masih menjadi pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan fiskal di berbagai negara hingga saat ini.

Sebagai contoh, konsep “Laffer Curve” yang diperkenalkan oleh ekonom Arthur Laffer pada era 1970-an, memiliki kemiripan yang mencolok dengan pemikiran Ibnu Khaldun. Kurva Laffer menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara, yang menunjukkan bahwa pada titik tertentu, kenaikan tarif pajak justru akan berujung pada penurunan penerimaan negara karena melemahkan dan menghambat aktivitas ekonomi.

Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perpajakan memberikan perspektif yang berharga dan mencerahkan bagi para pembuat kebijakan di era modern, termasuk di Indonesia. Gagasannya yang visioner mengingatkan kita bahwa kebijakan fiskal harus dirancang dan disusun dengan penuh kehati-hatian, dengan mempertimbangkan dampaknya yang luas terhadap insentif ekonomi, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Menaikkan tarif pajak, seperti rencana mengerek PPN menjadi 12%, memang merupakan jalan pintas yang tampak mudah untuk meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Namun, langkah tersebut sebenarnya berpotensi menjadi bumerang yang merugikan perekonomian dalam jangka panjang. Prinsip-prinsip yang diusung oleh Ibnu Khaldun, yaitu tarif yang rendah, keadilan, dan kesederhanaan, patut dijadikan pedoman utama dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan di masa kini dan mendatang.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.